Puisi dan Fiksi #16

Aku mangajakmu memasuki sebuah toko buku. Tepatnya toko buku sekaligus perpustakaan untuk buku-buku lama. Tempatnya nyaman dan antik. Aku sering main-main ke sini ketika sedang tak ada kesibukan, bahkan lebih sering menyempatkan diri ke sini di sela-sela kesibukan demi mengobati kehausanku akan membaca.

Dan di sini aku dan kamu sekarang, duduk bersebelahan di satu sisi sebuah meja panjang yang hanya aku dan kamu yang menempatinya.

"Tunggu di sini!" kataku padamu lalu menghilang di balik sebuah rak buku yang menjulang.

Aku menelusuri sebuah rak. Menelusuri buku-bukunya. Aku menandai sebuah buku yang sangat ku sukai isinya. Dan aku menemukannya!

Sambil berjalan kembali menghampirimu, aku membuka-buka halaman buku, mencari sesuatu yang akan aku tunjukkan padamu.


"Hai! Gimana menurutmu tempat ini?" tanyaku.

"Lumayan," jawabmu sambil memperhatikan buku di tangan kananku. "Itu buku apa?"

"Tempat ini keren, tau!" seruku tak menanggapi pertanyaanmu.

"Hmm..." kamu hanya bergumam. "Itu buku apa?"

"Ini buku puisi. Isinya keren, deh! Coba liat yang ini!" aku menyodorkan buku di tanganku.



Kamu menerima buku itu lalu membaca sebuah puisi yang ku tunjukkan padamu. Sebuah puisi dari seorang penyair yang ku kagumi. Aku mengagumi karyanya seperti aku mengagumimu.


Aku Bicara Perihal Cinta
-Kahlil Gibran

Apabila cinta memberi isyarat kepadamu, ikutilah dia,
Walau jalannya sukar dan curam.
Dan pabila sayapnva memelukmu menyerahlah kepadanya.
Walau pedang tersembunyi di antara ujung-ujung sayapnya bisa melukaimu.

Dan kalau dia bicara padamu percayalah padanya.
Walau suaranya bisa membuyarkan mimpi-mimpimu bagai angin utara mengobrak-abrik taman.
Karena sebagaimana cinta memahkotai engkau, demikian pula dia
kan menyalibmu.

Sebagaimana dia ada untuk pertumbuhanmu,
demikian pula dia ada untuk pemangkasanmu.
Sebagaimana dia mendaki kepuncakmu,
dan membelai mesra ranting-rantingmu nan paling lembut yang bergetar dalam cahaya matahari.

Demikian pula dia akan menghunjam ke akarmu,
dan mengguncang-guncangnya di dalam cengkeraman mereka kepada kami.
Laksana ikatan-ikatan dia menghimpun engkau pada dirinya sendiri.
Dia menebah engkau hingga engkau telanjang.
Dia mengetam engkau demi membebaskan engkau dari kulit arimu.
Dia menggosok-gosokkan engkau sampai putih bersih.
Dia merembas engkau hingga kau menjadi liar;
Dan kemudian dia mengangkat engkau ke api sucinya.
Sehingga engkau bisa menjadi roti suci untuk pesta kudus Tuhan.
Semua ini akan ditunaikan padamu oleh Sang Cinta,
supaya bisa kaupahami rahasia hatimu,
dan di dalam pemahaman dia menjadi sekeping hati Kehidupan.

Namun pabila dalam ketakutanmu,
kau hanya akan mencari kedamaian dan kenikmatan cinta.
Maka lebih baiklah bagimu,
kalau kaututupi ketelanjanganmu,
dan menyingkir dari lantai-penebah cinta.
Memasuki dunia tanpa musim tempat kaudapat tertawa,
tapi tak seluruh gelak tawamu,
dan menangis,
tapi tak sehabis semua airmatamu.

Cinta tak memberikan apa-apa kecuali dirinya sendiri,
dan tiada mengambil apa pun kecuali dari dirinya sendiri.
Cinta tiada memiliki,
pun tiada ingin dimiliki;
Karena cinta telah cukup bagi cinta.

Pabila kau mencintai kau takkan berkata,
TUHAN ada di dalam hatiku,
tapi sebaliknya, “Aku berada di dalam hati TUHAN”.
Dan jangan mengira kaudapat mengarahkan jalannya Cinta,
sebab cinta,
pabila dia menilaimu memang pantas,
mengarahkan jalanmu.

