Kumpulan Kepingan 20 #latepost
Kepingan 20 yang Hampir Rampung
20 April memang sudah lama lewat, tapi ternyata
belum benar-benar tanpa bekas. 20 tahun yang lalu pada tanggal 20 April, saya
diorbitkan sebagai pemain pendatang baru di dunia yang fana ini. Tuhan memilih
seorang wanita, ibu saya, sebagai agensi yang mengorbitkan saya. Waktu itu saya
tidak tau apa-apa, saya masih tanpa dosa.
Tahun-tahun bergulir hingga dua dekade sudah
saya menjalani kontrak dengan Tuhan di panggungnya ini. Kalau melihat acara
perayaan HUT televisi-televisi swasta yang hura-hura dan terlihat menakutkan,
saya ngeri sendiri. Oke, angka yang tertera setiap tahun adalah sebuah
pencapaian bagi televisi swasta tersebut, tapi mengapa perayaannya terlihat
seperti ajang lupa diri? Ya, hura-hura seperti yang sering ditayangkan, penuh
euforia dan segala hal yang terlihat mubazir. Oke, mereka merayakan pencapaian,
tapi saya memang sering ngeri menyaksikannya. Seperti mereka hendak hidup
selamanya saja.
Saya akan mengabaikan acara HUT televisi swasta
dan akan kembali meninjau diri saya setelah menempuh dua dekade berkarier di
panggung milik Tuhan ini. Apa saja yang sudah saya capai? Apakah saya sudah
cukup bermanfaat bagi orang-orang di sekitar saya? Apakah saya sudah menjadi
manusia yang cukup baik? Apakah saya sudah menjadi hamba yang beriman?
WARNING: POSTINGAN INI PANJANG, LHO...
Sebagai seorang manusia, saya tentu punya banyak
keinginan dan mimpi yang ingin dicapai dan dijadikan nyata. Merunut teori yang
tadi saya tuliskan, hal yang paling berat saya lakukan adalah berusaha sampai
melampaui batas maksimal. Saya juga heran kenapa hal itu menjadi yang paling
berat. Tapi saya lebih heran lagi karena setiap hal yang saya usahakan begitu
maksimal seringkali hasilnya tidak sesepadan yang saya harapkan, malah hal yang
tidak begitu saya usahakan sangat membuat saya puas. Bisa jadi karena itulah
saya agak berat untuk mengusahakan sesuatu begitu maksimal. Mungkin Tuhan
memang ingin memberi saya satu keanehan itu.
Mungkin juga tidak sepolos itu. Saya masuk Taman
Kanak-kanak pada usia 5 tahun. TK Negeri Pembina Mataram, sebuah TK yang bisa
dibilang cukup elit pada waktu itu. Konon, saya bisa masuk TK itu karena
(almh.) nenek saya kenal baik dengan kepala sekolahnya. Saya menghabiskan satu
tahun di sana. Hal yang paling sering saya ingat adalah jam makannya, dapurnya
(karena bisa minta dimasakkan mie instan :D), marmut peliharaannya (tapi
sepertinya bukan marmut), perosotan yang super licin sampai saya tidak akan
pernah mau lagi meluncur di atasnya (karena pernah saat meluncur, saya mendarat
di sebuah batu dan itu menyakitkan), dan... ayunannya! Saya adalah seorang
gadis kecil yang jago main ayunan. Mengayun kencang sampai menyentuh pucuk
pohon (lupa itu pohon apa) sambil berdiri di dudukan ayunan! Super, bukan? :3
Lanjut lagi, saya kemudian SD di sebuah sekolah
dasar di tengah kota, SDN 7 Mataram (dulu sempat bernama SDN 4 Mataram). Kata
ibu saya, saya bisa diterima di sekolah itu karena sudah fasih membaca. (Almh.)
nenek saya juga kenal dengan salah seorang gurunya (kalau tidak salah), tapi
hal itu tidak berpengaruh apa-apa, saya diterima murni karena kemampuan saya.
Mudah, bukan? Hal yang sampai sekarang membuat saya takjub adalah ketika zaman
sekarang anak-anak SD sudah mengikuti berbagai les di berbagai bimbel agar
suksed UN, saya dulu malah sama sekali tidak belajar menjelang UN dan malah
tidak sadar UN itu adalah sebuah ujian yang menentukan kelulusan kita. Tapi
saya cukup berhasil saat UN, saya lulus dengan NEM yang rata-rata delapan koma.
