Memori Sebuah Melodi

Malam itu aku diajak kakakku menikmati sebuah penampilan musik akustik di kafe langganannya. Ia tahu betul bahwa adiknya begitu menggilai musik akustik. Terlebih lagi ia mengajakku di waktu yang tepat, di saat aku sedang patah hati.

Dua hari yang lalu aku baru saja putus cinta. Rasanya hati remuk. Jika diibaratkan, seperti daun-daun yang berguguran di musim gugur. Air mata tak bisa ku bendung. Tak kuat bendungan yang ku miliki sehingga air mataku dengan mudahnya meluncur dari pelupuk mata hingga terjun bebas di atas bantalku yang tak perlu waktu lama sudah basah seperti disiram segayung air.

Aku tak ingat akan salahku padanya sehingga ia memutuskanku seenak hatinya. Aku tak habis pikir! Kenapa di saat aku begitu rindu padanya, dia hanya muncul dengan satu keputusan yang bahkan tak sanggup untuk ku tanyakan alasannya. Tapi sudahlah, itu sudah berlalu. Kata kakakku, aku harus kuat dan move on! Ya, dia benar.

Sekarang aku dan kakakku duduk berdua di sebuah meja tepat di depan panggung kecil kafe itu. Malam ini kafenya cukup ramai. Siapakah yang akan tampil ini? Aku tak sabar menantinya. 


Sambil menunggu waktu, aku memperhatikan sekeliling. Kafenya begitu nyaman dengan lampu yang pendar cahayanya kekuningan, ditambah dengan aksen tembok kayu dan parket pada lantainya. Dan jika aku tidak salah, aku mencium aroma kayu, entah kayu apa. Dan aku akan bilang bahwa kafe ini semi-modern. Karena unsur tradisionalnya tentu saja ada, dikombinasi dengan beberapa sentuhan yang membuatnya mengikuti zaman. 

Aku memperhatikan para pengunjungnya. Ada pasangan muda, kumpulan anak muda, kakak-adik seperti aku dan kakakku, rekan kerja dengan tampang kusut mereka, ada pula  bapak-bapak dengan rekannya. Berbagai macam sih, tapi yang mendominasi adalah anak muda. 

Aku memperhatikan seseorang di sebuah sudut kafe. Sosok perempuan. Sendirian. Ada sebuah buku yang terbuka di atas mejanya, di samping cangkir minumannya. Ia, perempuan itu, sedang membaca sambil menopang dagu dengan sebelah tangannya. Dan ia terlihat tak begitu peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya hingga aku menyangsikan bahwa dia datang untuk menikmati musik akustik malam ini.

"Liatin siapa?" tanya kakakku sambil menyikut lenganku.

Aku tersentak dan mengerjapkan mata, "Nggak. Itu, cewek itu."

"Oh... namanya Lilian. Dia emang langganan duduk di situ. Kenapa?" jelas kakakku.

"Aneh aja sih, tapi nggak ada masalah juga," sahutku lalu diam menikmati hot chocolate.

Dan tak lama berselang, seseorang naik ke atas panggung. Wajahnya ceria sekali. Matanya berbinar seolah ada api yang berkilat-kilat di sana. Bibirnya tak bisa berhenti menyunggingkan senyum. Orang itu terlalu bahagia, pikirku.

"Oke. Selamat malam semuanya! Aku Firdi. Aku di sini bakal nemenin kalian selama live music ya. Jadi... udah pada tau dong ya kalo malem ini kita kedatangan bintang tamu spesial yang bakal menyuguhkan kita lagu-lagu yang hangat, sehangat minuman malam ini. Langsung aja ya, kita perkenalan dulu sama personil grup ini. Beri tepuk tangan yang meriah untuk The Burn!" Firdi, marketing kafe, membuka acara malam ini dengan meriah. Terlalu meriah.

Tiga orang laki-laki langsung naik menuju panggung setelah itu. Masing-masing dari mereka naik dengan senyuman ramah. Masing-masing membawa gitar, gitar, dan karakas.

Ketiga laki-laki itu langsung menempati posisi mereka. Yang dengan gitar duduk di kursi, sedangkan yang membawa karakas duduk di atas sebuah sesuatu yang seperti peti, yang setahuku, dalam penampilan akustik akan berperan sebagai drum. 

"The Burn. Jadi, ini dia bintang tamu spesial kita. Silakan kalian memperkenalkan diri," Firdi menyerahkan mikrofonnya pada seseorang dengan karakas.

"Gue Akbar," katanya.

"Gue Dityo," lanjut si gitaris pertama.

