Sunset and Rainy Dinner #16

Sore ini aku bersiap-siap akan menjemputmu dan kita akan menikmati suasana kota pada malam hari. Dengan menggunakan celana jeans dan t-shirt biru muda ditambah cardigan navy blue, aku keluar kamar sambil mengetik sebuah SMS untukmu.

Siap-siap, yah! I'm on my way there ;)

Aku tak perlu repot-repot menunggu balasan darimu, karena aku tahu kalau kamu tak begitu hobi mengetik SMS. Jadi, aku langsung saja duduk di sofa sambil mengenakan sepatu kets favoritku.

Ini akan menjadi malam yang asik! Senyum pun muncul di wajahku begitu memikirkan aku akan menghabiskan malam ini denganmu. Ya, aku merindukan hal ini dulu, namun aku baru bisa mewujudkannya sekarang, setelah semuanya tak lagi sama.

Aku tengah mengendarai motor kesayanganmu menuju rumahmu. Langit sore ini cerah, seolah memberitahukan padaku bahwa malam ini akan indah. Ujung bibir kananku tertarik membentuk sebuah senyum simpul. O-ow, apa ini? Hatiku berdegup. Detaknya mengingatkanku akan perasaan yang ku rasa waktu itu. Ketika jatuh cinta padamu. Mungkinkah itu akan terjadi lagi?

-

Aku memutar kunci motor untuk mematikannya. Aku hendak turun dan membuka gerbang rumahmu, namun aku tak punya nyali untuk itu. Maka, aku mengeluarkan handphone dan mengetik SMS lagi.

Aku udah di depan....

Tak berapa lama kemudian, kamu keluar dengan setelan jeans beserta kaos lengan panjang hitam lengkap dengan sebuah tas selempang kecil yang selalu ikut denganmu. Di tangan kananmu menggantung sebuah helm hitam yang biasa kamu gunakan. Aku tersenyum menyambutmu.

"Kita mau ke mana?" tanyamu sambil memakai helm.

"Ikut aja. Oh ya, kamu yang boceng, ya?" tanyaku. Namun sesungguhnya aku meminta.

"Boleh." Kamu langsung mangambil alih motorku. Aku pun mundur dan duduk di boncenganmu.

Semerbak wangi citrus langsung memenuhi hidungku, menghidupkan memori lama. Aku memejamkan mata sejenak menikmati aroma parfummu.

"Kita mau ke mana?" tanyamu lagi ketika kita sudah sampai di jalan besar.

"Kita mau liat matahari terbenam di pantai. Yuk!" sahutku bersemangat.

"Pantai? Pantai mana?" tanyamu.

"Pantai di mana kita bisa ngeliat matahari terbenam," jawabku.

"Hmm... Ke pantai itu aja, ya!" katamu.

"Iya deh, aku ikut aja. Yang penting bisa liat matahari terbenam."

Aku pun duduk patuh di boncenganmu. Menikmati semilir angin sore yang berlalu di sekitar kita. Aku memandang langit yang mulai kemerahan di ufuk barat. Dan aku mulai merekam senja yang akan aku nikmati bersamamu. Hari ini.

-

Sampai di sebuah pantai. Pantai yang juga digunakan sebagai tempat rekreasi yang memiliki taman kecil serta food court yang menyediakan berbagai macam makanan. Pantai ini selalu ramai, tak terkecuali hari ini. Ditambah lagi cuaca yang cerah akan membuat siapa saja ingin menyaksikan matahari terbenam.

Di sini kita, aku dan kamu, duduk bersisian di semen pembatas antara taman dan pesisir pantai. Duduk dalam diam, merasakan hembusan angin pantai yang mengacak-acak rambut jabrikmu. Duduk menyaksikan keramaian pantai. Duduk memandang lepas lautan yang memantulkan warna langit yang jingga.

Diam-diam aku melirik wajahmu. Dari samping, bayangan hidungmu yang cukup mancung itu memancing jantungku untuk berdetak aneh. Tak ingin merasakan desiran yang pernah muncul di masa lalu itu lagi, aku segera mengalihkan pandanganku.

"Kenapa pengen liat matahari terbenam?" tanyamu tiba-tiba.

Aku terdiam sejenak, menenangkan diriku dari keterkejutan. "Mmm... lagi pengen aja. Ada sesuatu yang beda yang kerasa kalo ngeliatin matahari terbenam," jawabku perlahan.

