Apa Itu Ideologi? –Hanya Mitos, Bisa Jadi
Sebelum mulai dibaca,
saya ingin menyampaikan bahwa tulisan ini mungkin agak berat bagi pembaca yang
suka membaca tulisan nyeleneh, tulisan ini mungkin agak gegabah karena saya
tidak mengutip komentar ataupun opini ahli, dan tulisan ini mungkin akan
menyindir beberapa pihak yang tentunya tidak saya maksudkan demikian. Seperti
tulisan-tulisan saya lainnya, ini hanyalah sampah pemikiran yang harus dibuang
karena otak saya terasa hampir penuh oleh hal-hal seperti ini.
Ideologi, seingat saya
pada mata pelajara PKn dulu, adalah jalan/prinsip/landasan hidup. Lebih
tepatnya saya sedang tidak ingin serius untuk tahu. Tapi ideologi ini adalah
hal yang akhir-akhir ini nampaknya menjadi sesuatu yang serba-salah. Di satu
sisi, saya membutuhkan ideologi untuk mempertegas diri saya dan sebagai tolak
landasan cara berpikir. Kemudian, jika saya pikir-pikir lagi, bukan ideologi
yang melandasi jalan pikiran saya, sebaliknya, jalan pikiran saya-lah yang
menjadi asal-muasal ideologi yang saya sematkan pada diri saya, ternyata,
semata untuk menamainya saja agar mudah disebut dan diingat.
Lagi, ideologi saat
ini adalah hal yang membuat saya pergi dan lebih memilih untuk tidak berkumpul
dalam organisasi. Ada suatu trauma tersendiri yang menyergap ketika
membayangkan untuk memasuki sebuah organisasi. Dan ideologi inilah yang
kemudian menjadi sekat-sekat pemisah di antara kami, yang dulu adalah satu yang
berbaur.
Agak melankolis,
tetapi juga ironis. Bagaimana satu hal yang sama bisa berakibat fatal. Ideologi
ternyata seperti mata pedang, yang tidak melukai dan yang melukai. Saya
merasakan bagian yang tajam, dan saya merasa terluka. Namun saya memilih untuk
pergi dan menyembuhkan diri daripada bertahan diiris sampai kebal.
“Organisasi yang memaksakan ideologinya adalah hukuman mati bagi anggotanya.”
–K.
Penjabarannya begini,
ketika kita sudah masuk ke dalam sebuah organisasi, normalnya, organisasi
tersebut akan mengikuti ideologi negaranya, dalam hal ini, demokrasi. Namun
kemudian, muncullah pembahasan mengenai berbagai macam ideologi yang ada di
dunia. Maka, secara naluriah, kita akan mengelompokkan diri dalam ideologi yang
kita anggap cocok dengan jalan pemikiran kita. Dan semua bermula dari sana.
Ketika si ketua
organisasi tersebut mengikrarkan ideologi yang dianutnya, anggota yang merasa
tidak sepaham dengan ketua akan menyingkir dengan sendirinya, sebaliknya,
anggota yang merasa sepaham akan tinggal dan terbentuklah sebuah organisasi
dengan satu ideologi; ideologi ketua. Mau diapakan juga, ketika sudah terjadi
pemisahan dan pengkotak-kotakan (saya
tidak terlalu suka mengikuti aturan EYD terbaru) seperti itu, tak akan ada yang
merasa nyaman kecuali yang sesuara.
Hal itu kemudian
memunculkan polemik-polemik yang beranak-pinak, merambah ke mana-mana,
menggerogoti sampai ke akar, lalu tampaklah kebobrokan. Maaf, saya mulai
melantur.
Organisasi yang dulu
membuat saya nyaman itu kini sudah menjelma menjadi gua bagi orang-orang dengan
ideologi yang sama, entah apa namanya. Namun bagi akal sehat dan ‘ideologi’
saya, mereka hanyalah orang-orang yang memaksakan apa yang mereka sebut sebagai
ideologi, yang mereka sebut sebagai jiwa kritis, dan entah apa lagi sebutan
yang mereka punya untuk model pemikiran mereka. Lantas, sekarang saya hanya
berminat untuk melihat gua itu dari kejauhan, mendengar kabar-kabar dari
orang-orang yang masih ragu melangkah keluar maupun yang memang sengaja keluar
masuk hanya untuk mengamati dari dekat.
