Ice Cream #16
Akhirnya kita bertemu. Setelah sekian lama memendam rindu, akhirnya kau di sana, tepat di hadapanku. Hanya butuh beberapa langkah saja untuk menghampirimu.
Tepat di hadapanmu, yang tentu saja lebih tinggi dariku, aku tersenyum. Senyum yang lahir dari sebuah kebahagiaan yang membuncah di dalam hati. Aku tersenyum dengan mata berbinar. Padamu, untukmu.
"Eh, kenapa senyum-senyum gitu?" tanyamu.
"Seneng aja, akhirnya bisa ketemu kamu. Ngeliat kamu berdiri di depan aku dan sehat. Aku seneng," jawabku lalu tersenyum. Sulit untuk berhenti.
"Ada-ada aja," sahutmu.
"Oh ya, apa kabar?" tanyaku.
"Sama seperti alasan kamu senyum-senyum itu, aku sehat," dan kamu tersenyum. Ah, senyum yang sama dengan senyum yang pernah membuatku terpikat dulu, bahkan kini senyum itu tak berubah artinya untukku.
"Oh iya. Eh, hari ini aku mau kasi hadiah buat kamu."
"Hadiah? Aku udah ngapain?" tanyamu.
"Hadiah karena kamu orang yang spesial," ujarku lalu mengeluarkan senyum misteriusku.
"Hmm..." kamu hanya bergumam dan memperhatikanku
"Ayo ikut!" ku tarik tangamu untuk mengikutiku.
Dan kita berdua menyusuri sepanjang jalan di depan toko-toko. Aku akan mengajakmu menikmati dessert kesukaanku dan beberapa juta orang lainnya, es krim.
Kita sampai di depan sebuah toko kecil, kedai es krim langgananku. Aku berhenti dan berbalik menghadapnya, "Pertama, kita makan es krim. Ayo!"
Kita berdua duduk di sebuah meja dengan dua kursi yang berhadapan. Aku suka duduk di meja seperti ini, karena dengan begini aku bisa terus menatap wajahmu kapan pun aku mau.
"Kenapa es krim?" tanyamu.
"Karena kamu. Pertama kali ngeliat kamu, hal pertama yang terlintas di pikiranku adalah es krim," jelasku.
"Kok gitu?" tanyamu.
"Iya, soalnya kamu dingin. Es krim dingin kan?"
Kamu terdiam, mengalihkannya dengan membaca menu.
"Terus, aku suka deh sama kamu. Ke sininya, kamu makin mirip sama es krim. Ternyata kamu nggak cuma dingin, tapi kamu juga manis dan lembut," kataku.
Kamu hanya menyunggingkan seulas senyum. Aku tak tahu maksudmu dengan senyum itu. Tapi aku terpikat, hanya itu yang aku sadari.
"Jadi, kamu mau pesen es krim rasa apa?" tanyaku.
"Apa aja, deh!" jawabmu.
"Nggak berubah ya. Sampe kapan tiap dikasi pilihan jawabnya 'terserah' ato 'apa aja deh' kayak gitu?" aku protes.
Kamu tidak bergeming, hanya memandangku dengan tatapan menunggu.
"Kadang ada saatnya kita untuk nggak selalu menentukan pilihan, tapi kadang juga kita harus untuk menentukan pilihan. Karena dengan menetukan pilihan kita jadi tau keinginan kita, passion kita, mimpi kita, dan ambisi kita. Nggak semua hal kan bisa dipilihin orang lain? Contohnya mimpi. Masa kita mau meraih mimpi yang dipilihkan orang lain?"
Kamu terdiam, menatapku dengan tatapan yang sama.
"Tapi ada juga saatnya ketika kita nggak bisa bener-bener milih. Hal itu memang mengizinkan kita untuk memilih, tapi tidak untuk menentukan karena hal itu punya caranya sendiri untuk memilih."
Kamu memberikan tatapan bertanya.
"Itu cinta. Kita emang bisa milih kepada siapa kita mau jatuh cinta, tapi cintalah yang sebenarnya menentukan dirinya untuk jatuh kepada siapa."
"Terus?" tanyamu.
