the Cold Guy

Mahesa melihat sesosok lelaki jangkung yang berjalan dari ujung lapangan. Mahesa baru sekali itu melihatnya. Lelaki jangkung itu terlihat sangat dingin. Ia berjalan sedikit menunduk dengan kedua tangannya yang bersembunyi dalam kantong.

Mahesa memicingkan matanya untuk meneliti sosok jangkung tersebut. Ada yang beda yang ia rasakan dari sosok itu. Bel masuk kelas berdering membuyarkan fokus Mahesa. Terakhir, ia melihat sosok jangkung itu sedikit berlari.

-

Theo duduk sendiri di sebuah bangku taman, di bawah sebuah pohon besar. Sebuah tempat minum berada di sebelahnya. Sesekali, sambil membaca sebuah buku tebal, ia meneguk isinya perlahan lalu menyeka ujung-ujung bibirnya dengan saputangan.

Ini adalah kali ke-sekian ratus kalinya ia berpindah dari satu sekolah ke sekolah lain. Melompat dari satu tempat ke satu tempat seperti belalang. Berganti identitas setiap berpindah seperti bunglon. Ia lelah dan penat, namun tak ada yang bisa dilakukannya selain terus begitu. Entah akan sampai kapan.

Theo mendongakkan kepalanya, sejenak menghirup dalam-dalam udara di tempat barunya. Semilir angin membawa aroma manis yang membuatnya awas. Ia menutup buku tebal yang dibacanya, melipat rapi saputangannya, merapikan letak tempat minum di sebelahnya. Lalu duduk terdiam.

Theo mendengar langkah yang mendekat perlahan. Aroma manis itu semakin pekat. Theo menelan ludahnya. Tak lama kemudian, sepasang sepatu putih tertangkap ujung matanya.

"Mmm... boleh aku duduk?" tanya pemilik sepatu itu.

Theo hanya mengangguk. Ia merasa sedikit kepayahan mengontrol dirinya detik itu. Sosok yang mulai duduk di sampingnya itu mulai membuatnya gelisah.



"Mahesa," pemilik sepatu itu memperkenalkan dirinya.

Theo hanya terpaku menatap tangan yang terulur itu. Akhirnya ia hanya mengangguk sambil mengalihkan pandangannya dari tangan yang terulur. "Theo," ucapnya.

"Kamu anak baru, ya?" tanya Mahesa sedikit kecewa karena Theo tidak menjabat tangannya.

Theo hanya mengaggukkan kepalanya. "Kelas dua belas," tambahnya.

"Oh... kakak kelas," Mahesa bergumam.

Theo merasa ia tiba pada puncak pengontrolan dirinya. Ia bangkit dan meninggalkan Mahesa begitu saja.

-

Mahesa hanya menatap punggung jangkung yang menjauh dengan begitu tiba-tiba itu. Ia mengusap lengannya yang sedikit merinding. Udara di sekitarnya perlahan menghangat sepeninggal Theo, nama sosok jangkung itu. Aneh.

Mahesa memiliki begitu banyak keingin tahuan akan sosok jangkung itu. Ia merasa ia harus tahu lebih banyak. Bagaimanapun caranya.

-

Cukup. Ia pikir ia tak akan menemui sosok beraroma manis lagi, tapi nyatanya ia salah. Cukup satu kali saja ia bertemu dengan sosok itu, sosok dengan sepatu putih itu, Mahesa. Ia merasa akan sangat sulit baginya untuk mengendalikan diri saat berada di dekat sosok Mahesa. Sosok itu berbeda.

Maka beberapa hari setelah pertemuan pertamanya dengan Mahesa, ia selalu berusaha tidak menampakkan diri di tempat-tempat yang memungkinkan dirinya terlihat oleh Mahesa. Ia tidak ingin berada dekat-dekat dengan Mahesa hingga tiba saatnya ia pindah lagi.

Dan begitu banyak hampir terjadi selama hari-hari panjang yang berlalu. Ketika aroma manis mulai menggelitik indera penciuman Theo, ia segera melangkah panjang-panjang untuk menjauh. Kadang, ketika aroma manis terbawa oleh semilir angin yang berhembus, Theo diam sejenak untuk menghirup aroma itu dalam-dalam. Seolah dengan begitu ia bisa menyimpan manisnya seharian.

-

Setelah pertemuan pertamanya dengan sosok jangkung itu, Theo, Mahesa terus memburunya. Nihil. Sejak saat itu ia sulit menemukan sosok Theo seolah Theo tak lagi di sana, di sekolah yang sama dengannya. Rasa ingin tahunya terus tumbuh kian hari, namun ia tak kunjung menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan dalam benaknya. Mahesa gelisah.

