SOMETHING THAT WE ALL NEED

Pernah merasa sendirian dalam suatu keramaian? Atau merasa begitu merana dengan kesendirian? Atau merasa sulit berbaur dengan lingkungan sekitar? Atau keadaan selalu merasa rendah diri? Atau merasa tidak bisa mengatasi sebuah masalah?

Pasti pernah. Saya pun demikian.

Apa yang sebenarnya kita butuhkan untuk mengatasi hal-hal seperti itu, ya?

Pernah satu kali, saya mendapati diri saya sedang berhadapan dengan sebuah masalah yang menurut saya adalah masalah yang sangat serius sejauh kehidupan saya sebagai mahasiswi. Bukan persoalan tugas atau ujian, melainkan hal yang lebih krusial daripada itu.

Saat itu saya benar-benar merasa hanya bergantung pada sebuah motivasi seorang itu. Ibarat untaian tali yang terputus, untaian tersebut mampu bertahan berkat hanya sebuah tali yang belum putus. Saya benar-benar tak punya harapan, tapi ibu saya mempunyainya dan saya tak mau mengecewakannya, maka dengan berbekal harapan ibu saya pun terus berjuang.


Di akhir semuanya, di mana klimaksnya akan saya hadapi, saya ke sana-ke mari mencari jalan kepastian. Semua terasa begitu repot dan sulit. Tak cukup rasanya hanya meminta doa restu ibu, saya pun mengadu pada Tuhan untuk dimudahkan segala kesulitan. Setiap selesai sholat, dengan rasa putus asa dan mencoba optimis saya terus memohon bantuan Tuhan.

Hari demi hari berlalu seperti berlari. Hari ini tiba-tiba sudah berganti dan esok sudah bersiap menyambut tongkat estafet dari hari sebelumnya. Tenggat waktu seperti teror yang tak berhenti barang sekejap. Semuanya begitu terasa repot dan sulit. Tapi, menjelang akhir perjuangan, dengan berbekal keoptimisan dan keinginan kuat untuk mewujudkan doa ibu, saya melangkahkan kaki saya dengan mantap.

Akhirnya, semua jelas sudah. Tenggat waktu tak lagi berarti. Masih ada satu urusan tertinggal, namun tak lama kemudian urusan tersebut pun beres. Alhamdulillah, tak putus-putus terucap. Ya, Tuhan tak akan pernah mungkin meninggalkan hamba-Nya yang meminta hanya pada-Nya. Berbekal doa dan usaha, semua beres. Alhamdulillah.

Pada beberapa hari dalam masa-masa itu sempat terpikir bahwa mungkin saja Tuhan kesepian di singgasana-Nya. Maka untuk merangkul kembali hamba-Nya, Ia menguji mereka. Ia mungkin saja rindu pada doa-doa penuh harap dan keyakinan dari hamba-Nya. Ia mungkin saja rindu akan puji-pujian dari hamba-Nya. Ia mungkin saja rindu akan hamba yang membutuhkan-Nya.

Seperti yang bisa kita lihat dalam realita, kini hampir kebanyakan manusia -yang merupakan hamba Tuhan- merasa mampu untuk mengatasi segalanya, melupakan Tuhan seolah Tuhan tak perlu ikut campur atas urusan mereka (kita). Manusia bermimpi akan menghuni planet lain, lalu manusia mampu membuat alat untuk menyinggahi planet lain, lalu manusia mulai menapaki jejak menuju mimpi mereka. Di mana posisi Tuhan?

Tidak bisa saya pungkiri bahwa sedikit pilu melihat bagaimana manusia mendewa-dewakan hal yangb sebenarnya tak patut didewa-dewakan. Ibadah seperti tanda hadir pada dunia milik Tuhan, yang hanya sekedar. Seolah manusia ingin menyaingi Tuhan, kecuali bagi mereka yang masih tunduk pada aturan Tuhan.

Ini bukan tulisan dari seorang yang religius atau agamais, hanya tulisan yang keluar dari perenungan saja. Sebuah kemungkinan yang tak mungkin sepenuhnya benar karena hanyalah gagasan bahwa Tuhan mungkin saja merasa kesepian.