Cinta tak menginginkan yang lain kecuali memenuhi dirinya.
Namun pabila kau mencintai dan terpaksa memiliki berbagai keinginan,
biarlah ini menjadi aneka keinginanmu:
Meluluhkan diri dan mengalir bagaikan kali,
yang menyanyikan melodinya bagai sang malam.

Mengenali penderitaan dari kelembutan yang begitu jauh.
Merasa dilukai akibat pemahamanmu sendiri tenung cinta;
Dan meneteskan darah dengan ikhlas dan gembira.
Terjaga di kala fajar dengan hati seringan awan,
dan mensyukuri hari haru penuh cahaya kasih;
Istirah di kala siang dan merenungkan kegembiraan cinta yang meluap-luap;
Kembali ke rumah di kala senja dengan rasa syukur;
Dan lalu tertidur dengan doa bagi kekasih di dalam hatimu,
dan sebuah gita puji pada bibirmu.

"Puisi apa nih?" tanyamu, kamu tak melepas mata dari puisi itu.

Aku tersenyum puas. "Puisi tentang cinta," jawabku.

Kau beralih menatapku. "Aku nggak ngerti, tapi lumayanlah..." kamu berkomentar.

"Ha ha ha! Memangnya apa sih selain aku yang 'wow' di hidup kamu? Itu pun sekarang udah nggak, iya kan?" kataku sambil tertawa.

"Kenapa ketawa?" tanyamu, kini sudah kembali sibuk mencari puisi lain dalam buku itu.

"Kenapa? Kamu suka puisi?" tanyaku melihat reaksimu, tak menggubris pertanyaanmu.

"Nggak begitu suka, aku nggak ngerti," katamu.

"Payah! Justru di situ bagian menariknya! Semakin aku nggak ngerti sebuah puisi, aku semakin suka dan terus baca berulang kali sampe aku ngerti," jelasku.

"Trus?" tanyamu, mengalihkan perhatian padaku dengan wajah datar yang membuatku tanpa ragu meninju bahumu.

"Aduh!" kamu meringis.

"Nggak menghargai banget! Sedikiiiiiiiittt aja, coba buat antusias kek gitu. Nyebelin!" aku protes.

"Iya deh, maaf! Trus, apa hubungannya kamu ceritain itu? Emangnya aku mau tau?" tanyamu.

Aku menghela nafas panjang. Kamu tetap sama. Tidakkah kamu tau bahwa pertanyaan seperti itu bisa menyinggung perasaan orang lain ketika dia dengan semangat menceritakan padamu tentang hal yang tak kau tanyakan namun ia sukai? Pernahkah kamu berpikir jika bertukar posisi? Ah, tak perlu. Dengan hal kecil saja kamu bisa tersinggung.

"Aku mau kamu tau! Dan... hubunganmu sama puisi itu…" aku memberi jeda. Aku ingin melihat reaksimu, namun kamu tetap menunggu dengan wajah tanpa antusias. Aku pun melanjutkan, "... kalian sama-sama sulit dimengerti. Waktu aku pikir sudah mengerti, tapi nyatanya masih ada hal lain yang belum bisa aku mengerti. Sulit memang, tapi menarik."

"Maksudmu, aku sulit dipahami?" kamu mengangkat sebelah alismu.

Aku mengangguk mantap. "Kalo baca puisi, aku pasti kebayang kamu. Betapa sulitnya untuk memahami kamu kayak gimana..." aku menerawang.

"Sesulit apa?" tanyamu.

"Sesulit kamu memahami puisi yang tadi," aku menjawab.

Kamu terdiam.

"Hei!" aku menepuk pundakmu. "Masih banyak hal yang harus kamu liat di sini! Tempat ini bisa bikin aku lupa untuk pulang ke rumah saking serunya. Kamu harus ngerasain itu juga!"

"Hmm..." sebelah alismu terangkat lagi. Aku tidak suka dengan maksud yang aku tangkap di balik itu, meremehkan. Tapi juga di saat yang bersamaan aku menyukai kamu melakukan itu karena kamu terlihat keren.

"Hmm? Tunggu di sini ato ikut sama aku?" aku memberi pilihan. Kita lihat, apakah kamu sudah berani untuk memutuskan sebuah pilihan ato menyerahkan pilihan itu.

"Ikut," jawabmu cepat.

Aku tersenyum. "Sini!" aku menarik tanganmu mengikutiku.

Dan kita menyusuri ruangan yang penuh dengan rak buku tinggi menjulang. Ribuan buku terpajang rapi memenuhi rak-rak tersebut. Sinar matahari sore yang hendak tebenam masuk melalui celah jendela dan membuat sebuah pancaran yang akan, percayalah, membuatmu jatuh cinta.