"Terus, nggak semua hal kayak cinta. Banyak hal yang memungkinkan kita untuk menentukan pilihan dan menjalaninya juga menikmatinya. Hidup ini pilihan kan? Kalo hidup ini pilihan, kenapa terus-terusan 'terserah'? Kita, kamu, aku, bisa milih untuk hidup sukses ato nggak sukses. Bisa milih untuk berhasil ato gagal, untuk putus asa ato terus berusaha, untuk maju ato diem di tempat, untuk bangkit ato tetap terjatuh, untuk mengejar ato menunggu, untuk move on ato stuck. Kita bisa milih. Kalo nggak milih, gimana kita ngelanjutin hidup?"
"Jadi?" tanyamu lagi.
"Jadi, kamu harus milih mau es krim yang mana," kataku sambil memberinya kedipan jahil.
Kamu mengedikkan bahu lalu mulai benar-benar menelusuri daftar menu.
"Oh ya, semua hal besar itu dimulai dari hal kecil kan ya?" tanyaku.
Kamu menjawabnya dengan sebuah anggukan dan gumaman.
Aku melanjutkan, "Jadi jangan remehin pilihan yang ada, sekecil apa pun itu, ya!"
"Chocolate Chips Ice Cream," ujarmu.
Aku tersenyum. "Kenapa sih suka nggak mau milih? Takut ya?"
"Nggak," katamu.
"Terus kenapa?" tanyaku.
"Nggak tau, bingung," katamu.
"Nah, bingung kenapa? Kamu takut kali... Takut pilihan yang kamu ambil salah, iya nggak sih?" desakku.
"Mungkin," katamu.
"Pilihlah untuk menjawab," kataku.
"Itu kan udah," katamu.
"Itu bukan jawaban. Jawaban kayak gitu nggak bisa dibilang jawaban. Kenapa sih nggak mau jawab? Takut jawabannya aku ketawain?" tanyaku.
"Bukan gitu. Nggak tau juga kenapa," katamu.
"Eh, sering lho yang namanya jawaban itu konyol. Contohnya, 'kenapa aku suka sama kamu? Aku suka sama kamu karena kamu kayak es krim.' Kamu pasti bakal ketawa, tapi gimana? Kenyataan nggak harus selalu masuk akal kan?"
"Mmm..." kamu hanya bergumam.
"Jadi, kenapa kamu nggak mau milih?" tanyaku.
"Karena aku nggak tau mau milih apa," jawabmu.
"Haha... Yah, kadang emang gitu kan? Pilihan itu dateng di saat kita nggak siap untuk memilih. Tapi gimana? Kita harus coba untuk berani milih. Karena bisa aja pilihan kayak gitu nggak bakal dateng dua kali, kan?" kataku.
"Iya, iya... Cerewet banget," katamu.
"Kalo nggak gitu, kamu nggak bakal ngomong banyak. Aku udah ngomong satu bab aja kamu baru satu paragraf. Iya, kan?" kataku.
"Cerewet..." ejekmu.
"Ice Cream Strawberry Vanilla,"
Setelah beberapa saat, es krim pesanan kita datang. Dan aku mulai menikmatinya. Di sela-sela itu, aku memerhatikanmu. Di saat yang bersamaan, aku menyadari bahwa telah cukup lama aku dan kamu tidak bersua, dan menyadari ternyata rindu yang ada lebih banyak dari yang ku akui.
Kamu melahap es krimmu dengan tampang datar, seperti biasa. Banyak hal yang kau lakukan dengan tampang yang sama. Hingga sering kali aku bertanya pada diriku sendiri, hal apakah yang akan membuatmu untuk tidak mengeluarkan tampang seperti itu lagi dan lagi?
"Gimana es krimnya?" tanyaku.
"Enak," jawabmu.
"Itu doang? Nggak ada yang lain?" tanyaku.
"Iya. Apa lagi? Memang enak, kan?" katamu.
"Lebih dari enak. Es krimnya nikmat," kataku.
"Biasa aja," katamu.
"Apa yang luar biasa buat kamu?" tanyaku.
Kamu mengedikkan bahu, "Nggak tau ya."
Aku menarik nafas dalam-dalam. "Nggak berubah ya? Gitu-gitu aja, flat."
"Kenapa?" tanyamu.
"Kayaknya nggak ada hal yang 'wow' di hidup kamu. Semuanya 'biasa aja'. Nggak seru banget," kataku.
"Mmm... emang kenapa? Kenyataannya begitu kok," katamu.