Saat musim pendaftaran masuk SMP, saya sempat PD
untuk mendaftar di sebuah SMP favorit sebagai siswa SBI (Sekolah Bertaraf
Internsional) yang nanti akan belajar dengan dua bahasa. Sayangnya saya tidak
lolos tes karena tidak bisa mengubah huruf kecil menjadi huruf besar di Ms.
Word saat tes komputer. Maka, saya tidak jadi masuk sebagai siswa SBI. Lanjut
lagi, saya ikut pendaftaran online. SMP tersebut menjadi pilihan nomor
satu, SMP sebelah menjadi nomor dua, dan SMP sebelahnya menjadi nomor tiga. Alhamdulillah
ternyata nama saya nyangkut di pilihan ke-dua. Syukur, skenario Tuhan memang
sempurna! Banyak hal baik saya alami di SMP itu yang belum tentu saya alami
jika masuk di SMP pertama.
Pergolakan batin akibat mempertaruhkan harga
diri mulai saya rasakan ketika masuk SMA. SMA favorit selalu menjadi incaran
anak-anak yang baru lulus SMP, bukan? Bahkan orangtua pun mati-matian supaya
anaknya menjadi siswa sekolah favorit. Syukurnya orangtua saya bukan orangtua
yang tipenya seperti itu. Ibu saya selalu mengatakan, "Mamak nggak mau
maksa anak mamak sekolah di mana-mana, di mana kemampuannya cukup, ya di sana
dia akan masuk. Jadi, sesuai kemampuan saja." Hal tersebut mendasari sikap
saya untuk selalu merasa percaya diri akan kemampuan saya. Sama seperti masuk
SMP, sistemnya juga online, saya memilih tiga SMA; dua di antaranya
merupakan SMA favorit, dan yang terakhir merupakan SMA baru yang imejnya cukup
menggugah hati ibu saya. Akhirnya, saya diterima di sekolah terakhir. Lebih
dari pengalaman SMP, di SMA tersebut saya mendapatkan dan mengalami banyak hal
menakjubkan! Satu yang paling saya syukuri adalah bertemu dengan teman-teman
yang kemudian menjadi sahabat hingga detik ini. Mereka luar biasa :D
Nah, pergolakan batik akibat harga diri pun
berlanjut ketika saya akan melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi. Semua
rasanya berlomba-lomba untuk menjadi anak rantau, siapa yang tidak mau
menyandang gelar anak kost dan pulang kampung setiap liburan? Semua itu menjadi
bayangan yang seru bagi saya. Saya ngebet pengen jadi anak rantau, tapi ibu
saya rupanya terlalu rindu dengan anaknya yang selalu siap diojekin ke
mana-mana sehingga ibu pun tidak memberi izin untuk merantau. Tapi, sempat ibu
mengizinkan untuk kuliah di pulau tetangga, Bali, karena di sana ada paman.
Mungkin karena izinnya masih belum penuh, saya pun tidak lolos ke sana melalui
dua jalur pendaftaran; SNMPTN dan SBMPTN. Dan untuk pertama kalinya saya
berusaha untuk mencapai keinginan saya adalah pada saat tes SBMPTN. Saya
belajar keras sebelum tesnya, saya menghantam materi IPS (sewaktu SMA saya anak
IPA, makanya butuh usaha lebih) karena saya akan mengambil jurusan IPS di
perguran tinggi, saya muak dengan angka, rumus, dan lain--lain semenjak
berhadapan dengan soal UN. Tapi apa mau dikata, soal SBMPTN sepertinya dibuat
oleh alien, maka saya tidak lolos. Harapan dan pilihan terakhir adalah jalur mandiri.
Saya cukup optimis melalui jalur mandiri, dan karena sudah lelah belajar, juga
menilik rekam jejak hal-hal yang saya capai, maka saya tidak mau terlalu
berusaha keras untuk tes jalur mandiri. Saya cukup belajar yang perlu-perlu
saja, tapi berdoa tidak cukup sekedar, doa saya waktu itu dengan sepenuh hati
dan memasrahkan diri pada-Nya. Alhamdulillah, melalui jalur itulah saya
resmi menjadi mahasiswa.