"Gue Rey," lanjut si gitaris kedua.

"Sip! Udah nggak usah basa-basi lagi deh kayaknya ya. Langsung aja, enjoy the night with The Burn!" Firdi tepuk tangan lalu turun panggung.

Dan Rey mulai memetik gitarnya. Dia memainkan sebuah instrumen sebelum Dityo dan Akbar masuk dan memulai penampilan mereka.

Sebelum tenggelam dalam suasana, aku kembali memerhatikan sekeliling dan mendapati sosok perempuan bernama Lilian itu kini tengah sepenuhnya akan menikmati penampilan The Burn. Ia memandang pada satu arah. Hanya pada satu sosok, namun aku tak bisa menebak siapa. Tempatnya terlalu remang-remang.

Tak lama setelah itu aku sendiri hanya terpaku pada mereka. Entah apa yang sedang terjadi dalam benakku. Namun aku mengenal instrumen yang dimainkan Rey tadi. Dan aku pun tahu bahwa instrumen itu hanya sepenggal. Ku rasa... aku tahu keutuhan instrumen itu. Karena aku, bukan, karena seseorang pernah memainkannya untukku.

Seseorang.


Hari itu senja. Di luar begitu gelap. Awan kelabu menutupi seluruh langit. Jingga langit senja pun hanya cerita di hari kemarin. Perlahan aku bisa mencium wangi tanah basah dan rinai hujan pun mulai membentuk tirai alam dengan suara yang menenangkan hati.

Hari itu, di senja yang kelabu itu, aku di rumah. Tidak sendiri. Aku bersamanya. Hanya berdua. Kedua orangtuaku belum kembali dari luar kota, dan kakakku masih sibuk dengan tugas kuliahnya di rumah teman. Dan dia, menemaniku sejak siang.

"Ada gitar?" tanyanya ketika aku kembali dari dapur dengan dua buah mug berisi teh panas.

"Ada. Mau aku ambilin?" tanyaku.

"Pasti," dia mengangguk dan tersenyum.

Aku pun masuk ke kamar kakakku dan keluar dengan sebuah gitar.

"Hujan. Dingin, ya?" katanya sambil memposisikan jemarinya pada senar-senar gitar.

"Iya. Tapi udah ada teh panas sama kamu," sahutku tersenyum sambil menatapnya.

"Dan ini bisa bikin sekarang ini nggak terlalu dingin," ucapnya lalu mulai memetik gitar.

Aku hanya diam. Seluruh perhatianku rasanya tak cukup untuk berpaling dari dirinya. Aku memperhatikan jemarinya, menatap wajahnya, dan merasakan sesuatu yang hangat muncul dari hati dan kemudian menjalari seluruh tubuhku. Ku rasa pipiku bersemu.

Dan ia memainkan sebuah instrumen. Instrumen akustik. Dan pada detik itu, aku menyatakan diriku untuk jatuh cinta pada musik akustik, instrumenm akustik. 

Instrumen yang ia mainkan bukan instrumen yang luar biasa, melainkan instrumen dari sebuah lagu yang dicover dengan nada-nada gitar. Dan aku jatuh cinta.

Setiap nada yang ku dengar terasa berbeda. Dan kehangatan terus menjalari tubuhku. Mataku, mereka tak bisa berhenti menatap wajahnya yang terus menunduk meneliti setiap senar yang ia mainkan.

Tiba-tiba ia mengangkat wajahnya dan tersenyum padaku. Senyumnya yang membuat hatiku seperti es yang mencair, luluh. Aku tak bisa memungkiri bahwa aku jatuh cinta padanya. Pada senyumnya.

Dan ia tak lagi menunduk. Ia tak lagi tersenyum, namun menatapku. Tatapan yang membuatku tak berani untuk menatapnya dalam waktu yang panjang. Aku tak bisa lari dari kenyataan bahwa aku jatuh cinta padanya. Pada tatapannya. Pada matanya.

Instrumen terus mengalun seolah membentuk orkestra dengan alunan rinai hujan di luar sana. Namun yang paling keras ku dengar ialah detak jantungku yang begitu kacau. 

Ia terus menatapku. Ia tersenyum. Dan hatiku, ia tak mampu untuk berpaling. 

Aku merasakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang hangat dan nyaman. Seolah tak ada yang perlu ku takuti. Seolah meskipun gunung meletus mengeluarkan seluruh laharnya, aku tak akan gentar. Seolah semuanya akan baik-baik saja. Dan itu semua karena aku tahu bahwa aku memilikinya di sisiku.

