That's YOU...

Diar berjalan dalam diam menyeberangi lapangan basket sekaligus lapangan voli yang luas seorang diri. Ia menunduk entah mencari apa. Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikirannya....wajah Diki terus membayangi siangnya yang terik itu.

Suasana sekolah memang sepi, jam pulang pun 20 menit yang lalu. Diar tiba di kantin, memesan seporsi mie goreng dan sebotol softdrink. Sambil menunggu, ia mengetuk-ngetuk meja dengan tangan kanan dan menopng dagu dengan tangan kirinya.

"Maaf lama!" seseorang menubruk punggung Diar dan langsung mengambil duduk di sampingnya.
"Kenapa lama?" tanya Diar dengan muka kusut.
"Kebelet pipis..." jawab Diki dengan tampang innocent.
"Pipis 20 menit?!" Diar melotot.
"Tadi ketemu Roby, makanya lama. Jangan marah dong..."
"Ketemu cewek-cewek yang nyegat juga?"
"Suer, enggak!"


Diar dan Diki bersahabat sejak SD. Dan kini mereka kembali satu sekolah di SMA Nusantara. Di satu sisi, Diar senang satu sekolah lagi dengan Diki, tapi di sisi lain ia pun merasa kecewa satu sekolah dengan Diki. Entah kenapa...

"Kenapa bengong?" tanya Diki memperhatikan Diar.
"Gue heran sama lo, Ki. Lo bukan Diki sahabat SD gue..." ujar Diar menatap kosong.
"Trus, gue Diki siapa dong?" tanya Diki masih dengan tampang innocent ciri khasnya.
"Mana gue tau! Gue juga bingung..." jawab Diar.
"Sekarang Diki yang dulu sahabat SD lo gimana?" tanya Diki mulai serius.
"Sekarang? Suka tebar pesona, suka bikin cewek-cewek jerit, trus suka cuekin gue..." kata Diar.
"Lah, berarti lo cemburu dong!" pekik Diki usil.
"Idih! Kenapa gue cemburu coba??? Gue cuma pengen Diki yang duduk di samping gue ini ya Diki sahabat SD gue..." bantah Diar.
"Haha...udah deh, cemburu ya cemburu. Kalo gak cemburu kan harusnya seneng sahabatnya ditaksir banyak cewek," goda Diki.
"Ogah! PD amat lo, Ki!" Diar segera menghabiskan mie goreng di hadapannya.

Diar tidak bisa tidur siang, padahal seharusnya ia istirahat walau setengah jam. Pukul 16:00 ia akan melatih tim drama sekolah yang akan tampil mengisi acara Pentas Seni dalam rangka HUT SMA Nusantara yang ke-15. Sebagai director, Diar harus berpikir keras akan bagaimana cara melatih adik-adik didiknya.

Kini jam dinding Keropi Diar menunjukkan pukul 15:15. Ia tak mungkin lagi untuk memejamkan mata walalu hanya 15 menit. Diar pun beranjak menuju kamar mandi.

Tiba di ruang teater sekolah, Gilang menyambutnya dengan senyum sumringah.
"Gak tidur ya, Miss Director?" tanya Gilang melihat raut wajah Diar yang masih tergurat letih.
"Iya nih, Mr. Script Writer. Adek-adek ada yang udah dateng?" tanya Diar.
"Belum tuh! Kenapa pada hobi ngaret yak? Pentas tinggal dua minggu juga,"
"Sialan! Mereka dikasi baik malah gini, besok suruh dateng jam tiga aja, Lang!" seru Diar sambil mebolak-balik skenario.
"Iya deh! Gue belum puas sama akting mereka. Coba ntar lo tes satu-satu bagian yang gue tandain ini," kata Gilang memperlihatkan copy-an skenario miliknya yang sudah ia beri stabilo untuk beberapa adegan.
"Siap, Mister!" Diar mengambil sikap hormat.

Dan satu per satu adik-adik didik Diar dan Gilang berdatangan. Tanpa membuang waktu, Diar meng-casting ulang beberapa anak yang bagian perannya ditandai Gilang. Ia terus menggeleng ketika ada bagian yang tidak sesuai dengan bayangannya. Ia pun terus meminta sang pemeran mengulang adegan yang sama dengan ekspresi yang lebih baik.

Saat Gilang memimpin doa sebelum pulang, Diki muncul dengan jaket hitamnya kemudian diam-diam masuk.
"Ngapain ke sini?" tanya Diar ketika hanya tinggal mereka bertiga yang ada di ruang teater.
"Mau ketemu lo. Kata Kak Andre lo ke sekolah," jawab Diar.
"Ciye.... Gue ganggu ya?" tanya Gilang yang sedang membereskan skenario.
"Biarin aja, Lang! Lo jadi orang ketiga biar kita gak kenapa-napa, haha..." sahut Diki.
"Emang mau ngapain nyari gue?" tanya Diar lesu.
"Mau aja... Ada yang mau gue omongin juga sih!" jawab Diki.
"Apaan?" tanya Diar menatap Diki.

