Dualitas

Di dunia ini segala selalu memiliki dua sisi. Baik dan buruk, pro dan kontra, positif dan negatif, dan seterusnya. Jika sebuah koin saja memiliki dua sisi, maka manusia pun demikian.

Manusia memiliki sisi baik dan buruk yang disembunyikan maupun ditunjukkan pada orang dan situasi yang berbeda. Manusia pun terkadang menjadi dua pribadi dalam satu raga, pro dan kontra.

Pernah satu ketika dihadapkan pada satu keadaan di mana kedua sisi dalam raga saya berseteru, pro dan kontra. Terkadang saya tidak memihak satu dari mereka, melainkan pasrah. Namun, tanpa saya sadari, saya memihak. Dengan pasrah, saya seperti memihak pada hal yang dikontra oleh sisi saya yang lain, bukan pro, melainkan lebih ke membiarkan semesta yang menunjukkan.

Peristiwa kemarin menyentak pikiran saya akan dualitas yang dimiliki manusia. Berdialog dengan seorang yang saya percaya bisa membantu sedikit-banyak mampu melebarkan pikiran saya hingga mendekati cahaya. Selanjutnya pikiran saya terus berkelana menelaah perlahan apa yang telah kita diskusikan.

Ketika dihadapkan pada suatu keadaan, ketika keadaan itu menimbulkan perang batin, maka acuan yang menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan; perasaan. Perasaan di sini menurut saya adalah kenyamanan dan kebahagiaan. Singkatnya, ambillah keputusan yang akan menyebabkan kamu bahagia atau merasa nyaman. Bila keputusan yang kamu ambil malah membuatmu tertekan atau menyesal, maka untuk selanjutnya jangn diulangi.

Hal yang selanjutnya menjadi perdebatan ialah bagaimana dengan tanggungjawab, tugas, kewajiban, dan hal yang diamanahkan? Bagaimana jika hal-hal tersebut tidak membahagiakan atau tidak membuat nyaman? Maka lakukanlah hal tersebut sesuai porsinya, jangan berlebihan, jangan dipaksakan. Dengan demikian tidak ada yang salah, bukan?

Saya mengutip sebuah quotes dari sebuah serial televisi, Revenge:
"Dualitas diatur oleh keseimbangan terang dan gelap. Dalam diri kita terdapat kejahatan dan kebaikan. Kita tidak bisa memilih dengan siapa kita jatuh cinta. Ada dua sisi tiap manusia. Satu sisi untuk ditunjukkan pada dunia dan satu sisi lagi untuk kita simpan sendiri."

Akan selalu ada bagian yang kita sembunyikan dari orang lain, begitu pula sebaliknya. Hal tersebut rasanya wajar saja, bukan? Bagaimana rasanya hidup tanpa sebuah rahasia yang kita simpan sendiri?

Seringkali dualitas dalam diri saya membuat saya bimbang dalam mengambil keputusan. Sebelumnya, menjadi seorang yang impulsif cukup memudahkan saya. Namun setelah saya kaji, menjadi seorang yang impulsif sepertinya terlalu egois. Sehingga saya mencoba untuk mengurangi keimpulsifan saya dan menjadi lebih berempati pada orang lain.

Satu pemikiran sederhana itu saya pikir adalah sebuah langkah maju bagi saya sendiri. Sayangnya waktu menyadarkan saya bahwa itu bukanlah suatu langkah maju. Seperti kata rekan diskusi saya, "Lebih baik maju satu langkah daripada mundur satu langkah."

Yah, apa yang saya pikir sebagai sebuah langkah maju ternyata menimbulkan ketertekanan batin. Saya merasa terpaksa dan merasa digantung oleh situasi di mana saya merasa sudah tidak ada lagi yang perlu saya lakukan, namun saya tetap untuk menunggu kalau-kalau saya dibutuhkan. Atas dasar diskusi singkat di sebuah pagi, saya memutuskan untuk kembali mengambil langkah maju dengan kembali menjadi diri saya yang impulsif. Ya, impulsif yang lebih baik dari yang sebelumnya tentu saja.

Dualitas dalam diri manusia memang sedikit merepotkan dan ribet untuk dikupas ringkas. Begitu banyak hal yang mesti diperdebatkan untuk mendapatkan satu atau maksimal dua kesimpulan yang konkrit. Tapi, sekali lagi, biar waktu yang melaksanakan tugasnya. Pada saatnya nanti, saya (khususnya) berharap akan paham mengenai konsep impulsif dan empati lebih dalam.

Menjadi impulsif memang terkesan egois, namun, sekali lagi saya mengutip perkataan rekan diskusi saya, "Yang menilai baik atau buruknya diri kita bukanlah orang lain seperti yang kamu pikirkan selama ini. Yang pada akhirnya menilai diri kita adalah diri kita sendiri."

So, do what you love and you'll love what you do.

Comments