Dia terus memetik gitar dan memainkan instrumennya. Dia kembali menunduk dan tak lama kemudian mengangkat kepalanya, menatapku. 

Satu genjrengan mengakhiri instrumennya. Dan satu senyuman mengakhiri pertunjukannya. Pertunjukan yang membuatku tersihir. Pertunjukan yang membuatku seperti memasuki dimensi lain dari dunia yang mengotakkan aku dan dia, membuatnya seolah hanya ada aku dan dia. 

Aku tersenyum bahagia, "Keren!"

"Buat kamu," ujarnya sambil meletakkan gitar.

Aku bertepuk tangan, memberinya penghargaan yang umum.

Ia menepuk-nepuk ruang kosong di sampingnya, menyuruhku pindah dan duduk di sana. Aku pun menurut.

"Kok aku nggak tau kamu bisa main gitar?" tanyaku ketika sudah di sampingnya.

"Karena aku nggak ngasitau kamu, Sayang," jawabnya sambil merangkulku.

"Kenapa nggak dikasitau?" tanyaku mendongakkan wajah ke arah wajahnya. Ya, dia cukup jangkung untukku.

"Karena aku nggak mau dimintain main gitar," jawabnya.

"Kenapa nggak mau?" tanyaku, masih menatapnya.

"Karena aku mau main gitar dari aku untuk kamu, bukan dari kamu untuk kamu. Ngerti?" jawabnya lalu tersenyum dan menyentuh ujung hidungku dengan telunjuknya.

"Dikit..." sahutku sambil menempelkan ibu jari dan telunjuk.

Ia mengacak rambutku.

Dan ada keheningan yang terjadi selama sejenak.

"Aku sayang kamu," katanya kemudian sambil menatapku lekat-lekat.

Aku hanya tersenyum menatapnya. Aku tak tahu harus mengucapkan apa. Sesungguhnya aku ingin menyatakan hal yang sama, namun lidahku terasa kelu dan kerongonganku kering seketika.

Tiba-tiba tangannya mengangkat daguku. Tangannya yang lain, yang merangkulku, menyentuh pipiku dan menangkupnya. 

Matanya menatapku dalam. Aku yang tak kuasa membalas tatapannya kemudian memejamkan mata. Dan aku mulai mendengar degup jantungku yang berkejaran. Dan tiba-tiba saja sebuah kecupan lembut menyentuh bibirku.

Aku masih mengingatnya. Sampai detik ini. Masih sangat jelas mengingatnya. Dan instrumen itu... itu yang dimainkannya pada senja kalabu itu. Manis dan hangat. Kenangan yang membekas begitu dalam, manis, dan hangat. Malam ini aku merindukannya.

Melodi itu membawaku kembali pada ingatanku akan dirinya dan kebersamaanku dengannya. Melodi itu agaknya menjadi batu sandungan yang membuatku lebih sulit dari yang ku bayangkan untuk melupakannya. Dia... terlalu manis untukku. Dan melupakan kehangatan saat bersamanya begitu membuatku lupa akan rasanya nyaman.

Sebuah instrumen dengan melodi yang sama....

Aku rasa aku tak akan membiarkannya pergi begitu saja. Aku tentu saja masih menginginkannya kembali. Walaupun harus pergi, ia harus memiliki sebuah alasan yang akan mampu membuatku bertahan dan melanjutkan hidup.

Di malam ini, dengan secangkir coklat panas ditemani alunan instrumen sebuah melodi, aku merindukannya. Merindukan rangkulannya, tatapannya, sentuhannya, dan alunan gitarnya. Dan kehangatan yang menjalari tubuhku saat bersamanya.

Secangkir coklat panas ini menjadi saksi bahwa hatiku masih memiliki ruang yang masih terisi olehnya. Dan andai sesuatu mengizinkannya untuk tahu, melodi itu membawakan kembali kenangan dan kerinduan akan dirinya.

Comments

  1. Keren...
    Berasa banget gimana rasanya ada di posisi tokoh "aku"...

    Ini udah selese atau belum, Mia?
    Itu Lilian-nya ga ada hubungannya gitu sama kisah cinta tokoh "aku"?
    Atau Lilian cuma selingan?
    Tapi kalo cuma selingan kayaknya gak pas, soalnya sosok Lilian kesannya misterius dan bikin penasaran..
    Tadi tak pikir Lilian bakal dibahas di endingnya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. mehehe..
      awalnya begitu, tpi tbtb nikung dy, mbak :D
      nnti mau tak lanjutin kyknya ;;)hehe
      terimakasih ^^

      Delete

Post a Comment