"Apa itu?" tanyamu lagi. Matamu tetap memandang lepas lautan di sana.

"Semacam perasaan nggak rela. Kayak sedih, tapi bukan sedih. Cuma nggak rela aja. Kamu gimana? Suka liat matahari terbenam, nggak?"

"Biasa aja. Kadang aja suka," sahutmu, seperti biasa.

"Kalo sekarang, lagi suka ato enggak?" tanyaku. Kini memutar tubuh menghadapmu.

"Lumayan..."

"Mmm..." aku bergumam, hendak melanjutkan dengan sebuah kalimat namun ku urungkan saja. Lalu kita kembali bergelut dengan diam.

Matahari di barat sana sudah tergelincir menyisakan semburat nila dan jingga di langit. Cahayanya pun sudah samar-samar. Bulan sabit kecil mulai terlihat menggantikan matahari yang semakin tenggelam. Pun kejora sudah cemerlang di barat sana.

Aku menghela napas yang dalam dan menghembuskannya.

Aku membisikkan namamu pelan, "... semoga kita begini terus."

"Barusan bilang apa?" kamu menoleh. Kamu memberikan tatapan yang cukup untuk membuat jantungku loncat keluar sambil berdebar.

"Ha?" tanyaku sambil balas menatap wajahmu. Matamu.

"Barusan kamu ngomong sesuatu?" tanyamu akhirnya setelah kita terdiam dua detik.

"Enggak, tuh! Salah denger kali," aku menjawab sambil memalingkan wajah. Jantungku berdegup berkejaran kali ini. Aku bisa merasakan dengan jelas, telingaku terasa panas, barangkali saja memerah. Aku hanya tak menyangka, kau mendengarnya....

Setelah duduk beberapa lama selepas matahari menghilang, kamu bangkit berdiri dan berjalan tiga langkah ke depan.

Napasku serasa berhenti. Melihat bayangan punggungmu itu dalam sisa cahaya matahari yang samar-samar. Jantungku berdegup aneh lagi. Aku merindukan diriku yang mengagumi bayangan punggung itu.

"Balik, yuk!" kamu tiba-tiba berbalik. Matamu yang tajam itu langsung menyadarkan mataku yang menerawang kosong.

Aku mengerjap beberapa kali. Sembari mengembalikan kesadaranku dan menenangkan degup jantungku, aku bangkit bangun. Lalu menyusul ke tempatmu berdiri.

"Abis ini kita mau ke mana, nih?" kamu bertanya.

"Kita ke parkiran aja dulu," aku mendahuluimu berjalan meninggalkan pesisir pantai itu.

-

"Lurus aja, ntar di lampu merah belok kanan. Trus abis itu, nanti ada cafe gitu di kiri jalan. Jadi, ntar abis belok kanan pelan-pelan aja," aku menjelaskan tujuan kita, atau aku, selanjutnya setelah kamu bertanya lagi.

"Cerewet. Nanti ingetin lagi," katamu. Lalu kamu fokus pada jalan.

Di balik punggungmu, aku hanya terdiam. Aku membiarkan diriku tenggelam dalam kenangan kita di masa lalu. Aku selalu menyukai bayangan punggungmu sejak dulu. Kini, berada begitu dekat dengannya sungguh membuatku merasa nyaman. Aku mendapati diriku akan merindukan bayangan punggungmu.

"Eh, buku yang kemaren udah kelar dibaca?" aku membuka obrolan mengingat jarak lampu merah masih cukup jauh.

"Udah," jawabmu singkat.

"Gimana? Keren, kan?" tanyaku antusias. Aku sungguh ingin mengetahui tanggapanmu selain "biasa aja".

"Hmm?" kamu mendekatkan telingamu yang tertutup helm ke belakang, memintaku mengulangi pertanyaan.

"Gimana bukunya? Keren, nggak?" tanyaku lagi.

"Biasa aja, sih."

Bingo! Jawaban yang aku tak ingin dengar. Aku pun memukul pundakmu dengan gemas. "Nggak keren, gitu?"

"Keren, sih ... tapi, biasa aja," sahutmu.

Grr! Aku sungguh ingin menjitak kepalamu. Tanggapan yang paling membosankan yang paling sering kamu berikan, yang paling tak ingin ku dengar. Ternyata, setelah kemarin, kamu belum juga berubah. Ah, kamu kan memang keras kepala, melebihi keras kepalanya aku.