Aku lupa di mana buku-buku yang ingin ku tunjukkan padamu. Tapi bukankah itu bagus? Itu membuat aku bersamamu lebih lama di tempat ini. Aku akan membuatmu menyukai tempat ini, seperti aku menyukainya.

"Mau ke mana sih?" tanyamu tak berapa lama kemudian.

Aku hanya mengangkat bahu dan kini mendorongmu untuk berjalan di depan.

Aku menghirup udara di dalam perpustakaan ini. Aroma kertas-kertas tua merasuki hidungku dan menyegarkan otakku, seolah membangunkan saraf yang mengantuk. Aku menyentuh pundakmu, "Coba hirup aroma kertas-kertas tua di sini!"

"Buat apa? Kayak nggak ada kerjaan aja," kamu meangcuhkannya.

"Ih! Dicoba aja dulu!" kataku bersikeras. Kamu memang sulit.

Dan aku melihat kamu menarik napas dalam-dalam.

"Bau," ucapmu.

Kepalaku terkulai lemas, hampir putus asa. "Bukan begitu!" aku menatapmu kesal. "Tapi begini!"

Aku memejamkan mataku, membiarkan ketenangan menguasaiku. Kemudian mulai menghirup udara dalam-dalam. Lalu menghembuskannya.

Setelah melakukan itu, aku membuka mata dan tersenyum. "Ayo coba!"

"Nggak ah, kayak orang gila!" kamu mengacuhkan lagi.

"Ayolah...!" aku mulai memohon. "Tapi ngelakuinnya harus yang tenang, tanpa paksaan," tambahku.

"Gimana tanpa paksaan kalo dipaksa," katamu dengan wajah menyebalkan.

"Ayo dong!" aku memohon sekali lagi.

Aku mendengar kamu mendengus tapi kemudian kamu melakukannya. Kamu memejamkan mata, berusaha membiarkan ketenangan mengusasaimu lalu menghirup udara dalam-dalam hingga akhirnya kau membuka mata.

"Gimana?" tanyaku sambil tersenyum penuh semangat.

"Gimana apanya? Bau buku tua," jawabmu.

"Itu doang?!" aku terbelalak. Anti klimaks. Sepertinya usahaku membuatmu menyukai tempat ini akan gagal. Bahuku merosot.

"Iya. Kenapa kamu suka sama hal-hal yang aneh?" tanyamu.

"Berarti kamu juga aneh dong?" aku balik bertanya.

"Aku kan bilang 'hal-hal', bukan 'orang'," kamu berkilah.

"Itu termasuk apa aja, nggak terkecuali orang." Skak mat! Ha ha ha, aku tertawa dalam hati.

"Terserah," kamu melengos pergi melangkah duluan. Aku hanya memandang bayangan punggungmu sambil membatin, kamu kaku sekali.

Kita berjalan lagi. Aku masih membawamu mengitari perpustakaan ini. Lampu-lampu sudah mulai dinyalakan dan langit di luar sana berwarna semburat jingga, nila, dan ungu. Senja yang indah.

"Sampe kapan kita di sini?" tanyamu. Kedengaran sudah bosan.

"Sampe setelah ini," aku menarik sebuah buku dari deretan panjang buku-buku pada sebuah rak.

"Buku apa lagi itu? Buku puisi lagi?" tanyamu.

Aku memperlihatkan judul bukunya padamu.

"Buku tentang apa?" kamu terus bertanya dengan nada bicara yang sama, tanpa minat.

"Beda dengan puisi. Buku ini seru! Semoga kamu bisa kasi komentar yang sama setelah baca buku ini," kataku sambil menyodorkan buku itu.

"Memangnya aku bilang mau baca?" kamu menatap buku yang masih di tanganku dengan tatapan tak tertarik.

"Aku menyuruh kamu untuk baca. Nih, ambil!" aku memaksa tanganmu untuk menerima buku itu.

"Tapi..." kamu hendak protes tapi aku sudah meninggalkanmu dengan buku yang sudah berpindah tangan.

"Tapi apa? No excuse! Ayo kita ke penjaganya!" kataku sambil berjalan memimpin tanpa memperdulikan kamu langsung mengikuti atau malah tertinggal.

"Hei!" kamu memanggil tapi aku tak menoleh, melainkan tersenyum penuh kemenangan. Mengalahkanmu dengan cara yang tak bisa dibilang adil memang cukup sepadan. Kamu keras kepala dan tak ada cara yang lebih ampuh selain memaksa dan menunggu.