Setiap hari, ia datang lebih pagi untuk duduk dan memantau kedatangan siapa saja, berjaga-jaga akan kedatangan sosok jangkung itu, Theo. Setiap jam istirahat, ia duduk dan memantau lagi, kalau-kalau sosok jangkung itu berlalu melewati lapangan. Setiap jam sekolah usai, ia mengulur waktu pulangnya dan duduk memantau setiap siswa yang berjalan menuju gerbang sekolah. Sayang, semuanya nihil tanpa hasil.

Ketika telah lama melakukan hal itu, Mahesa merasa lelah. Ia merasa tak sanggup menumbuhkan benih kecil harapan yang masih tergolek begitu saja di sudut hatinya. Ia memutuskan untuk berhenti setelah hampir habis satu semester terakhirnya menduduki kelas sebelas.

Terkadang Mahesa merasa dekat dengan sosok yang terus dicarinya, namun pada detik setelahnya ia merasa sosok tersebut sudah tak lagi dekat. Maka pada saat seperti itu ia merasa seolah-olah terjebak dalam fatamorgana di hamparan pasir gurun.

-

Semester ini akan berakhir. Berbagai acara telah dipersiapkan oleh OSIS sekolah, mulai dari perpisahan formal dengan pihak guru sampai perpisahan yang sedikit informal karena tidak melibatkan guru. Dan yang sedikit informal itulah yang dihindari Theo. Prom.

Ia tahu ia tak bisa mengasingkan diri terlalu mencolok. Ia harus bertahan sedikit lagi untuk yang ke-sekian ratus kalinya melewati hal seperti itu, prom. Jika peraturan prom kali ini sama dengan peraturan-peraturan lainnya, maka ia akan mengambil risiko yang cukup besar.

Bagaimana ia akan memulainya lagi? Bagaimana ia akan menahan dirinya dari sosok beraroma manis yang selama ini dihindarinya? Apa yang akan dilakukannya? Theo berpikir keras dan terus terjaga dalam beberapa malam.

-

Pada suatu pagi, Theo datang sangat pagi. Ia menunggu di depan kelas Mahesa. Menunggunya sambil menguatkan diri untuk mengendalikan diri ketika berhadapan dengan Mahesa. Bukan. Bukan mengendalikan debaran jantung yang tak menentu, melainkan sesuatu yang jauh lebih berbahaya.

Tak terlalu lama, Theo menghirup aroma manis yang dihantar semilir angin pagi itu. Angin seolah tau dan membantu, batin Theo.

Kemudian ia mendengar langkah kaki mendekat. Aroma manis yang tadi hanya sekelebat mulai menguat dan merasuk hingga tenggorokan Theo. Ia menelan ludah seolah aroma manis yang ia hirup terkecap lidah.  Keringat dingin membasahi kedua telapak tangannya yang berada di dalam kantong celana.

-

Pagi itu Mahesa terlanjur datang lebih pagi. Ia menaiki tangga dengan langkah yang dilambatkan. Tak ada lagi keinginan untuk duduk dan memantau hari ini. Tidak sejak berhari-hari yang lalu.

Tiba pada anak tangga terakhir, Mahesa mengelus belakang tengkuknya. Udara mendadak menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Ia menyelesaikan langkah terakhirnya dengan begitu perlahan.

Setelah berbelok kanan menuju kelas, ia terperanjat pada sosok yang nampak di hadapannya. Theo.

Mahesa menghentikan langkahnya. Di sana Theo berdiri sedikit membungkuk dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam kantong celana. Kepalanya mengarah pada sosok Mahesa yang terpaku. Matanya langsung menatap wajah Mahesa yang seketika berubah pucat.

Tiba-tiba Theo tersenyum. Senyumannya aneh. Mungkin karena ia memang tak sering tersenyum. Namun, senyumannya lebih mirip seringai tipis. Ia tersenyum, namun di balik senyumnya ada sebuah hampa. Seolah senyumnya tak berarti apa-apa. Bahkan patung pun bisa tersenyum lebih baik darinya.

Mahesa terkejut akan senyuman -atau seringai- yang muncul pada wajah Theo, yang ternyata baru disadari Mahesa, sangat pucat. Sosok jangkung itu menghilang seolah tertelan bumi sejak hari mereka bertemu, atau sejak hari Mahesa mempertemukan dirinya. Kemudian sosok itu tiba-tiba muncul kembali seolah termuntahkan oleh gunung berapi.

