Memori Sebuah Melodi (2)

Dia selalu menunggu. Tak pernah terbesit pikiran untuk berhenti menunggu. Ia yakin, ia percaya bahwa hari ini akan datang. Ia mempercayainya. Dan untuk menunggu hari ini butuh kesabaran dalam penantian yang panjang. Satu-satunya hal yang mampu memberinya kekuatan adalah cintanya. Ia yakin pada cintanya.

Dan hari ini akhirnya datang. Setelah malam-malam yang ia lalui. Setelah bercangkir-cangkir Hot Latte yang menemaninya. Dengan beribu-ribu lembaran halaman buku yang dibacanya. Dengan berbagai pesan yang dibawa setiap angin malam. Dengan cintanya yang tak pernah surut.

Dia selalu menunggu. Di tempat yang sama seperti yang dijanjikannya, seseorang padanya. Di sana, di mana ia meyakini hatinya bahwa separuh dari jiwanya adalah dia, seorang yang dinantinya.

Malam sebelumnya ia mendengar kabar bahwa dia, seseorang itu, bersama teman-temannya akan mengisi acara di sana, di temapt itu, di kafe itu, di tempat mereka. Maka, dengan hati yang berdebar karena tak sanggup mengendalikan luapan rindu yang membanjir, ia akan datang. Ia akan menatap sosok yang ia yakinkan hatinya adalah separuh dari jiwanya dan ia akan utuh kembali.


Entah sudah berapa lama sejak pertemuan terakhir mereka. Entah sudah berapa lama sejak janji itu terucap dan ditinggal pergi. Entah sudah berapa kali asanya putus dan kuat kembali. Kini semua penantiannya akan berakhir. Penantian untuk menyembuhkan luka hati yang dipenuhi rindu. Rindu yang sudah lama tak terjawab. Rindu yang terus memaksa untuk tersampaikan, namun tak sampai.

Malam ini ia datang jauh lebih awal, tepat ketika malam menculik senja. Ia datang dengan harapan yang penuh. Harapan yang tak ingin dikecewakan. Harapan akan terwujudnya mimpi-mimpi yang sebelumnya hanya menjadi bunga tidur pada malam-malam yang disiksa rindu.

Secangkir Hot Latte. Sebuah buku. Sebuah hati. Ia melakukan penantian terakhir. 

"Oke. Selamat malam semuanya! Aku Firdi. Aku di sini bakal nemenin kalian selama live music ya. Jadi... udah pada tau dong ya kalo malem ini kita kedatangan bintang tamu spesial yang bakal menyuguhkan kita lagu-lagu yang hangat, sehangat minuman malam ini. Langsung aja ya, kita perkenalan dulu sama personil grup ini. Beri tepuk tangan yang meriah untuk The Burn!" Firdi, marketing kafe, membuka acara malam ini dengan meriah. 

Ia hanya menatap perempuan itu, Firdi, dari kejauhan. Dari sudut kafe dengan pencahayaan yang redup. Matanya hanya menunggu sebuah sosok. Seorang yang hatinya yakini bahwa ialah separuh jiwanya.

Tiga orang laki-laki langsung naik menuju panggung setelah itu. Masing-masing dari mereka naik dengan senyuman ramah. Masing-masing membawa gitar, gitar, dan karakas.

Matanya langsung membulat dan terpaku pada sosoknya. Hatinya langsung terperanjat. Jantungnya seolah berhenti berdetak bersamaan dengan nafasnya yang tercekat. Ia tak sanggup menahan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya ketika melihatnya, seorang yang begitu lama dinanti, dirindu, dan dicinta.

Ketiga laki-laki itu langsung menempati posisi mereka. 

"The Burn. Jadi, ini dia bintang tamu spesial kita. Silakan kalian memperkenalkan diri," Firdi menyerahkan mikrofonnya pada seseorang dengan karakas.

"Gue Akbar," katanya.

"Gue Dityo," lanjut si gitaris pertama.

"Gue Rey," lanjut si gitaris kedua.

"Sip! Udah nggak usah basa-basi lagi deh kayaknya ya. Langsung aja, enjoy the night with The Burn!" Firdi tepuk tangan lalu turun panggung.

Dan Rey mulai memetik gitarnya. Dia memainkan sebuah instrumen sebelum Dityo dan Akbar masuk dan memulai penampilan mereka.

Rey...

Ingatannya melesat ke masa lalu. Ke masa di mana ia dan Rey, seseorang dengan gitar itu, bersama. Ke masa di mana ia dan seseorang yang hatinya yakini bahwa ialah separuh jiwanya menjejaki waktu yang tak perlu untuk mengetahui tentang cinta yang terus bersemi di antara mereka.

Dan ingatannya berhenti di sini. Pada malam ini, sekian waktu yang lalu. Di tempat ini, di tempatnya selalu menunggu. Dengan Hot Latte yang selalu hangat, sehangat perasaannya dulu, namun kini hampir membeku. Hampir.

