Hakikat Kehidupan Dunia

Ukuran kebahagiaan itu ada dalam KitabAllah yang agung, dan takaran dari segala sesuatu itu ada dalam kualitas dzikir kepada Yang Maha Bijaksana. Dialah yang menetapkan segala sesuatu, nilai, dan balasannya kepasa hamba, baik ketika masih di dunia maupun ketika di akhirat kelak.
"Dan, sekiranya bukan karena hendak menghindari manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), tentukanlah Kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada Rabb Yang Maha Pemurah loteng-loteng perak bagi rumah mereka dan (juga) tangga-tangga (perak) yang mereka menaikinya. Dan (Kami buatkan pula) pintu-pintu (perak) bagi rumah-rumah mereka dan (begitu pula) dipan-dipan yang mereka bertelekan atasnya. Dan (Kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan (dari emas untuk mereka). Dan semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia, dan kehidupan akhirat itu di sisi Rabb-mu adalah bagi orang-orang yang bertakwa." [QS. Az-Zukhruf: 33-35]
Ayat ini menggambarkan dengan jelas tentang; kesementaraan, nilai-nilai materi, dan status sosial (yang meliputi: kehidupan, istana-istana, rumah-rumah mewah, emas, perak, dan kedudukan sosial).

Dengan memberikan segala sesuatu kepada orang-orang kafir secara sekaligus dan sebaliknya, tidak memberikanya kepada kaum mukmin adalah dimaksudkan untuk menjelaskan seberapa besar nilai kehidupan dunia ini kepada umat manusia. Dengan kata lain, itulah ketidakberhargaan dunia.

Utbah ibn Ghazwan, seorang sahabat Rasulallah yang terkenal itu, heran ketika ia sesekali berkhutbah Jum'at. Ia bernostalgia: bagaimana getirnya saat itu ketika bersama Rasulallah, ketika hanya bisa makan daun, baik pasa saat-saat jihad, pada saat-saat senggang, dan pada saat-saat bahagia. Kemudian, bagaimana ia meninggalkan Rasulallah untuk menjadi seorang penguasa dan seorang hakin? Menurutnya, kehidupan yang harus dihadapi sepeninggal Rasulallah adalah kehidupan yang sangat tidak berharga.

Ku lihat orang-orang yang sengsara tiada bosan,
walaupun mereka harus telanjang dan kelaparan. 
Walaupun kehidupan ini menggembirakan,

namun tak lebih dari mendung di musim panas yang akan segera berlalu...

Saad ibn Abi Waqqash merasa kebingungan ketika dianggkat menjadi penguasa di Kudah, sepeninggal Rasulallah. Ia melihat kenyataan yang sangat berbeda dibandingkan saat bersama Rasulallah, yang cukup hanya dengan makan tetumbuhan, dan hanya makan kulit kambing yang sudah kering, dipanggang, ditumbuk lalu direbus dengan air. Ia melihat betapa tidak berharganya istana-istana dan rumah-rumah yang indah.
"Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan." [QS. Adh-Dhuha: 4]
Itu artinya, ada sesuatu dalam hal ini dan yang tersembunyi di balik masalah tersebut: kehidupan dunia yang tidak berharga.
"Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berkan kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka. Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar." [QS. al-Mu'minun: 54-55]
Rasulallah bersabda, "Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian."

Ketika Umar memasuki rumah Rasulallah, beliau sedang berada di tempat minumnya. Dilihatnya guratan-guratan bekas tikar di punggung Rasulallah dan hanya ada gantangan gandum yang tergantung di rumah-rumahnya. Tanpa terasa ait mata Umar mengalir di pipinya. Sebuah pemandangan yang sangat menyentuh tentunya, karena saat itu ia adalah seorang teladan dan pemimpin bagi seluruh umat manusia.
"Mereka berkata: "Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?"" [QS. Al-Furqan:7]
Tercetus ucapan dari bibirnya, "Wahai Rasulallah, engkau telah mengetahui pola hidup Kisra dan Kaisar."

Rasulallah menjawab, "Wahai Ibn ?Khaththab, relakah engkau jika akhirat menjadi milik kita dan dunia menjadi milik mereka?"

Sebuah perbandingan yang sangat jelas, dan pembagian yang sangat asil tentunya. Biarkanlah orang yang menerima itu akan mendapatkannya, dan biarkan pula orang yang tidak suka akan membencinya. Biarkanlah orang yang menginginkan kebahagiaan itu mencarinya di dalam dirham, dinar, istana, dan mobil. Biarkan pula ia berusaha untuk itu saja. Demi Dzat yang tiada Ilah selain Allah, mereka tidak akan mendapatkannya.
"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah yang telah mereka kerjakan." [QS. Hud: 15-16]

--La Tahzan (Jangan Bersedih), Dr. 'Aidh l-Qarni, hlm. 341 et seqq-- 

 

 
 

 

 

Comments