Setelah obrolan yang gagal itu, aku dan kamu hanya terdiam sampai lampu merah.

"Belok kanan, bos!" aku mengingatkan. Kamu menanggapinya dengan sebuah anggukan.

Aku mendongakkan kepala, melihat bintang-bintang yang menggantung di langit malam sana. Dalam hati, aku berharap semoga malam ini tak hanya akan berhenti sampai di sini saja. Maksudku, yah ... aku ingin terus bersamamu saja, seperti malam ini.

-

Setelah masuk di cafe, aku dan kamu duduk berhadapan. Aku ingat, kali pertama dan terakhir kita, saat lebih dari sekedar teman, makan bersama, kita duduk bersampingan. Entah mengapa, aku lebih suka begini, berhadapan.

"Kamu belum makan, kan? Ayo, pesen dulu!" aku menyodorkan menu padamu.

Kamu menelusuri menunya. "Nasi ayam kremes," ucapmu.

"Minumnya?" tanyaku lagi.

Kamu terdiam sebentar. "Jus wortel," tambahmu.

"Aku mie goreng sama milkshake coklat," kataku lalu melambaikan tangan, memanggil pelayan.

Selesai menyebutkan pesanan dan pelayannya berlalu, aku duduk diam menatapmu. Kamu sedang duduk dan memperhatikan sekitar.

Matamu itu melihat segala sesuatu dengan tatapan tak niat, tapi sekalinya memperhatikan, tegas dan tajam. Lalu alismu ... menyiratkan betapa kerasnya kamu.

"Masa bukunya biasa aja, sih?" aku bertanya kemudian, gregetan.

"Iya, emang kenapa? Ceritanya terlalu banyak menghayal," kamu berkomentar.

"Itu bukan menghayal, tapi berimajinasi. Kamu aja sih yang imajinasinya dibatas-batasin," aku menggerutu.

"Daripada suka ngayal," serumu mengejek.

Hampir saja aku menginjak kakimu, tapi mbak-mbak pelayan yang tadi sudah tiba di meja kita dengan makanan yang kita pesan. Ia meletakkan piring nasi ayam kremesmu, mie gorengku, dan gelas minuman kita di atas meja. Setelah selesai, dia tersenyum lalu meninggalkan kita.

"Itadakimasu!" ucapku sebelum menyedot milkshake coklat.

"Apa itu?" tanyamu sambil mengerutkan alis.

"Milkshake coklat," seruku.

"Bukan! Tapi yang kamu bilang tadi. Itu apa?" tanyamu.

"Oh... itu tuh ucapannya orang Jepang kalo mau makan. Itadakimasu!" seruku.

"Sok orang Jepang! Orang kan berdoa dulu sebelum makan, ini kenapa malah sok ke-Jepang-Jepang-an. Ckckck..." kamu protes lalu mendecak.

Aku hanya memandangmu sinis. Kamu memang sulit untuk tidak kaku, ya? Bukannya menanggapi netral saja, malah sewot begitu. Tapi, kalau sudah bercanda, kamu bisa lupa batasan saking bahagianya. Aku heran dengan hal itu.

"Kenapa nggak dimakan?" tanyamu melihatku melamun.

"Ini mau makan. Itadakimasu!" seruku. Aku sengaja mengucapkan kata itu lagi untuk menganggumu. Haha.

"Berdoa!" ucapmu sedikit menggertak.

Aku pun diam, berdoa. Lalu segera makan.

Aku melihatmu sudah hampir selesai menyantap makananmu, sedangkan aku baru menghabiskan setengah porsi.

"Kamu makannya cepet banget!" seruku sedikit terkejut sekaligus sebal.

"Kamu aja, sih, yang makannya lelet. Ckckck," kamu menyahut.

Aku diam saja, malas menyahuti lagi. Sebelum melanjutkan suapan, aku menyedot milkshake-ku dan memberinya tatapan kesal.

Tik... tik... tik.... Terdengar bunyi gerimis dari luar sana. Kemudian gerimisnya melebat menjadi hujan.

Aku sempat terpaku melihat hujan yang turun cukup deras. Seingatku, tadi sore langit begitu cerah. Namun sekarang hujan deras sedang menghujam tanah.

