Senja

Aku. Menatap nanar pada langit senja yang jingga. Mendengar ucapan selamat tinggal burung-burung yang kembali pulang karena hari akan terlelap. Merasakan hembusan angin yang kian berhembus mengiringi rembulan bertengger di singgasana malam.

Aku. Diam menatap bayangan yang semakin pudar sebab matahari kian tergelincir. Menatap alam yang terasa semakin misterius dengan warna-warna yang seolah digoreskan asal. Melepas perasaan hilang seiring matahari.

Aku. Masih terpaku pada siluet kenangan-kenangan yang enggan pergi. Senja seperti ungkapkan ketidak-relaannya untuk berganti malam. Dan senja, seperti perasaan yang sulit untuk ditafsirkan dalam bait-bait.

Mengapa senja begitu pilu?

Mengapa senja begitu tak rela?

Mengapa senja seolah menyimpan misteri?

Mengapa senja seperti enggan berbagi rahasia?

Mengapa... aku begitu erat dengan senja?

Aku merindukan rembulan, namun tak ingin senja lekas selesai.

Senja...

Gradasi jingga dan biru serta ungu terlukis sedemikian rupa di ufuk barat. Menimbulkan rasa rindu yang begitu dalam. Mengusik jiwa yang mencintai senja.

Dan senja itu membuat insan merasa tak rela.

Aku menyayangkan setiap senja. Seolah senja membawa pergi kisah-kisah indah sebelum ia datang.

Pun aku merindukan setiap senja. Seolah ingin berbagi seluruh perasaan pilu yang menyiksa.

Senja yang hantarkan menuju malam dengan sejuta bintang dan mimpi-mimpi. Berikan hembusan untuk berharap akan kesempatan yang baru dan lembaran-lembaran untuk kisah-kisah yang baru dan kenangan-kenangan yang semanis madu.


Comments