Di sebuah cafe langganan Diki...
"Gue udah mikirin semua bentuk protes lo tadi siang..." Diki memulai.
Diar hanya mengangkat kepalanya dari melihat gelas Waternapple Juice-nya sebagai respon.
"Masa iya gue berubah?" tanya Diki ragu.
"Iya, lo berubah BANGET!" jawab Diar menatap ke luar.
Diki menghela napas panjang...
"Lo ada rasa sama Gilang?" tanya Diki hati-hati.
Diar terbelalak dan dengan cepat menjawab, "Gak tuh! Kenapa?"
"Gue udah mikirin semuanya, Di..."

Suasana cafe malam itu sangat terasa mellow bagi Diar, tapi tidak bagi Diki.
"Bilang gue salah kalo lo ngerasa gue emang salah, Diar..." Diki mengusapkan kedua telapak tangannya.
"Iya,"
"Bukan kemauan gue untuk populer dan dijeritin sama cewek-cewek, gue juga gak pernah ada niat buat tebar pesona sama mereka. Gue juga gak tau ada apa sama diri gue sampe mereka begitu. Gue cuma tau satu, gue punya lo sebagai orang yang perhatiannya gue butuhin," ucap Diki menatap Diar.
"Maksudnya?" tanya Diar.
"Setelah gue pikir-pikir, lo itu cemburu sama cewek-cewek yang deket sama gue," sahut Diki dengan memunculkan tampang innocent.
"HAH?! Kan udah gue bilang, kenapa gue mesti cemburu? Gue cuma pengen Diki sahabat SD gue balik lagi, Ki..." kata Diar memandang lurus pada Diki.
"Kenapa lo mesti cemburu? Karena lo suka sama gue. Ya, kan?" tebak Diki membalas pandangan Diar.

Diar segera mengalihkan pandangannya lalu menjawab, "Kenapa lo sok tau? Gue aja gak tau,"
"Karena lo gak bisa nutupin itu sebagus gue nutupin rasa suka gue ke lo..." ucap Diki yang mengikuti arah pandangan Diar.
"Gue bisa tau karena gue juga gak suka lo kerja bareng Gilang yang sama halnya kayak lo yang gak suka gue dideketin cewek-cewek. Ya, kan?" lanjut Diki.

Diar berusaha memandang bintang dari dalam cafe. Bintang yang kerlipnya redup akibat light pollution di tengah kota. Diar tetap mendengarkan Diki disela-sela ia mendengar degup jantungnya yang makin memburu.

"Gue gak perlu liat bintang di langit sana kayak yang lo lakuin sekarang untuk menghindari kita saling tatap. Yang gue perlu adalah liat mata lo yang terus bersinar cerah kayak bintang di atas," ucap Diki yang duduknya bergeser demi mendapati mata Diar.

"Mungkin gue butuh banyak cewek untuk bikin seorang Diar cemburu, gue udah dapetin itu. Tapi, gue juga butuh banyak banget waktu untuk ngeyakinin diri gue bahwa gue pantes buat lo, Diar..." ucap Diki.
"Apa lo udah dapet cukup waktu?" tanya Diar menatap Diki yang menantinya sedari tadi. 
"Ya, sekarang gue yakin! Tapi masih ada satu yang gue butuhin untuk bikin keyakinan gue penuh!" seru Diki bersemangat.
"Itu apa?" tanya Diar lagi.
"Itu kamu," ucap Diki pelan. "Jangan protes lagi kalo aku dideketin cewek-cewek, karena yang bisa pengaruhin aku cuma kamu..."
"Diki...." gumam Diar.
"Iya?"
"Kamu janji cuma aku yang pengaruhin kamu?" 
"Janji! Kamu juga janji gak bakal protes lagi kalo cewek-cewek jerit karena aku? Aku gak pengen perhatian dari mereka, aku munya dari kamu aja,"

Diki mengajak Diar menghabiskan sisa jam malam duduk di sebuah rumah pohon miliknya di pinggir lapangan. Menikmati semilir angin malam sambil dengan leluasa memandang kagum angkasa cerah.
Diar mendengarkan segala yang dipendam Diki. Kini perlahan ia mengerti jalan cerita yang sesungguhnya. Ia tidak kehilangan sahabat SDnya. Ia pun tidak akan kehilangan hati. Karena pencuri hatinya kini berjanji akan mengikat cintanya pada hati yang ia curi kemudian mengembalikannya.

Di malam yang semakin larut semakin dingin, Diar merasakan hangatnya rangkulan Diki.
Dalam sunyinya malam, Diki membuat Diar merasakan sesuatu...yang basah...di bibirnya.

"I love you yesterday, now, tomorrow, and forever..." bisik Diki.



 ***





*NB: Jika ada nama dan peristiwa yang mirip dengan kenyataan itu semata-mata karena faktor kococokan dan kesinkronan untuk cerita ini sendiri ^^v


Comments