Omong-omong mahasiswa, saya seperti jadi
mahasiswa pelarian. Banyak juga, kan yang menjadi mahasiswa pelarian. Menjadi
mahasiswa fakultas X jurusan Z karena terdampar di sana atau karena disuruh
orangtua. Tapi saya bukan mahasiswa pelarian seperti itu. Saya merasa cukup
beruntung karena orangtua saya tidak terlalu keras menyuruh saya untuk masuk
jurusan tertentu, mereka lebih memberi kebebasan untuk saya memilih jurusan
karena kata mereka, "Kakak yang jalanin, jadi terserah pilihannya kakak.
Yang penting nanti bisa sukses dan bisa bikin bangga orangtua." Terima
kasih atas kebebasan yang selalu kalian berikan :) Nah, saya ini mahasiswa
pelarian dalam kasus jurusan yang saya inginkan belum ada di universitas negeri
di kota saya, Universitas Mataram. Waktu itu saya kepingin masuk jurusan Sastra
Bahasa Inggris, dan jurusan itu adanya di Universitas Udayana (Bali). Berhubung
tidak diizinkan merantau dan tes mandiri dilaksanakan di unversitas
bersangkutan, maka saya menilik jurusan yang kira-kira mirip, yakni Pendidikan
Bahasa Inggris di Universitas Mataram. Well, saya sama sekali tidak
ingin menjadi guru, itu kata-kata saya di semester akhir SMA. Tapi ternyata
Tuhan suka memberi kejutan. Saya tidak sadar bahwa jurusan yang saya pilih itu
tersedia di fakultas yang mencetak guru, yang otomatis akan meluluskan saya
dengan gelar S.Pd dan dengan profesi (secara teoritis) guru. Ah, memang benar
bahwa tidak semua yang kita inginkan bisa kita dapatkan. Saya tidak menyangka
-_-
Omong-omong jurusan impian, yaitu sastra,
ternyata ada cipratannya di jurusan yang saya ambil ini. Ada beberapa mata
kuliah sastra yang saya dapatkan, dan saya sangat bahagia! Tapi, tetap saja,
ya, sebagai calon guru, maka kebanyakan mata kuliah yang saya dapatkan adalah
mata kuliah yang berkaitan dengan pendidikan. Saya harus menerimanya. Kembali
membicarakan mata kuliah sastra, saya benar-benar bahagia. Mata kuliah sastra
seperti sebuah oase yang menyejukkan di tengan mata kuliah wajib yang harus
dikuasai seorang calon guru. Pertama kali saya berjumpa dengan mata kuliah
sastra ini pada semester tiga, Introduction to Literature. Wah... wah...! Lanjut
lagi semester empat, ada mata kuliah Poetry, Prose, dan Creative Literary
Writing. Dan semester lima nanti ada satu tetesan terakhir dari mata kuliah
sastra (hiks), yaitu Drama. Hmm... Saya akan sepenuh hati!
Mari kembali ke jalur, saya akan membahas tentang
keanehan yang Tuhan berikan tadi bahwa seringkali saya tidak usah repot-repot
berupaya keras untuk mencapai apa yang saya inginkan. Jadi, setelah menyadari
keanehan tersebut saya cenderung untuk lebih santai menjalani hidup dan mencoba
untuk selalu penasaran akan apa yang Tuhan ingin tunjukkan kepada saya melalu
takdir-takdir yang sudah saya dapatkan. Mungkin Tuhan ingin menjadikan saya
sebagai hamba yang rajin bersyukur atas apa yang telah digariskan-Nya. Baik
sekali :) Agak jelek, ya, kesannya, jadinya saya ini seperti orang yang kurang
usaha dalam mencapai keinginan. Tapi saya rasa tidak sejahat itu maksudnya.
Saya merasa banyak usaha-usaha kecil tapi berarti yang harus saya lakukan,
daripada sebuah usaha besar. Entah, saya masih penasaran dengan keanehan saya
ini dan maka dari itu saya masih terus memikirkannya.
Dua dekade sudah. Apa saja yang sudah saya
capai? Terkadang saya terlalu takut untuk menarget. Hal itu karena yang kerap
terjadi adalah target saya akan tidak tercapai, atau meleset, atau tertunda
terlalu lama sampai saya lupa. Jadi, kembali lagi, saya menjalani hidup dengan
sederhana; mensyukuri yang sudah ada, dan bersabar atas apa yang belum datang.