Kini, jika sudah tak ada lagi daya upaya yang mampu kita kerahkan untuk mengubah ketidak-mungkinan menjadi sebuah kemungkinan, apa lagi yang akan kita lakukan selain mencari dan mendekatkan diri pada-Nya, meminta bantuan-Nya?

-
Kesepian. Satu hal yang sering mendatangi siapa saja tanpa tau pasti apa sebabnya. Apa yang kamu lakukan ketika kesepian menghampirimu?

Kesal. Kadang itu yang terasa di saat kesepian menghampiri saya. Saya kesal memikirkan penyebab kesepian itu datang. Saya kesal mengapa saya membutuhkan orang lain yang belum tentu selalu ada daripada menikmati kebersamaan dengan Dia yang tak pernah pergi.

Perenungan dalam perjalanan panjang dengan bising suara kendaraan atau semerawut pikiran selalu lebih dalam. "Mengapa?"

Dua kehidupan harus bisa jalan selaras. Tak ada yang sempurna, tapi semua bisa mencapai hampir. Kehidupan kini untuk kehidupan nanti.

Saya bukan orang yang begitu fanatik agama, bukan seorang yang religius atau agamais, bukan pula orang   yang pandai bergaul dan mampu menghadapi siapa saja. Seperti yang lain, saya hanyalah saya sebagai manusia yang tak mungkin sama dengan orang lain sebagai manusia.

Saya ingin mencoba untuk memperbaiki diri saya. Saya tidak memulainya seperti orang lain karena saya bukan orang lain. Namun terkadang saya ikut terbawa arus, tidak, hanya dari luar saja. Saya mulai sedikit demi sedikit mencari kelemahan yang ada pada diri saya. Orang lain sangat membantu.

Bersosialisasi.
Berkomunikasi.
Beradaptasi.

Mungkin tiga hal di atas pada intinya sama, namun entahlah. Yang jelas, saya merasa di situlah letak kekurangan saya.

Maka, pelan-pelan saya mulai berani untuk membuat diri saya tidak nyaman. Lalu mengatasi ketidaknyamanan tersebut. Kemudian satu misi selesai. Begitu terus hingga nanti selesai.

Sekarang belum waktunya berpuas diri karena belum semua selesai. Waktu terus berlalu dan semakin mendekati tenggat waktu. Saya mulai kewalahan menyelaraskan urusan untuk kehidupan kini dengan kehidupan nanti. Tak ada yang sempurna, namun semua bisa mencapai hampir. Saya pikir saya masih setengah jalan menuju hampir, setengah jalan yang panjang. Semoga saja waktunya cukup.

-
Ada yang hilang. Entah apa. Ketika semua kesatuan memang terdiri dari satu-satu-satu, maka semua akan kembali pada awalnya. Di situlah kesendirian sering kali merundung.

Di mana kesendirian, di situlah kerinduan. Kerinduan akan semua yang telah lalu, orang maupun peristiwa. Kerinduan akan satu-satu menjadi kesatuan, bukan kebalikannya. Apa yang bisa dilakukan?

Ketika rindu akan kebersamaan, namun ternyata semua sudah terlalu jauh berjalan sendiri meninggalkan kesatuan itu, semua tak pernah lagi sama. Hanya usaha untuk merekatkan kembali yang muncul.

Dunia kini sudah semakin sakit. Populasi orang yang apatis sepertinya meningkat seiring dengan meningkatnya terknologi yang dibuat oleh satu-satu itu. Awalnya untuk memudahkan urusan, tapi sayang salah digunakan. Yah, mendekatkan yang jauh, tetapi menjauhkan yang dekat.

Terkadang kesepian tak butuh apa-apa kecuali teman. Sederhana saja, teman yang duduk di samping dan tetap di sana. Tapi untuk apa seorang teman jika ada Tuhan yang sudah terpatri dalam hati?

Mengapa manusia merasakan kesepian dan sedih atas kesepian itu? Semua hal datangnya dari Tuhan, mengapa Tuhan mewariskan kesepian? Apakah Ia memang benar pernah merasa kesepian hingga merindu hamba-hamba-Nya?

Apa yang sesungguhnya kita butuhkan? Jika Tuhan membutuhkan hamba-Nya, maka saya membutuhkan sesuatu yang dalam menyatukan kesatuan yang telah terurai menjadi satu-satu-satu yang telah berjalan sendiri. Bagaimana dengan kalian?

Comments