Abstract

Apa hanya lukisan saja yang boleh abstrak?
Mengapa?

Jika memang seni itu boleh seni itu abstrak,
tentu puisi pun boleh, bukan?

Sering kali ketika amarah itu datang
Aku memilih diam dan memendam.
Aku takut untuk bicara.
Aku takut kata-kata tak akan santun.
Aku takut melukai hati orang lain.
Biarlah saja hanya aku.

Sering kali ketika amarah itu datang
Aku membiarkannya mengalir jatuh
bersama air mata.
Terasa hangat membasahi pipi
terkadang panas.
Terisak dalam diam,
ataupun menjerit kecil.
Sama saja.
Sama-sama sakit rasanya.
Ada yang menyesak dalam dada.

Sering kali ketika amarah itu datang
Aku berpaling tak akan sudi melihat wajahnya.
Sekali atau kali ke-sekiannya.
Entah aku pengecut atau apa.
Entah aku menghindar atau apa.
Entah aku terlalu merasa terluka atau apa.
Tapi sama saja.


Sering kali ketika amarah itu berlanjut
Maaf saja bukan kata yang cukup.
Terkhianati lebih dari sekali pun cukup.
Memaafkan memang mudah, namun butuh waktu.

Meski bukan aku,
namun aku tahu.

Meski bukan aku,
Aku merasa sakit.
Entah sebesar apa lubang yang diakibatkan.
Entah berapa lama waktu untuk menutupnya.

Untuk sementara,
aku tak ingin menyiksa diri
dengan bersandiwara.
Biarkan aku begini!
Bergelut dengan luka-luka.
Bermain bersama pedihnya luka.
Bersekutukan rasa kesal.

Maka, biarkan aku begini...
tak ingin memandangmu,
bahkan bertutur kata padamu.
Aku...
saat ini belum sudi.

Comments

Post a Comment