Dua komponen hidup yang paling penting itu, syukur dan sabar, adalah dua hal
yang saya masih harus pelajari dan dalami. Saya takut-takut untuk menarget,
maka saya menarget diam-diam, seperti bisikan pada malam hari dalam hati. Saya
membatinkan apa yang saya inginkan dalam hati dengan sangat pelan hingga
terkadang saya sendiri tidak dapat mendengarnya. Tuhan memang baik, target yang
pernah saya bisikkan pun pada suatu hari menjadi nyata! Saya penasaran.
Tidak hanya itu saja rupanya keanehan yang Tuhan
berikan. Ada suatu ketika, saat saya sangat menginginkan sesuatu, saya
mengucapkannya (iseng-iseng serius) dan tak lama kemudian tercapai. Kadang juga
ketika saya mengucapkannya dengan serius dan penuh harap, hal itu malah tidak
tercapai. Mungkin Tuhan tidak ingin saya menjadi manusia yang ambisius, ya?
Sebuah keanehan yang cukup menyenangkan.
Banyak kejutan dalam hidup saya, tapi lebih
banyak hal yang bisa saya prediksi, he he. Bukan masalah. Hal sederhana,
misalnya suprise ulang tahun. Surprise ulang tahun dari
teman-teman, oh, sahabat-sahabat SMA memang seringkali gagal. Sejak ulang tahun
yang ke-17, surprise yang direncanakan oleh mereka seringkali tertebak
atau secara tidak sengaja bocor! Ah, mereka jadi mengeluh dan meminta saya
untuk pura-pura tidak tahu perihal yang mereka rencanakan. Lucu! Tapi ulang
tahun ke-18 berhasil menjadi sebuah kejutan. Waktu itu saya tidak yakin akan
ada kejutann karena waktu itu sedang zaman UN dan banyak hal menyibukkan waktu
itu. Tanpa disangka-sangka, pada suatu malam, teman saya datang (karena kita
memang akan pergi belajar dan menginap di rumah teman bersama). Yang aneh
adalah ketika dia mengulur-ulur waktu berangkat. Saya tidak memiliki kecurigaan
apapun. Kemudian tiba-tiba ada ribut-ribut di teras rumah. Rupanya teman-teman
yang lain datang dengan sebuah kue berlilinkan angka 18. Wah! Pertama kali
sebuah kejutan ulang tahun berhasil begitu saja, saya bingung harus terkejut
dengan ekspresi bagaimana. Tapi ulang tahun selanjutnya kembali seperti
biasanya, tertebak. Secara agak tidak sengaja. Tak apalah, yang penting bukan
keberhasilan kejutannya, kan? Yang terpenting adalah sebuah ikatan kasat mata
yang saya dan sahabat miliki, serta ketulusan hati mereka. Thank you, lads!
Dua dekade. Perjalanan yang cukup panjang. Dan
ulang tahun yang ke-20 menjadi penuh kejutan! Akhirnya, ya... :p Sudah menjadi
hal yang bisa dimaklumi jika kejutan ulang tahun datangnya sangat terlambat.
Terlambat beberapa hari itu sudah cukup luar biasa, tapi terlambat satu-dua
minggu adalah biasa. Namun, terlambat
dalam hitungan bulan itu sudah termasuk luar biasa juga! Jadi, kejutan yang
terlambat sedikit dan terlalu lama adalah hal yang luar biasa! Jika luar biasa,
maka kejutan itu berhasil! Begitulah kejutan ulang tahun ke-20.
Kejutan pertama terlambat satu hari. Kejutan
dari teman-teman segeng di kelas. Sama sekali saya tidak punya sangkaan bahwa
mereka akan mau repot-repot membeli kue dan menitipkannya di kulkas ibu kantin.
Tapi kelakuan mereka sangat normal hari itu. Mereka mengucapkan selamat ulang
tahun, bersalaman, dan memeluk. Biasa. Saya tidak berharap lebih. Tak taunya,
setelah mata kuliah terakhir hari itu, salah seorang teman menitipkan tasnya
pada saya dan berpesan untuk menunggu di kelas. Ya, saya lakukan karena kita
memang tidak selalu langsung pulang. Tiba-tiba dia kemudian muncul dengan teman
yang lain, membawa kue dengan lilin-lilin yang menyala sambil menyanyikan
selamat ulang tahun. Ah! Saya tidak biasa mendapat kejutan yang berhasil, jadi
saya bingung harus kaget bahagia dengan ekspresi bagaimana. Semoga ekspresi
bahagia saya berhasil nampak sehingga mereka pun akan bahagia karena kejutannya
membuat bahagia, dan secara teknis berhasil.