"Mahesa?" ucap Theo.

Mahesa memandang Theo hampir tak berkedip. Ia tak tahu harus menjawab bagaimana.

"Do you mind to be my couple at the prom?" kata Theo tanpa basa-basi. Kata-katanya terdengar dingin seolah terlalu lama membeku dalam kerongkongan.

"Nggak salah?" tanya Mahesa perlahan. Ia sedikit ragu dan sedikit takut.

"No, really big no."

"Why me?" tanya Mahesa lagi.

"You're interesting."

Mahesa terdiam. Rasa ingin tahu dan pertanyaan-pertanyaan yang dulu dikuburnya, kini bermunculan bak tunas-tunas yang terbasahi tetes embun.

"I'll follow you," ujar Mahesa akhirnya.

-

Hari prom tiba. Gedung aula sekolah telah disulap sedemikian rupa hingga kini nuansanya begitu berbeda. Lampu yang bergantungan dengan cahaya redup membuat prom kali ini jauh berbeda dengan prom-prom sebelumnya. Tema yang digunakan sedikit agak ekstrim, halloween romance. Tema yang benar-benar baru. Tercetus dari seorang yang juga benar-benar baru, Theo.

Pukul 9 malam mulai berdatangan pasangan-pasangan dengan kostum formal yang mengikuti tema. Kebanyakan perempuannya menggunakan dress berwarna hitam atau warna gelap lainnya. Tak terkecuali Mahesa. Ia mengenakan mini-dress selutut berwarna ungu gelap dengan stoking hitam panjang yang menutupi seluruh kakinya. Rambutnya diurai dan hanya diberi sedikit jepit di bagian kiri. Mempesona, satu kata yang cukup tepat untuk mendeskripsikannya.

Theo berjalan di samping kanan Mahesa. Sosok itu mengenakan setelan tuxedo putih, bertolak belakang dengan yang lainnya. Lengan kirinya menjadi tempat lengan Mahesa menyusup, sementara lengan kanannya berakhir di dalam kantong celana. Misterius, satu kata yang tepat untuk mengutarakan kata hati Mahesa untuk Theo.

Mahesa merasakan sekujur lengan dan tubuh Theo yang menempeli lengannya begitu dingin, seperti mayat berjalan. Sesekali ia menggosokkan kedua telapak tangannya.

Selama prom, Theo sama sekali tidak bicara. Mahesa, ia terlalu sibuk dengan pikirannya yang menerka-nerka. Keduanya pun tak saling bicara meski mereka terlihat serasi di mata yang lainnya.

Tiba waktunya untuk turun ke lantai dansa bagi setiap yang hadir. Theo dan Mahesa pun tak luput dari acara itu. Mahesa awalnya menolak, namun sentuhan Theo pada telapak tangannya seperti mempunyai kekuatan magis yang aneh. Mereka pun turut berdansa.

Theo yang sedari awal sudah kuat-kuat menahan diri dari godaan aroma manis dari sosok Mahesa pun kemudian merasa begitu tersiksa. Terlebih kini mereka berdansa dan jarak di antara mereka menyempit dengan sendirinya. Pada satu gerakan, hidung Theo tepat berada di atas kepala Mahesa, menyentuh rambut halus perempuan itu yang harum. Namun bukan itu yang tercium, melainkan aroma manis yang begitu pekat.

Theo menahan dirinya kuat-kuat. Ia menelan ludah banyak kali selama berdansa. Aroma manis yang menguar dari sosok Mahesa sungguh membuat Theo tergoda. Tetapi ia sadar, ia tak akan melakukan kesalahan yang sama.

Acara dansa berakhir, berlanjut dengan acara yang disebut sebagai klimaksnya, pengumuman pasangan prom terfavorit. Basi, pikir Theo.

"Let's go out," ajak Theo.

Mahesa menunjukkan ekspresi bingung. Theo bangkit dan meraih lengan Mahesa lalu berjalan keluar dari gedung aula.

"Kamu mau ngapain?" tanya Mahesa ketika mereka menaiki tangga menuju kelas Mahesa.

"You will know," Theo terus menapaki anak tangga.

"Here," Theo berhenti tepat di depan kelas Mahesa.

Malam itu bulan bersinar begitu cerah, bulat sempurna. Purnama.

Angin malam itu berhembus pelan dan dingin. Mahesa sedikit bergidik berdiri di samping Theo. Sosok jangkung itu terlihat begitu dingin dan misterius.

