Analogi Sendiri #2

Senyumnya kaku. Tatapannya dingin.
Langkahnya dengan ritme yang sulit dipahami. 
Namun berada di dekatnya terasa hangat.

Setiap kata yang meluncur dari mulutnya seolah membawa panah 
yang langsung menghujam jantung hati.
Tepat mengenai bagian yang membuatku jatuh cinta.

Awalnya aku hanya menerka. Namun kemudian, terkaanku terbukti.

Di balik senyumnya yang kaku, ada tawa yang mampu cairkan gundah. 
Di balik tatapannya yang dingin, tersirat sesuatu yang mampu redakan rindu. 
Ritme langkahnya yang sulit dipahami mewakili perasaan yang muncul ketika menatapnya.
 Dan yang tak berubah adalah rasa hangat yang terasa saat di dekatnya.

Sekali ini, sentuhan yang ku rasa tepat adalah dia. 
Meski ragu, namun terasa cukup tepat. 
Dan jika diingat, itu yang mengalirkan perasaan nyaman. 
Dan jika dipikirkan, sentuhan itu yang ku rindukan. 
Meski ragu, namun hati tak mungkin dusta jika ia rindukan itu.

Jangan pernah tanyakan tentang perasaan, karena jawaban yang ku berikan tak punya jaminan. 
Meski begitu, ku minta kau  percaya bahwa jika aku tak pernah meralat maka perasaan itu tetap sama.
Jika kau bertanya dan aku menjawab, 
sesungguhnya aku tak begitu suka mengungkit hal yang berkenaan dengan perasaan. 
Karena perasaan itu abstrak. 
Bisa saja sekarang aku berkata jemu, 
dan tentu saja tak ada yang bisa meramal bahwa sedetik kemudian menjadi rindu.

Sedikit banyak aku mungkin memahami pribadi dirimu. 
Dan jika ku teliti, maka kau dan aku masih sama-sama terlalu egois untuk berbagi. 
Tapi aku sama sekali tidak keberatan untuk belajar berbagi. 
Karena dari awal aku memang sudah memulainya, aku sudah membagi hati denganmu. 
Tinggal bagaimana selanjutnya kita sama-sama belajar menaklukan diri sendiri dan kemudian saling memasuki dunia masing-masing hingga akhirnya aku mengenalmu seutuhnya, begitu pun sebaliknya.

Sedikit rahasia yang sesungguhnya tak ingin ku bagi, aku selalu merasa rindu jika tak ada sapaan darimu.
Selalu merasa rindu jika tak melihatmu. Selalu merasa rindu bahkan ketika kau di sampingku. 
Mengapa rindu untukmu selalu?

Tak hanya itu, aku takut. 
Takut ketika kita berselisih paham, aku takut menangis. 
Ketika kau terluka, aku takut bahwa bukan aku yang menyembuhkannya padahal seharusnya aku, 
jika aku yang membuat luka itu. 
Kalau pun bukan, aku akan menjadi pembalut untuk luka itu. 
Ketika kau marah, aku takut. Takut... entah, aku takut. 
Ketika kau kecewa, aku takut. 
Mengapa selalu ada takut yang menghantui?

Kau tau? Sering kali di sela sunyinya malam ketika terbangun, aku merindukan suaramu. 
Dan sejenak yang lama, aku mengingat kebersamaan yang baru saja.

Jangan tanya mengapa atau pun bagaimana! Aku tak mengerti bagaimana menejelaskan sesuatu yang begitu abstrak seperti ini. Maukah kau biarkan ini merekah seiring semesta dilalui waktu.

Aku tak berani menjamin ini akan abadi, 
namun sekarang rasanya kurang lengkap jika kau menghilang walau hanya sedetik.

Berlebihan? Ya, kadang perasaan cinta membuat kita bertindak, berkata-kata, bersikap, dan berpikir secara berlebihan. Tapi apakah salah?
Jika salah, maka sejak awal perasaan cinta itu tak pernah benar. 
Jika begitu, mengapa perasaan cinta itu ada? 
Bagaimana rasanya hidup di dunia dengan tanpa perasaan cinta?

Syukurnya Tuhan menciptakanmu dan semesta mempertemukan aku dan kamu. 
Terima kasih karena tak membuatku hidup dengan tanpa perasaan cinta. 
Terima kasih karena menghadirkan rindu-rindu dan warna-warni dan pelajaran-pelajaran.

Mungkin tak hanya kamu, tapi saat ini ku pastikan dan ingin ku yakinkan kamu bahwa hanya kamu.

Jika kamu belum yakin untuk percaya, 
seandainya kamu bisa dengarkan bisikan hati yang tak pernah berdusta, 
maka kamu akan punya kekuatan untuk yakini perasaan cinta yang ada.

11-03-‘13

Comments