Ah, iya, ulang tahun ke-20 ada dua kejutan (mungkin
tiga #kode). Selepas kejutan dari teman segeng itu saya menantikan kejutan dari
sahabat-sahabat SMA. Iya, mengharapakan, he he. Kenapa diharapkan? Karena saya
pun berharap mereka masih mengingat saya sebagai sahabat. Selain itu, kejutan
ulang tahun menjadi ajang kumpul-kumpul kita yang notabene sudah jarang ketemu
karena beda fakultas dan beda kesibukan (atau hanya saya yang terlalu sok sibuk
sehingga jarang bisa main?). Dan saya pun menunggu kejutan dari mereka. Bukan
kejutannya, sih, tapi pertemuan dengan mereka itu lho. Agak menyedihkan karena
ternyata setelah bulan April berganti Mei mereka tak kunjung datang.
Mei berganti Juni dan saya pun berhenti
menunggu. Mungkin mereka terlalu sibuk sehingga tidak sempat repot-repot untuk
kejutan ulang tahun lagi. Tapi, apakah begini akhir persahabatan kita? (saya
mulai mendramatisir keadaan -_- mungkin efek keseringan nulis cerpen dan
berusaha dramatis :v) Yang benar saja, ya? Sesibuk apa mereka? Wah, saya mulai
belajar memaklumi keadaan yang saya tidak ketahui. Saya mulai belajar tidak
sedih karena harus berhenti menunggu dan penantian tak berujung apa-apa. #tssah
Juli tiba. Pertengahan Juli sudah Lebaran, plus
liburan semester. Liburan artinya pulang kampung bagi teman-teman yang
merantau. Itu artinya akan ada reuni! Wah... senangnya bertemu kawan lama :3
Tapi cepat saja begitu Lebaran usai, beberapa hari kemudian teman-teman
perantau sudah kembali ke tanah rantaunya karena urusan tertentu. Yang tersisa,
ya yang belum kembali ke perantauan. Untuk menjaga waktu-waktu berharga, sebisa
mungkin kita merencanakan banyak acara, meskipun seringnya hanya sedikit
rencana yang terealisasi. Setidaknya kita punya momen untuk dikenang dan
dirindukan, kan? Bukankah momen itu dibuat? :D Ketika momen itu siap untuk
jadi, disitulah quality time menjadi syarat.
Jadi, kemarin akhirnya saya bisa merealisasikan
keinginan untuk main dan kumpul bersama sahabat-sahabat di rumah seorang dari
kami. Ya, akhirnya setelah banyak rencana yang hanya menjadi rencana. Kita
hanya berempat, belum tau kabar yang lain, mungkin sibuk. Jadi, kita berempat
kumpul. Tuker-tukeran film, ngemil kue lebaran, dan nostalgia dengan makan nasi
bungkus yang dulunya merupakan penyambung energi sebelum pengayaan.
Dua dari kami diutus membeli nasi itu, namanya nasi
stabil (karena nama warungnya Stabil). Selepas pergi utusan, saya dan satu dari
kami (Evi) pun menunggu. Evi dari beberapa menit yang lalu mukanya aneh,
maksudnya ekspresinya. Katanya, "Mia, maaf ya..." Ekspresinya yang
kayak anak yang abis mecahin vas bungan kesayangan ibunya pun bikin saya parno,
ini Evi udah kenapa sampe minta maaf yang ekspresi mukanya kayak gini?
Evi mungkin gak kuat nahan perasaan bersalahnya
yang entah karena apa, maka dia pun mengeluarkan sesuatu dari tasnya dengan
takut-takut. Saya pun makin parno dan mulai mikir ngaco. Pas saya lirik sesuatu
itu, saya pun sedikit lega karena ternyata Evi nggak salah apa-sapa tapi saya
kepo, "Ini apa?" saya bertanya bukan karena tidak tahu itu apa karena
itu adalah sebuah buku, tapi saya bertanya karena ingin tahu, "Ini dalam
rangka apa, Pih?"