Beberapa orang yang sedang berjalan menikmati malam lekas mencari tempat berteduh. Dan jalanan pun tak lama kemudian turut sepi.

Aku mengalihkan pandanganku padamu. Dan aku menemukan sepasang mata itu. Matamu. Mereka sedang menatapku dengan tatapan yang cukup tajam, namun lembut. Aku terkejut.

Segera aku meraih gelas milkshake dan menyedotnya sekedar untuk mencairkan keteganganku.

Aku menatapmu lagi. Dan sepasang mata itu masih di situ, menatapku.

"Eh..." aku mencoba membuka obrolan.

"Ayo cepet selesein makanmu!" serumu setelah beralih memperhatikan hujan di luar.

"I-iya." Aku lantas melanjutkan makanku. Di otakku mulai muncul berbagai spekulasi. Ah, aku tak ingin membahasnya.

Beberapa menit kemudian aku telah selesai. Namun hujan di luar sana belum menunjukkan gelagat akan mereda. Cafe pun semakin ramai. Ada yang sekedar memesan minuman sekalian berteduh, sampai yang memang benar-benar akan makan malam.

"Hujan..." ujarku. Sesungguhnya aku berbicara padamu.

"Iya, hujan. Gimana dong? Kamu lama pulang nggak apa-apa?" tanyamu. Nada bicara yang tidak cuek.

"Kalo memang lama pulang gara-gara hujan kayaknya nggak apa-apa, deh. Kamu sendiri gimana?" aku bertanya balik.

"Ya nggak apa-apa. Nanti aku nganter kamu ke rumah, ya!" katamu. Namun, lebih terdengar seperti perintah.

"Lah, bukannya aku yang nganter kamu, ya?" aku bingung.

"Gimana kalo motormu aku yang bawa dulu? Kasian kamu nanti kalo harus pulang sendirian malem-malem," kamu menjelaskan sambil memainkan sedotan di gelasmu yang sudah kosong.

Aku berpikir sejenak.

"Ya udah, nggak apa-apa, deh. Btw, thanks, ya!" ucapku. Dan aku benar-benar memaknai ucapanku.

Kamu membalasnya dengan seulas senyum. Hanya sebuah senyuman. Bukan, tepatnya sebuah senyuman dan sebuah tatapan.

-

Akhirnya hujan pun mereda setengah jam kemudian. Kita pun meninggalkan cafe. Berada di luar cafe, hembusan angin setelah hujan terasa menusuk. Dingin. Aku segera memandangmu. Memperhatikanmu. Menerka-nerka apakah kamu merasa kedinginan atau tidak karena malam ini kamu tidak mengenakan jaket.

"Kenapa?" tanyamu. Kamu menyadari aku memperhatikanmu.

"Kamu nggak kedinginan?" tanyaku polos.

"Enggak. Kamu kedinginan?" kamu balas bertanya.

"Lumayan."

"Manja banget sih, padahal udah pake jaket gitu," kamu mengejek.

Tanpa menunggu, aku langsung melayangkan sebuah pukulan yang cukup keras pada lenganmu.

"Jangan kebanyakan ngayal!" serumu. Kamu seakan baru saja membaca skenario di otakku. Skenario yang biasa ada dalam novel, di mana ketika udara dingin, seorang cowok akan melepas jaketnya untuk cewek yang berdiri kedinginan di sebelahnya. You got me!

Ah, tentu saja skenario itu tidak akan terwujud, memakai jaket pun kamu tidak. Aku mengutuk otakku yang memang sering terbawa-bawa adegan dalam novel.

Aku memasang tampang sebal.

-

Malam itu berakhir dengan aneh. Tapi aku menyukainya. Selalu menyukai akhir dari apa pun, selama hal itu aku lakukan bersamamu. Yah, kecuali mengakhiri hubungan itu. Itu sebuah pengecualian. Pengecualian yang terjadi karena sebuah kebodohan yang diikuti penyesalan.

-

Aku melambaikan tangan padamu. Sosokmu mulai terlihat menjauh di bawah penerangan lampu jalan di depan gerbang rumahku.

Hati-hati di jalan, ya :)
Thank you for tonight.


Sent.

Aku tersenyum selepas menghilangnya bayangan punggungmu. Sesungguhnya aku masih merasakannya. Rasa sayang itu masih tersimpan. Untukmu. Suatu hari nanti, lagi. Ketika semesta mengizinkan.

Comments

Post a Comment