Untitled
Dia duduk di sana. Lagi. Dengan buku yang sama. Namun kali ini sorot matanya berbeda. Jauh di dalam matanya, ia memandang kosong. Entah apa yang ada di pikirannya, namun hatiku berkata ia tidak baik-baik saja.
Memang jarak kami cukup jauh, namun bisa ku rasakan apa yang terlihat dari sorot matanya. Lembaran buku yang dibacanya tak berubah, tetap pada halaman yang sama. Dan aku mulai bertanya-tanya, apakah yang salah dengannya?
Kakiku sudah hendak melangkah ketika ujung mataku mendapatinya beranjak dari duduk. Buku yang dibacanya dibiarkan terbuka, tergeletak di atas meja, berdampingan dengan secangkir kopi yang belum disentuhnya.
Aku mengurungkan niatku dan memilih untuk menunggu.
Ia melangkah pelan. Sangat pelan hingga setiap langkahnya ku rasa bisa ku hitung beberapa detik. Entah apa yang dipikirkannya, sorot matanya itu tetap sama. Tak berubah.
Hingga sosoknya menghilang, bayangannya membekas dalam jangkauan mataku. Aku menatap secangkir coklat hangat yang tinggal setengah.. Pikiranku terusik olehnya. Ke mana perginya senyum ceria yang selalu tersungging dari bibir tipisnya?
Mungkin cukup lama aku terlibat dengan pikiranku tentangnya hingga tanpa ku sadari ia telah duduk lagi dan membaca bukunya. Ya, kali ini ia memang benar-benar membaca. Dan pertanyaan muncul lagi dalam benakku, apakah yang salah dengannya?
Poninya yang rata menutupi sebagian wajahnya. Tangan kanannya menyentuh cangkir kopi yang isinya mungkin sudah tak lagi hangat. Matanya tak berpindah, tetap bergerak mengikuti kata-kata yang dibacanya.
Entah mengapa, aku selalu terpaku, sulit mengalihkan pandangan bila memperhatikannya.
Memang jarak kami cukup jauh, namun bisa ku rasakan apa yang terlihat dari sorot matanya. Lembaran buku yang dibacanya tak berubah, tetap pada halaman yang sama. Dan aku mulai bertanya-tanya, apakah yang salah dengannya?
Kakiku sudah hendak melangkah ketika ujung mataku mendapatinya beranjak dari duduk. Buku yang dibacanya dibiarkan terbuka, tergeletak di atas meja, berdampingan dengan secangkir kopi yang belum disentuhnya.
Aku mengurungkan niatku dan memilih untuk menunggu.
Ia melangkah pelan. Sangat pelan hingga setiap langkahnya ku rasa bisa ku hitung beberapa detik. Entah apa yang dipikirkannya, sorot matanya itu tetap sama. Tak berubah.
Hingga sosoknya menghilang, bayangannya membekas dalam jangkauan mataku. Aku menatap secangkir coklat hangat yang tinggal setengah.. Pikiranku terusik olehnya. Ke mana perginya senyum ceria yang selalu tersungging dari bibir tipisnya?
Mungkin cukup lama aku terlibat dengan pikiranku tentangnya hingga tanpa ku sadari ia telah duduk lagi dan membaca bukunya. Ya, kali ini ia memang benar-benar membaca. Dan pertanyaan muncul lagi dalam benakku, apakah yang salah dengannya?
Poninya yang rata menutupi sebagian wajahnya. Tangan kanannya menyentuh cangkir kopi yang isinya mungkin sudah tak lagi hangat. Matanya tak berpindah, tetap bergerak mengikuti kata-kata yang dibacanya.
Entah mengapa, aku selalu terpaku, sulit mengalihkan pandangan bila memperhatikannya.
Comments
Post a Comment