Evi pun senyum salah tingkah dan coba
menjelaskan pelan-pelan, "Maaf ya, Mi. Ini kado ulang tahunnya. Maaf
telat, ya." Evi lanjut menceritakan duduk perkaranya. Saya pun cuma
ketawa-ketawa aneh karena, seperti biasa, saya bingung bagaimana
mengekspresikan kekagetan dan kebagaiaan yang diakibatkan oleh sebuah kejutan
yang berhasil.
"Astaga! Makasih, ya, Pih..." Itulah
kalimat respon pertama yang saya ucapkan.
Wah! Saya dibuat terharu oleh mereka. Saya jadi
lega juga karena ternyata mereka nggak lupa, dan ternyata bener, mereka sibuk,
tapi mereka nggak lupa. :'D
Ternyata mereka (Evi dan Nedia) sempat bingung
mau kasi hadiah buku apa karena waktu itu mereka sedang ngegaul ke Gramedia.
"Jadi, yang waktu nanyain tentang buku ini kalian lagi di Gramed?"
saya bertanya pada Evi yang mengangguk-angguk malu. Oalah... semua menjadi
jelas. Lucu sekali :3 Jadi, pada suatu sore, SMS dari Evi masuk menanyakan
perihal sebuah buku. Dia bertanya apakah saya tahu bukunya, saya jawab tahu.
Dia bertanya apakah saya sudah punya, saya jawab belum. Dia bertanya apakah
saya sudah membacanya, saya jawab belum. Dia juga sempat bertanya apakah saya
tahu penulisnya, saya jawab tahu. Lalu saya bertanya balik, "Kenapa emang,
Pih?" Kata Evi waktu itu hanya, "Ini mau kasi hadiah buat
temen."
Dan kemarin rasanya geli mengingat kejadian yang
sebenarnya terjadi bulan Mei itu. Evi pun nggak lagi berekspresi bersalah. Lalu
Nedia dan Via (utusan pembeli nasi stabil) pun tiba. Nedia tertawa sambil
bertanya pada saya apakah sudah tahu ceritanya, saya menjawab sudah dan tertawa
dan berterima kasih.
Double surprise. Saya berpikir begini, lengkap kejutan ulang tahunnya. Kue dari teman
kuliah, dan kado dari sahabat SMA. Alhamdulillah.
Kadang hal yang kita tunggu akan datang malah
ketika kita sudah memutuskan untuk berhenti menunggu, ya? Kata di buku sih,
kayak gitu. Bener juga. Once again, thank you, lads!
#kode Mungkin kejutannya belum berhenti di kali
ke-dua, ya? :P
29.07.'15
-
Kepingan yang Merampungkan
12.08.'15
Rupanya ulang tahun pada tahun ini tema kadonya
adalah buku. Bahagiaaaa :D Alhamdulillah, ya Rabb.
Yang spesial memang tak selalu datang di awal,
biasanya sih datangnya terakhir. Dan hal yang melengkapi pun taka sepatutnya
datang di awal, kan? Begitulah. Setelah beberapa belas hari menunda untuk mem-posting
tulisan ini, akhirnya saya menemukan
hal yang merampungkan tulisan ini :)
Ya, kejutan memang tidak berhenti di kali
ke-dua. Yang ke-tiga tidak cocok saya sebut sebagai kejutan, tapi sebuah
hadiah. Hadiah istimewa. Sebagai salah satu angka favorit saya, tiga, pada
hadiah ke-tiga memang rasanya seperti "lengkap sudah". Buku lagi!
Siang kemarin, saya diajak melancong ke Gramedia
oleh someone precious. Sebelum kepulangannya dari tanah rantau,
saya menitip oleh-oleh padanya berupa buku. Namun apa mau dikata, dia tak
sempat mampir di manapun. But that's not a big problem because I was not
hoping too much. Jadi, ketika dia kembali berada sepulau dengan saya,
rasanya bahagia bisa bersua lagi. Dan siang itu, meluncurlah kita ke Gramedia
Mataram.
Di perjalanan dia bertanya akan buku apa saja
yang ingin saya beli. Namun karena sedikit enggan karena merasa terlalu
merepotkannya, saya hanya bilang ingin melihat-lihat saja dulu. Sepertinya dia
memang tidak tegaan dengan wajah memelas saya (?), setibanya kita di toko buku,
saya langsung melangkahkan kaki seperti seekor kelinci yang baru dilepas dari
kandang, bersemangat.
