Langkah ke-Tiga

Aku tenggelam dalam lamunanku. Terkenang akan sebuah tanggal yang sama dengan hari ini beberapa tahun yang lalu. Entah mengapa kenangan yang satu ini belum bisa beranjak dari benakku. Meski sudah kukumpulkan kenangan lain untuk menguburnya, namun tetap saja kenangan ini bisa muncul kembali ke permukaan.

Malam itu aku memantapkan diri lagi sebelum melakukan hal yang tak pernah kubayangkan untuk kulakukan. Tapi setelah hampir dua minggu tanpa kabar, kurasa pertahananku semakin rapuh dan mulai runtuh. Aku tak ingin menjadi lemah karena bertahan, aku ingin menjadi tegar karena memutuskan.

Kemudian sejak malam itu aku terus meyakinkan diriku bahwa keputusan yang kuambil telah benar. Bahwa aku akan menemukan seorang lagi yang lebih mampu bagiku. Aku harus belajar lagi bagaimana berjalan sendirian tanpa berbagi hati.

Namun, seperti yang sudah kuduga sebelumnya, berjalan sendirian tak akan lama untukku. Seorang yang baru datang begitu saja. Semesta sepertinya  tak menginginkan aku berjalan sendiran, seorang itu datang dan menawarkan menjadi kawan berjalan. Aku, dengan sedikit keraguan yang terus bertambah, memberanikan diri untuk menerima tawarannya.


Sejak hari itu aku tak lagi melangkahkan kakiku sendirian. Dia selalu berjalan di sampingku, berusaha menggandeng tanganku. Namun rasanya aku masih berjalan sendirian, menatap jalan yang berbeda dengan jalan yang ditatapnya. Entah apa yang dia rasakan, seiring waktu aku malah merasa semakin sendirian saja.

Suatu malam dalam sebuah tidurku aku bermimpi. Mungkin saja mimpi itu dapat menjelaskan kegamangan atas apa yang kurasakan akhir-akhir ini. Dalam mimpi itu aku kembali pada masa sebelum aku memutuskan untuk berjalan sendiri, pada masa saat aku masih berbagi langkah denganmu. Rasanya dekat namun ada jarak.

Aku terbangun di tengah malam itu. Terhenyak.
"Mimpi hanya bunga tidur, kan?" gumamku dalam hati.
Aku tersadar meski masih terbayang-bayang mimpi. Ada sebuah kelegaan yang kurasakan dalam hati.

Keesokan harinya aku sengaja mengatur pertemuan dengan kawan berjalanku, seorang yang datang begitu saja dalam hidupku. Ini bisa jadi kali kedua di mana aku harus membuat keputusan. Keputusan kali ini memang pernah kupikirkan sebelumnya, namun aku tak pernah benar-benar berkeinginan untuk melakukannya. Aku masih ingin berusaha menyesuaikan langkah terlebih dahulu. Sayangnya, waktu seperti memberi kepastian penuh bahwa tak akan bisa aku berbagi langkah selain dengamu.

Di sore itu, bermandikan cahaya mentari senja yang hangat, aku dan dia -kawan berjalanku- duduk bersisian di sebuah sofa di sudut ruangan. Kesunyian seolah menjadi atmosfir kita. Aku dalam benak masih berusaha memantapkan hati sembari  memikirkan perasaannya.

Takut-takut aku mencuri pandang wajahnya dari samping. Aku mencoba membaca apa yang ada dalam pikiranya. Percuma saja, aku  bukan pembaca pikiran meski aku sangat menginginkannya.

Perlahan aku menyentuh tangannya, terasa dingin. Aku memberanikan diri membagi kehangatan yang menjalar sampai telapak tanganku padanya. Aku menghela nafas panjang hendak mulai mengeluarkan apa yang kumantapkan. Namun tiba-tiba dia menarik tangannya dari genggamanku.

"Aku laki-laki yang bisa merasakan di mana aku tepat berada, dan sebaliknya," ujarnya seketika dalam nada rendah.

Aku terkejut namun diam saja, tak mampu bergerak seolah membeku. Merasa serba salah, aku tak tahu harus melakukan apa.

"Aku mengerti. Kamu tidak perlu memaksakan perasaanmu padaku. Aku mengerti." Dia tersenyum mantap. Lalu dia meraih pundakku, ditepuknya pelan.

"Terima kasih sudah mau menemani langkahku selama ini, meski aku tahu kamu tetap berjalan sendirian, setidaknya aku tidak. Kamu tak perlu khawatir akan melukai perasaanku." Dia menambahkan lagi sementara aku tetap mengatupkan bibir.

"Asal kamu tahu saja, Sayang, perasaan laki-laki lebih menyukai dirinya untuk berpura-pura tegar sampai titik akhir. Aku tidak akan menangis sampai aku menyadari bahwa aku tak dapat menemukan belahan jiwa," dia terdiam.

"Perempuan tak harus terus-menerus berpura-pura akan perasaannya. Kamu boleh berjalan sendiri lagi setelah ini, menunggu belahan jiwamu yang akan datang atau yang akan kembali," dia melanjutkan.

Beberapa saat setelah itu dia beranjak dan pergi menyisakan aku sendiri dengan gema kata-katanya. Seperti berada di antah berantah, aku tak tahu harus berjalan ke arah mana. Namun tak lama, aku tahu bahwa aku harus terus berjalan meski sendiri, pun aku akan menyusuri jalan yang akan mempertemukan aku dan kamu nanti.

Waktu terus bergulir, menuntunku pada satu ujung jalan kesendirian langkahku. Hari demi hari awalnya biasa saja. Namun seiring mimpi-mimpi yang menampilkan dirimu, aku menyadari dan pelan-pelan mengakui bahwa aku merindukanmu. Merindukanmu sejak terakhir aku menatapmu.

Langkahku yang berjalan sendirian ini merenungi langkah kita berdua, berpisah pada suatu persimpangan. Lalu bertemu dengan langkah ke-tiga, langkah yang membuatku sadar bahwa aku hanya ingin berbagi langkah denganmu. Langkah ke-tiga yang tak pernah kuduga, pun yang tak pernah kuharapkan. Langkahmu-lah langkah yang kuinginkan untuk mengiringi langkahku.

Entah sampai kapan aku harus berjalan menyusuri jalanku ini sendirian. Entah di persimpangan mana langkahku akan bertemu dengan langkahmu lagi. Hal yang pasti, dalam setiap langkah aku berharap untuk berjalan berbagi langkah denganmu lagi.

Comments

  1. i think is waw...good creation,go ahead mia and dont be tired to write another story of your life

    ReplyDelete

Post a Comment