Di Senja Yang Sama

Di senja yang sama. Aku berharap itu tak akan pergi selekas yang telah terjadi. Tapi senyumanmu yang terakhir kali tak dapat pergi dari benakku, terus saja menghantui seperti bayang-bayang.

Kecupan yang pertama itu menjadi yang terakhir ketika ku menyadari kau berbalik dan pergi untuk tidak kembali. Kecupan manis dan lembut yang ku rasa. Menyentuh bibirku dengan bibirmu yang dingin. Meski begitu, aku merasakan kehangatan yang meluluhkan hatiku dalam beberapa detik itu.

Dan dekapan sebelum kecupan itu menjadi yang terakhir. Kehangatan yang ternyata tak untuk seterusnya. Kehangatan yang begitu nyaman untuk kembali, namun nyatanya benar-benar pergi. Menyentak kesadaranku akan realita bahwa kau tak mungkin akan kembali karena dekapan pada senja itu terasa berbeda.

Menatap matamu yang teduh dengan senja di dalamnya, membuat sebuah badai hebat dalam hatiku. Aku tak ingin mengakuinya, namun rasanya aku porak poranda menyaksikan apa yang tersirat dalam mata itu. Matamu. Sebuah pisau yang akan memberikan luka. Pisau yang menyayat bersama dengan sebuah perpisahan.

Setelah menyadari apa yang ada dalam benakmu ketika menatap mata itu, aku meraih tanganmu, mengharapkan sebuah genggaman yang nantinya mematahkan apa yang ku lihat dalam matamu. Meyakinkanku bahwa tak akan ada perpisahan nantinya. Meyakinkan padaku bahwa yang tadi hanya ilusi.

Ku rasakan jemari yang kurus dan panjang-panjang merengkuh jemariku. Namun apa yang seharusnya terasa tak lagi sama.

Dan kau mendekapku seolah meyakinkan kita untuk tidak berserah pada apa yang tersirat dalam matamu. Meyakinkan dirimu bahwa kau tak menghendaki perpisahan. Tapi ternyata kau tak berhasil.

Kau menyadari ketidak-berhasilanmu hingga akhirnya kau mengecupku. Beberapa detik dengan landasan yang sama. Meyakinkan kita untuk tidak berserah pada apa yang tersirat dalam matamu. Meyakinkan dirimu. Namun lagi, kau tak berhasil.

Ketika kau menyadari kau tak bisa lari dari apa yang akan terjadi, maka senja itu menjadi saksi. Kau berbalik dan pergi untuk tidak kembali.

Di senja yang sama, aku berdiri sendiri berpura-pura tegar. Berusaha mengabaikan masa lalu yang terus menguntit. Dan hanya tersenyum lirih ketika mengenang senja itu.  Lalu aku mematung di bawah langit jingga hingga ia berubah menghitam.

Comments