Aku terdiam. Yang ku ingat, kau akan lebih bersemangat dari biasanya ketika kita mulai membahas tentang sepak bola dan kau mulai membanggakan klub kesayanganmu. Dan aku menyukai dirimu lebih dari biasanya saat itu.
"Gimana rasanya hidup di mana nggak ada yang 'wow', kayak di hidup kamu?" tanyaku.
"Biasa aja. Siapa bilang nggak ada yang 'wow'?" katamu. Lalu kamu memandangku dengan cara yang berbeda.
"Gitu sih. Emang ada yang 'wow'? Apa?" tanyaku. Lalu aku membalas pandanganmu dengan tatapan menantang.
"Ada. Salah satunya kamu," katamu.
Tenggorokanku tercekat.
Kamu tersenyum sebentar. Seolah senyum itu meluluhkan tatapan dinginmu yang baru saja. Kamu bersandar pada sandaran kursi lalu melemparkan sebuah senyum lagi. Senyum yang membuatku terpikat.
Aku hanya bisa membalas senyummu dengan sebuah senyum canggung.
Kamu memang seperti es krim; dingin, manis, dan lembut. Tapi kamu lebih dari itu, kamu penuh kejutan. Walaupun kejutan yang sama, itu tetap mengejutkan, karena kamu sulit terduga. Dan hal itu... membuatku terpikat.
Setelah es krim, aku masih punya hadiah lain. Tapi di sini, di kedai es krim ini aku ingin melepaskan sebuah perasaan yang lama terbelenggu. Meski kini secara teknis kita tak saling memiliki lagi, tapi aku rasa hatiku masih menjadi milikmu dan aku tak tahu sampai kapan. Aku berharap sambil menatap matamu yang sulit ku baca itu, bahwa jauh di dalam sana, di hatimu, masih ada separuh hati di mana separuhnya masih kau percayakan padaku.
Aku memancarkan isi hatiku melalui sebuah tatapan mata yang semoga kamu mengerti. Aku tersenyum ketika mengakhirinya, semoga kamu mengerti maksudku.
"Oke, waktunya hadiah ke-dua!" aku bangkit dari kursi sambil tersenyum, bersemangat.
Aku meraih tanganmu dan memaksamu untuk ikut bangkit dan selanjutkan kembali mengikuti langkahku.
Tepat di hadapanmu, yang tentu saja lebih tinggi dariku, aku tersenyum. Senyum yang lahir dari sebuah kebahagiaan yang membuncah di dalam hati. Aku tersenyum dengan mata berbinar. Padamu, untukmu.
"Eh, kenapa senyum-senyum gitu?" tanyamu.
"Seneng aja, akhirnya bisa ketemu kamu. Ngeliat kamu berdiri di depan aku dan sehat. Aku seneng," jawabku lalu tersenyum. Sulit untuk berhenti.
"Ada-ada aja," sahutmu.
"Oh ya, apa kabar?" tanyaku.
"Sama seperti alasan kamu senyum-senyum itu, aku sehat," dan kamu tersenyum. Ah, senyum yang sama dengan senyum yang pernah membuatku terpikat dulu, bahkan kini senyum itu tak berubah artinya untukku.
"Oh iya. Eh, hari ini aku mau kasi hadiah buat kamu."
"Hadiah? Aku udah ngapain?" tanyamu.
"Hadiah karena kamu orang yang spesial," ujarku lalu mengeluarkan senyum misteriusku.
"Hmm..." kamu hanya bergumam dan memperhatikanku
"Ayo ikut!" ku tarik tangamu untuk mengikutiku.
Dan kita berdua menyusuri sepanjang jalan di depan toko-toko. Aku akan mengajakmu menikmati dessert kesukaanku dan beberapa juta orang lainnya, es krim.
Kita sampai di depan sebuah toko kecil, kedai es krim langgananku. Aku berhenti dan berbalik menghadapnya, "Pertama, kita makan es krim. Ayo!"
Kita berdua duduk di sebuah meja dengan dua kursi yang berhadapan. Aku suka duduk di meja seperti ini, karena dengan begini aku bisa terus menatap wajahmu kapan pun aku mau.
"Kenapa es krim?" tanyamu.
"Karena kamu. Pertama kali ngeliat kamu, hal pertama yang terlintas di pikiranku adalah es krim," jelasku.
"Kok gitu?" tanyamu.