Setelah melewati beberapa rak tinggi menjulang, kita tiba di meja pustakawan. Di sana duduk dua orang wanita dan seorang pria. Di depan ketiganya tersedia secangkir kopi. Seorang wanita yang menyadari kehadiran kami langsung menyapa dengan sebuah senyuman, "Selamat petang!"

"Mbak, aku pinjem buku yang ini," kataku sambil menunjuk buku di tanganmu. Kemudian merogoh tas untuk menemukan kartu perpustkaan.

Mbak penjaga perpustakaan itu meminta buku yang dipegang olehmu lalu mencatat pada sebuah buku besar kemudian menginput sesuatu ke dalam komputer lalu meminta kartu anggotaku setelahnya.

Setelah mengucapkan terima kasih, aku dan kamu berjalan menuju tangga dan turun ke toko buku di lantai satu hingga keluar dari tempat itu.

"Kenapa minjem?" tanyamu ketika kita sampai pada jalanan yang diterangi lampu jalan.

"Memangnya kalo beli kamu mau simpen dan baca lagi?" aku balik bertanya.

"Nggak tau juga," jawabmu.

"Aku udah tau jawabanmu. Apa kamu udah tau jawabanku?" aku bertanya lagi.

Kamu hanya mengangkat bahu. Dan ujung bibirku terangkat di satu sisi, tersenyum puas.

Berjalan di sampingmu terasa aneh setelah sebulan lebih kita bukanlah milik satu sama lain. Tapi dengan keadaan yang berbeda, aku merasa sekarang lebih nyaman. Dan berjalan di sampingmu... cukup menyenangkan.

"Aku mau makan dulu sebelum pulang. Kamu gimana?" tanyaku setelah beberapa menit kita hanya diam.

"Aku juga. Mau makan di mana?"

"Di sini," aku berhenti di depan sebuah warung kaki lima. Aku masuk dan kamu mengikuti tanpa bicara apapun.

Malam ini rasanya begitu sejuk. Walaupun begitu banyak kendaraan bermotor yang membuat polusi semakin meningkat, tapi bersamamu aku merasa sejuk. Seorang teman yang sebelumnya lebih dari itu. Entah kenapa, sekarang semuanya terasa lebih baik. Tapi kamu tetap saja, tidak berubah.

Nasi goreng kaki lima menjadi makan malam kita. Begitu nikmat. Bisa jadi karena salah satu di antara dua hal, aku memang lapar setelah menghabiskan waktu di perpustakaan, atau ada kamu yang menemani. Mungkin keduanya.

"Aku yang bayar," katamu lalu bangkit. Aku kembali hanya menatap bayangan punggungmu dalam diam. Sesaat kemudian aku tersenyum. Tersenyum menyadari fakta bahwa kau tetap sama, aku pun tetap sama, hanya saja kini semuanya berbeda. Dan perbedaan itu tidak lebih buruk, namun sebaliknya.

"Makasih traktirannya!" seruku ketika kamu kembali.

"Ayo pulang!" kamu berjalan keluar.

"Buku itu harus kamu baca ya! HARUS!" aku mengingatkan.

Kamu hanya memandang buku itu, masih tanpa minat, namun mengangguk. "Aku mau buktiin komentarmu yang tadi.”

"Itu tujuannya," kataku lalu menjentikkan jari di depan wajahmu.

"Kamu orang yang terlalu rasionalis. Jadi, aku mau ngajarin kamu buat berimajinasi sedikit biar pikiranmu itu nggak melulu berdasarkan logika. Fantasi itu seru! Hidup itu harus dikasi sedikit fantasi biar bervariasi. Selamat membaca!" aku menambahkan lalu tertawa.

"Kurang ajar," katamu sambil mengacak rambutku.

"Eh, besok sore aku jemput kamu dan perjalanan kita nggak cuma sampe di sini," kataku.

"Mau ke mana lagi?" kamu bertanya.

"Besok kamu bakal tau," aku tersenyum misterius.

Di persimpangan, aku dan kamu berpisah. Sepanjang jalan ke rumah, senyum terus saja menghiasi wajahku. Aku terlalu bersemangat untuk besok dan karena hari ini. Aku tak sabar ingin menunjukkan dunia padamu. Bukan hanya apa yang kamu lihat dan pikirkan secara rasional, namun dunia yang hatimu mampu rasakan, juga imajinasimu ciptakan. Setiap orang memiliki dunianya, dan tak akan sama.


Comments

Post a Comment