Tiba-tiba Theo mendekati Mahesa. Mahesa yang terkejut sontak melangkahkan kakinya mundur, namun Theo dengan sigap menariknya jatuh dalam dekapan.

Theo mendekap Mahesa begitu kuat. Ia merasakan kehangatan dari tubuh Mahesa. Serta aroma manis yang terus menguar semakin kuat dari tubuh Mahesa.

Theo menghirup ujung kepala Mahesa seolah mengecap aroma manis yang tercium olehnya.

Selama beberapa menit berlalu, Mahesa dalam dekapan Theo. Ia merasa takut, namun ia diam saja.

Akhirnya, dilepaskannya Mahesa dari dekapan. Theo mundur dan berbalik. Ia menatap langit, memandang cahaya bulan yang begitu indah.

"Theo..." ucap Mahesa pelan.

Mahesa melangkah perlahan dan berhenti di samping Theo. "Do you mind if I ask you some questions?"

Theo menggumam.

"Kenapa aku ngerasa kamu aneh dan beda sejak pertama aku liat kamu di sekolah ini?" pertanyaan pertama.

Theo hanya diam.

"Well, waktu pertama aku memberanikan diri ketemu dan deket sama kamu, kenapa udara terasa lebih dingin?" pertanyaan ke-dua.

Theo menolehkan kepalanya, "Go ahead."

"Kenapa selama beberapa hari yang banyak kamu ngilang, nggak keliatan sama sekali?" pertanyaan ke-tiga.

Theo memejamkan matanya, menunggu pertanyaan ke-empat.

"Kenapa menjelang prom kamu tiba-tiba muncul dan minta aku nemenin kamu?" pertanyaan ke-empat.

Theo membuka matanya perlahan. Ia menghirup nafas dalam-dalam. "You don't know, right?"

"Apa?" tanya Mahesa.

"I'm a kinda fairytale creature. Maybe you wouldn't believe, but this is the truth, I'm a vampire..."

Nafas Mahesa tercekat. Saat itu juga ia merasa begitu takut, namun rasa ingin tahunya lebih besar.

"... and you smells sweet. I can't keep being near you. It dangers you. I don't want to hurt anyone, including you. So, I keep in the distance. That's why you said that I was losing."

Mahesa mendengarkan.

"I want to make a good farewell with a girl like you in a good way as well. That's why I'm asking you to be my partner this night."

"Vampire. Is it really real?" tanya Mahesa.

"As you see in your eyes, I exist. So the other."

"That's the reason of the weird feeling when I'm with you?" tanya Mahesa lagi.

"All I can say for that question is yes, you're right, Mahesa. Maybe the real human can feel something different when they're close to us. Or maybe only some special humans can do that, i think."

Theo membalik badannya dan memutar tubuh Mahesa menghadapnya. "You're such a good girl. Your smell is sweet, but I don't want to hurt anyone."

Theo mendekap Mahesa sekali lagi seolah Mahesa-lah gadis terakhir dengan aroma manis yang ia temui. Ia menghirup ujung kepala Mahesa sekali lagi, menghirup sebanyak mungkin aroma manis yang ia pikir akan terasa oleh indera pengecapnya.

"Thank you. You made me feel alive. And living this life until forever is bored, you know? Yeah, vampire live forever, right? But since I met you, it isn't bored anymore. Frankly, I don't wanna leave, but I have to. Be an high school person in your whole life needs sacrifice. I have to move when my time is over at one place. Thank you, Mahesa."

"Terima kasih buat apa?" tanya Mahesa setelah mendengarkan dengan tercengang.

"Buat menjadi alasan saya bertahan di sini sampai waktunya saya harus pergi."

"Sekarang?" tanya Mahesa lagi.

"Definitely yes, Mahesa. Thank you for the first and the last time we've been together."

Theo berbalik dan seketika hanya terlihat sekelebat saya sisa banyangnya. Ia berlari begitu cepat seperti hembusan angin dan menghilang dalam satu detik.

Mahesa menyaksikan Theo, sosok jangkung yang aneh itu, menghilang. Tersisa ia sendiri, terurai sudah semua pertanyaan dan keingin tahuannya. Kini ia hanya ingin memastikan, mimpikah yang barusan?

Perlahan Mahesa menuruni tangga menuju pulang. Semakin ia meninggalkan depan kelasnya, semakin yakin ia bahwa barusan bukan mimpi. Jika memang begitu, maka yang barusan merupakan kenyataan yang cukup mencengankan sekaligus menyenangkan baginya. Bayangan wajah pucat Theo pun muncul sepanjang perjalanan ia pulang. Mahesa hanya tersenyum.

Comments