Benar-benar hukuman
mati! Jika bertahan, maka akan terlindas oleh aliran pemikiran yang
dihegemonikan. Lebih baik keluar dan mencari cara mati yang lebih layak. Begitu
ibaratnya. Dan saya, memilih untuk keluar dan mencari cara mati yang lebih
layak. Diberi label apatis, saya memang apatis, dan sejak awal saya sudah
anti-politik, maka tak mungkin bisa saya bertahan di tengah-tengah rimba yang
politiknya begitu keras, namun disembunyikan bagai pisau beracun di balik jubbah
sutera.
Terlepas dari
organisasi dan ideologi ketuanya, apakah kita sebagai individu yang mandiri ini
harus menentukan ideologi apa yang kita anut? Tidak bisakah kita berbaur dan
menjadi satu kesatuan makhluk sosial tanpa mengingat-ingat dari sisi mana kita
ini?
Ideologi bisa jadi
hanyalah mitos.
Saya menemukan bahwa,
bersikap sadar akan ideologi apa yang kita anut malah membuat kita merasa
terasing. Kita membangun kotak bagi diri kita, yang memisahkan kita dengan
orang-orang berideologi berbeda, dan kotak itu semakin hari semakin sempit.
Kenapa? Karena kita sendiri yang mengkonstruksikan ideologi itu untuk membatasi
cara kita berpikir dan bersikap dan bersosialisasi. Ideologi yang kita anggap
cocok untuk kita itu kemudian menyulitkan kita dalam menjalani hidup.
Kalau disuruh menamai
ideologi apa yang saya anut, saya tak ragu untuk bilang liberalisme. Saya
sungguh tidak terlalu peduli dengan yang orang lain anut, selama mereka tidak
mengusik saya, saya tidak akan mempermasalahkan mereka. Ketika saya merasa
terganggu, daripada berdebat tiada akhir, saya memilih untuk pergi dan mencari
kenyamanan baru.
Seorang teman (sebut
saja) berdiskusi dengan saya pada suatu malam mengenai suatu hal. Pada akhir
obrolan, saya bilang padanya bahwa semua yang saya katakan itu sama sekali
tidak saya saring, apa yang muncul dalam pikiran langsung saya ketik dan kirimkan.
Dia pun berkata, “Agak liberal, ya?” Dengan biasa saja, saya membalas
mantap, “Memang liberal :v,” Dibalas lagi, “Wah, saya memang orangnya
ketimuran jadi gak enakan terus,” Kemudian saya katakana begini:
“Tidak masalah
sebenarnya (apapun ideologi dan ke mana kamu condong). Coba untuk tidak terlalu
sadar dengan ideologi dan hidup seperti sungai, tidak ada pilihan yang berat.
Hanya ada tantangan yang harus kita lewati saja (seperti aliran air yang
mengalir melewati bebatuan di sungai yang panjang).”
Begitulah. Kesadaran
kita yang terlalu tinggi terhadap ideologi yang kita anut, dan bagaimana
kondisi psikologi kita, dan sebagainya, hanyalah hal yang membuat kita
mempersempit area bernafas dalam kehidupan yang panjang ini. Membatasi ruang
gerak di dunia yang luas ini. Merantai kaki-kaki untuk melangkah melewati
banyak jalanan yang tak selalu mulus. Terlalu banyak polemic karena terlalu
sadar. Terkadang rasanya kita perlu menutup mata dan terus berjalan, menutup
telinga dan terus melihat, menutup mulut dan terus menengar, tetapi kita tak
akan pernah bisa untuk menutup hati. Hatilah yang menjadi bagian terwaras dalam
diri ini (setidaknya bagi saya). Jangan tutup telingamu untuk kata hati. Jika
kamu sudah lupa bagaimana suaranya, jangan tutup matamu untuk melihat cahaya
yang dipancarkan oleh hati, yang menuntunmu ke mana harus melangkah.
Sampai sini, baru itu
saja yang perlu saya muntahkan dari kepala saya yang sumpek ini. Dan kesimpulan
saya, apa itu ideologi? Bisa jadi, itu hanyalah mitos yang kita buat untuk
melabeli diri kita supaya mempermudah kita untuk berkumpul dengan sesama
(pemeluk ideologi) kita.
Sekian.
Salam.
Comments
Post a Comment