Ya, ada yang berdebar-debar dalam hati saya
ketika melihat deretan rak-rak buku yang ada di toko buku. Meskipun saya tidak
akan membeli dan membaca semuanya, setidaknya zat endorfin diproduksi otak saya
ketika berada di tengah-tengah ribuan buku.
Saya menelusuri rak buku populer. Ada sebuah
buku yang sudah beberapa kali hendak saya beli namun urung. Filosofi Kopi,
sebuah kumpulan prosa yang ditulis oleh Dewi 'Dee' Lestari. Beberapa bulan yang
lalu, sebelum buku tersebut akhirnya diangkat ke layar lebar, saya
sangat-sangat-sangat berminat membeli buku itu. Ketika melihat buku itu lagi,
dengan tampilan cover film, saya tidak merasa terlalu puas. Entah
kenapa, sebuah buku yang covernya sudah dicetak ulang dengan cover
yang merelasikannya dengan film, rasanya buku itu tidak terasa sama. Fyuh...
Saya pun mengurungkan niat lagi untuk menjemput
buku itu.
Di tempat buku-buku baru saya pin sempat melirik
buku Paper Towns karya Joh Green. Beberapa waktu lalu filmnya dirilis,
dan sama seperti Filosofi Kopi, covernya pun mengikuti film. Ah,
syukurnya saya sudah memiliki buku itu sebelum covernya berubah dan saya
bahagia memiliki buku itu dengan cover yang bukan film.
Terlepas dari buku-buku itu, saya pun kembali
menelusuri rak-rak penuh jendela (re: buku) dengan dikuntiti oleh someone
precious. Dia bertanya lagi akan buku apa yang saya cari, tapi saya tak
memberinya jawaban yang jelas, hanya terus saja berjalan melihat-lihat. Tapi
sebenarnya saya sembari mencari buku Orang Asing (atau judul aslinya The
Stranger) tulisan Albert Camus. Buku itu sempat saya temukan pada kali
terakhir saya mengunjungi Gramed. Rupanya saya belum berjodoh dengan buku itu
pada siang itu meskipun sudah mencari lewat komputer pencari, namun rak tempat
buku tersebut tidak saya temukan (sekalian nggak nanya mbak-mbak Gramed juga).
Menarget buku selanjutnya, yakni In a Blue
Moon karya Ilana Tan. Sempat sulit juga menemukan rak tempat buku itu. Tapi
sebelum menelusur lebih jauh, ketika sedang mencari bukunya si Camus #cie, saya
sudah mencomot sebuah novela, Animal Farm karya George Orwell yang tentu
saja sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Nah, ketika akhirnya menemukan
bukunya si Ilana, keraguan mulai menyusupi hati saya.
Melihat covernya yang berbeda dengan
ingatan saya yang merekan bahwa warna covernya didominasi oleh biru tapi
nyatanya ungu membuat saya berpikir ulang, menimbang-nimbang. Saya baca
sinopsisnya di bagian belakang. Lalu ada sebuah buku yang segelnya sudah
dilepas, saya coba untuk membaca isinya. Tapi kemudian saya merasa keinginan
membeli dengan menunda jadi 30:70. Rasanya seperti saya sudah bisa menerka gaya
menulis si Ilana. Saya takut kalau ceritanya begitu-begitu saja, walaupun saya
yakin tidak sepenuhnya demikian. Pada akhirnya, saya tidak jadi membelinya.
Bahkan si kawan melancong pun beberapa kali menanyakan keputusan saya, yakin
atau tidak, tetap saja pada akhirnya buku itu tetap pada tempatnya.
Kembali menjelajah, saya akhirnya tertarik pada
sebuah buku yang ternyata kumpulan cerpen. Judulnya Cerita Buat Para Kekasih
karya Agus Noor. Entah kenapa, ada sesuatu yang menggoda saya untuk memutuskan
menjemput buku itu.
Melancong siang itu pun menghasilkan kepuasan
batin dan dua buah buku baru; Animal Farm karya George Orwell, dan Cerita
Buat Para Kekasih tulisan Agus Noor. Setiap ke toko buku dan menjemput dua
buku rasanya cukup. Satu pas-pasan, tiga kebanyakan. Kedua buku tadi saya
terima sebagai kado ulang tahun dari seseorang yang saya tunggu-tunggu kadonya
:p Jadi, rampung sudah kepingan-kepingan kado pada tahun ini, he he he.
Terima kasih untuk kalian semua! *peluk dan
kecup*
Comments
Post a Comment