"Iya, soalnya kamu dingin. Es krim dingin kan?"
Kamu terdiam, mengalihkannya dengan membaca menu.
"Terus, aku suka deh sama kamu. Ke sininya, kamu makin mirip sama es krim. Ternyata kamu nggak cuma dingin, tapi kamu juga manis dan lembut," kataku.
Kamu hanya menyunggingkan seulas senyum. Aku tak tahu maksudmu dengan senyum itu. Tapi aku terpikat, hanya itu yang aku sadari.
"Jadi, kamu mau pesen es krim rasa apa?" tanyaku.
"Apa aja, deh!" jawabmu.
"Nggak berubah ya. Sampe kapan tiap dikasi pilihan jawabnya 'terserah' ato 'apa aja deh' kayak gitu?" aku protes.
Kamu tidak bergeming, hanya memandangku dengan tatapan menunggu.
"Kadang ada saatnya kita untuk nggak selalu menentukan pilihan, tapi kadang juga kita harus untuk menentukan pilihan. Karena dengan menetukan pilihan kita jadi tau keinginan kita, passion kita, mimpi kita, dan ambisi kita. Nggak semua hal kan bisa dipilihin orang lain? Contohnya mimpi. Masa kita mau meraih mimpi yang dipilihkan orang lain?"
Kamu terdiam, menatapku dengan tatapan yang sama.
"Tapi ada juga saatnya ketika kita nggak bisa bener-bener milih. Hal itu memang mengizinkan kita untuk memilih, tapi tidak untuk menentukan karena hal itu punya caranya sendiri untuk memilih."
Kamu memberikan tatapan bertanya.
"Itu cinta. Kita emang bisa milih kepada siapa kita mau jatuh cinta, tapi cintalah yang sebenarnya menentukan dirinya untuk jatuh kepada siapa."
"Terus?" tanyamu.
"Terus, nggak semua hal kayak cinta. Banyak hal yang memungkinkan kita untuk menentukan pilihan dan menjalaninya juga menikmatinya. Hidup ini pilihan kan? Kalo hidup ini pilihan, kenapa terus-terusan 'terserah'? Kita, kamu, aku, bisa milih untuk hidup sukses ato nggak sukses. Bisa milih untuk berhasil ato gagal, untuk putus asa ato terus berusaha, untuk maju ato diem di tempat, untuk bangkit ato tetap terjatuh, untuk mengejar ato menunggu, untuk move on ato stuck. Kita bisa milih. Kalo nggak milih, gimana kita ngelanjutin hidup?"
"Jadi?" tanyamu lagi.
"Jadi, kamu harus milih mau es krim yang mana," kataku sambil memberinya kedipan jahil.
Kamu mengedikkan bahu lalu mulai benar-benar menelusuri daftar menu.
"Oh ya, semua hal besar itu dimulai dari hal kecil kan ya?" tanyaku.
Kamu menjawabnya dengan sebuah anggukan dan gumaman.
Aku melanjutkan, "Jadi jangan remehin pilihan yang ada, sekecil apa pun itu, ya!"
"Chocolate Chips Ice Cream," ujarmu.
Aku tersenyum. "Kenapa sih suka nggak mau milih? Takut ya?"
"Nggak," katamu.
"Terus kenapa?" tanyaku.
"Nggak tau, bingung," katamu.
"Nah, bingung kenapa? Kamu takut kali... Takut pilihan yang kamu ambil salah, iya nggak sih?" desakku.
"Mungkin," katamu.
"Pilihlah untuk menjawab," kataku.
"Itu kan udah," katamu.
"Itu bukan jawaban. Jawaban kayak gitu nggak bisa dibilang jawaban. Kenapa sih nggak mau jawab? Takut jawabannya aku ketawain?" tanyaku.
"Bukan gitu. Nggak tau juga kenapa," katamu.
"Eh, sering lho yang namanya jawaban itu konyol. Contohnya, 'kenapa aku suka sama kamu? Aku suka sama kamu karena kamu kayak es krim.' Kamu pasti bakal ketawa, tapi gimana? Kenyataan nggak harus selalu masuk akal kan?"
"Mmm..." kamu hanya bergumam.
"Jadi, kenapa kamu nggak mau milih?" tanyaku.
"Karena aku nggak tau mau milih apa," jawabmu.
