Tea Time

Sore itu, di beranda sebuah tempat penginapan yang menghadap lepas pantai, aku dan kamu duduk berhadapan. Dengan hidangan teh sore dengan roti bakar mentega kesukaanku serta kentang goreng barbeque kesukaanmu.

Angin pantai sore itu cukup bersahabat. Menghembus pelan seperti membelai. Hembusannya seolah menyampaikan isi hati kita yang saling merindu meski dalam jarak sedekat itu. Dan cahaya matahari sore yang hangat seperti cinta yang terasa di antara kita saat itu.

Aku meneguk teh vanillaku yang tidak begitu manis sambil tak melepas pandangan darimu. Kau tersenyum menyadari apa yang ku lakukan. Dan senyuman itu... sehangat matahari sore itu.

Aku dan kamu sama-sama menyukai sore dan senja. Aku dan kamu jatuh cinta di saat senja. Kita jatuh cinta pada senja kemudian jatuh cinta satu sama lain. Aku dan kamu sekarang terus jatuh cinta lagi setiap sore dan senja. Selalu begitu.

Roti bakar mentegaku sungguh lezat sore itu. Entah karena bersama kamu atau memang lezat. Tapi aku tak tahu-menahu tentang rasa kentang gorengmu karena kamu tidak menyentuhnya sama sekali. Kamu hanya menatapku dan terus tersenyum. Bahkan uap dari cangkir tehmu terus berkurang, berbanding terbalik dengan isinya.

Sore pun semakin rendah. Matahari mulai menumpahkan cat jingga dan nila di langit sana. Begitu indah lukisan Tuhan pada senja. Aku menatapmu ketika kamu melakukan hal yang sama, dan kita mengerti bahwa kita jatuh cinta lagi.

Sisa teh di cangkirku tinggal seteguk. Dan ku tengok milikmu, masih utuh. “Kenapa belum diminum?”

“Lebih hangat cahaya matahari daripada teh itu. Dan lebih manis dirimu daripada teh itu,” jawabmu.

“Kenapa nggak dimakan?” tanyaku melihat ke arah kentang goreng barbeque milikmu.

“Lebih nikmat memandangi kamu,” jawabmu.

Dan aku hanya  terdiam. Aku menghabiskan sisa teh dalam cangkirku lalu memandang lautan yang kini memiliki pantulan keemasan di permukaannya. Lalu menghirup aroma lautan sore yang begitu penuh cinta. Atau karena aku sedang jatuh cinta?

Aku melirikmu dan kau melakukan hal yang sama.

Kita duduk berhadapan dan aku merasakan sentuhan telapak tanganmu yang hangat di atas punggung tanganku yang selalu dingin. Aku merasakan kehangatan yang menjalar hingga ujung-ujung jariku. Kehangatan cinta.

Kemudian sore berganti senja yang akan berujung pada malam. Cat jingga dan nila seakan hilang oleh kepekatan yang akan datang. Angin sore pun terasa berbeda. Dan saat itu aku hanya bisa melihat siluetmu. Kemudian aku jatuh cinta.

“Aku jatuh cinta,” hembusan angin membisikkan yang kau lirihkan.

--

Sore ini aku duduk di beranda tempat penginapan yang menghadap lepas pantai. Dengan secangkir teh vanilla dan roti bakar mentega.

Angin pantai sore itu cukup bersahabat. Menghembus pelan seperti membelai. Hembusannya seolah menyampaikan isi hatiku yang merindu.

Aku masih, dan tetap, menyukai sore dan senja. Aku jatuh cinta di saat senja. Namun ku rasa kini aku jatuh cinta sendirian.

Roti bakarku terasa hambar. Entah karena tak ada kamu di hadapanku atau memang roti bakarnya memang hambar.

Saat sore berganti senja yang akan berujung pada malam hanya mampu berujar lirih tentang bagaimana aku jatuh cinta padamu sembari berharap angin membisikkannya padamu yang entah di mana.

Comments