Matanya terus menatap lurus pada sosok itu, Rey. Dan di dalam matanya, sesuatu yang terkubur dalam perlahan mulai menampakkan diri.  Dalam tatapan matanya yang dalam ada sebuah kisah dari kenangan yang pernah menjadi kisah terindah. Kenangannya bersama seorang yang hatinya yakini bahwa ialah separuh jiwanya.

Petikan gitar yang sama... 


Ia, Lilian, memjamkan matanya. Memejamkan mata demi sebuah ketenangan untuk mengendalikan emosi-emosi yang berkecamuk. Jantungnya berdebar keras. Hatinya luluh. 

Instrumen yang mengalun bersama cinta...
Instrumen yang meninggalkan kenangan dan luka...
Instrumen yang pergi bersama janji yang terlupa...
Instrumen yang kini mengalun lagi, membuka cerita lama...

Matanya tak lepas dari sosok Rey. Pemuda itu memetik gitarnya dengan sepenuh hati. Pemuda itu memetik gitarnya seolah menguntai kembali sebuah kisah yang telah lama tak terjamah lagi. Pemuda itu memetika gitarnya, mengalunkan melodi-melodi penuh rindu.

Ia, Lilian, mampu merasakan apa yang coba Rey ceritakan dengan melodi-melodinya. Ia memahaminya. Ia mengerti.

Rey mengangkat wajahnya diikuti dengan petikan gitar Dityo dan suara merdu Akbar. Rey mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kafe hingga berhenti pada sosok Lilian di sebuah sudut. Ia mengingatnya. Semua.

Lilian menangkap sepasang mata itu. Sepasang mata milik seorang yang hatinya yakini bahwa ialah separuh jiwanya, Rey. 

Dua pasang mata itu bertemu. Mempertemukan cinta yang selama ini menjaga dirinya untuk kembali bersua dengan separuhnya. 

Dua pasang mata itu bertemu. Keduanya melepas rindu yang kian lama terpendam dan membanjir hingga meluap. 

Dua pasang mata itu bertemu. Keduanya saling bertukar cerita tentang penantian masing-masing. Keduanya saling melengkapi bagian dari kisah mereka yang timpang. 

Dua pasang mata itu bertemu. Mewakili hati kedua pemiliknya yang kini telah menemukan kembali separuh mereka hingga keduanya utuh kembali.

Tangan Rey terus piawai memetik gitar, mengalunkan melodi-melodi yang agaknya sudah lama tak pernah ia mainkan lagi. Melodi-melodi yang begitu berarti baginya hingga ia tak akan memainkannya jika tak benar-benar perlu. Karena baginya, melodi-melodi itu istimewa. Istimewa untuk seorang yang istimewa yang menghadirkan kisah istimewa hingga sebelum saat ini menyisakan rindu yang terus menyiksanya.

Kini, ia memainkan melodi itu kembali. Karena entah bagaimana, hatinya tahu bahwa seseorang yang melengkapinya ada di sana. Sayangnya, hatinya tak mengetahui bahwa seseorang itu selalu di sana, menanti.

Kini, melodi itu mengalun memenuhi seluruh penjuru kafe itu dengan sebuah perasaan rindu. Tak hanya ia, Rey, dan Lilian yang merasakannya, namun semua yang ada di sana merasakan kerinduan yang mendalam yang dialunkan melodi-melodi itu. Hingga siapa pun yang mendengar melodi itu akan dibawa melesat kembali pada sebuah masa yang penuh kenangan dengan cinta.

Dan melodi itu mempertemukan kembali dua jiwa yang tak utuh kemudian menyatukannya hingga mengutuhkan satu sama lain.

Lilian tak melepas matanya dari sosok Rey. Sebaliknya, Rey tak menatap Lilian lagi setelah cukup lama mereka bertukar pandangan. Rey hanya dengan sepenuh hati memetik gitarnya, membagi kerinduan yang ia rasakan. Dan Rey memetik gitar itu dengan sepenuh hatinya untuk seorang Lilian. 

Rey terus memetik gitarnya hingga melodi terakhir. Melodi yang melepaskan kerinduannya. Melodi yang mengakhiri penantian Lilian. Melodi yang membawanya kembali pulang pada jiwa yang membuatnya utuh.

Comments

  1. sosok "aku" (dalam MSM1) dan lilian adalah orang yang sama" mengenali instrumen itu... Apakah keduanya merupakan kekasih rey? Atau hanya ketidak sengajaan rey membawakan instrumen itu yang menjadikan sosok kekasih dan rey terlihat seperti orang yang sma?

    ReplyDelete
    Replies
    1. bukaan... instrumen yang sama dan kisah yang berbeda.
      instrumen yang sama dengan musisi berbeda.

      Delete

Post a Comment