"Haha... Yah, kadang emang gitu kan? Pilihan itu dateng di saat kita nggak siap untuk memilih. Tapi gimana? Kita harus coba untuk berani milih. Karena bisa aja pilihan kayak gitu nggak bakal dateng dua kali, kan?" kataku.
"Iya, iya... Cerewet banget," katamu.
"Kalo nggak gitu, kamu nggak bakal ngomong banyak. Aku udah ngomong satu bab aja kamu baru satu paragraf. Iya, kan?" kataku.
"Cerewet..." ejekmu.
"Ice Cream Strawberry Vanilla,"
Setelah beberapa saat, es krim pesanan kita datang. Dan aku mulai menikmatinya. Di sela-sela itu, aku memerhatikanmu. Di saat yang bersamaan, aku menyadari bahwa telah cukup lama aku dan kamu tidak bersua, dan menyadari ternyata rindu yang ada lebih banyak dari yang ku akui.
Kamu melahap es krimmu dengan tampang datar, seperti biasa. Banyak hal yang kau lakukan dengan tampang yang sama. Hingga sering kali aku bertanya pada diriku sendiri, hal apakah yang akan membuatmu untuk tidak mengeluarkan tampang seperti itu lagi dan lagi?
"Gimana es krimnya?" tanyaku.
"Enak," jawabmu.
"Itu doang? Nggak ada yang lain?" tanyaku.
"Iya. Apa lagi? Memang enak, kan?" katamu.
"Lebih dari enak. Es krimnya nikmat," kataku.
"Biasa aja," katamu.
"Apa yang luar biasa buat kamu?" tanyaku.
Kamu mengedikkan bahu, "Nggak tau ya."
Aku menarik nafas dalam-dalam. "Nggak berubah ya? Gitu-gitu aja, flat."
"Kenapa?" tanyamu.
"Kayaknya nggak ada hal yang 'wow' di hidup kamu. Semuanya 'biasa aja'. Nggak seru banget," kataku.
"Mmm... emang kenapa? Kenyataannya begitu kok," katamu.
Aku terdiam. Yang ku ingat, kau akan lebih bersemangat dari biasanya ketika kita mulai membahas tentang sepak bola dan kau mulai membanggakan klub kesayanganmu. Dan aku menyukai dirimu lebih dari biasanya saat itu.
"Gimana rasanya hidup di mana nggak ada yang 'wow', kayak di hidup kamu?" tanyaku.
"Biasa aja. Siapa bilang nggak ada yang 'wow'?" katamu. Lalu kamu memandangku dengan cara yang berbeda.
"Gitu sih. Emang ada yang 'wow'? Apa?" tanyaku. Lalu aku membalas pandanganmu dengan tatapan menantang.
"Ada. Salah satunya kamu," katamu.
Tenggorokanku tercekat.
Kamu tersenyum sebentar. Seolah senyum itu meluluhkan tatapan dinginmu yang baru saja. Kamu bersandar pada sandaran kursi lalu melemparkan sebuah senyum lagi. Senyum yang membuatku terpikat.
Aku hanya bisa membalas senyummu dengan sebuah senyum canggung.
Kamu memang seperti es krim; dingin, manis, dan lembut. Tapi kamu lebih dari itu, kamu penuh kejutan. Walaupun kejutan yang sama, itu tetap mengejutkan, karena kamu sulit terduga. Dan hal itu... membuatku terpikat.
Setelah es krim, aku masih punya hadiah lain. Tapi di sini, di kedai es krim ini aku ingin melepaskan sebuah perasaan yang lama terbelenggu. Meski kini secara teknis kita tak saling memiliki lagi, tapi aku rasa hatiku masih menjadi milikmu dan aku tak tahu sampai kapan. Aku berharap sambil menatap matamu yang sulit ku baca itu, bahwa jauh di dalam sana, di hatimu, masih ada separuh hati di mana separuhnya masih kau percayakan padaku.
Aku memancarkan isi hatiku melalui sebuah tatapan mata yang semoga kamu mengerti. Aku tersenyum ketika mengakhirinya, semoga kamu mengerti maksudku.
"Oke, waktunya hadiah ke-dua!" aku bangkit dari kursi sambil tersenyum, bersemangat.
Aku meraih tanganmu dan memaksamu untuk ikut bangkit dan selanjutkan kembali mengikuti langkahku.
12.8.13
menjiwai ceritanya.
ReplyDelete