Kehilangan: Angin Tak Mungkin Berhembus Dua Kali, Bukan?

Pagi yang cerah dengan langit biru yang bersih dan udara yang sejuk. Angin sepoi-sepoi berhembus dengan tenang. Hiruk-pikuk perumahan tiada terdengar. Hanya bunyi ayam-ayam bersahutan dari rumah tetengga dan kicauan burung gereja yang melintas menggantikan hiruk-pikuk itu. Nemi tinggal seorang diri di rumah sementara keluarga yang lain sibuk sekolah dan bekerja.

Dalam duduknya Nemi tak bisa berhenti memikirkan dua orang. Halin dan Alang. Keduanya adalah lelaki yang menyayangi Nemi pada waktu yang berbeda. Namun Nemi tak pernah bisa melupakan perasaannya terhadap kedua lelaki itu. Nemi masih sering memikirkan mereka hinggu rindu pada mereka menyiksa batin Nemi.

Halin, cinta pertama yang Nemi sulit lupakan walau Halin sudah lama pergi tanpa pernah menoleh ke belakang lagi. Kenangan Nemi bersama Halin adalah yang paling sering menghantuinya. Hingga kenangan yang datang dan dituangkan Nemi dalam tulisannya seringkali menimbulkan masalah dan akhirnya iapun harus kehilangan lagi untuk yang ke-dua kalinya.

Bersama Alang -lelaki yang menyayangi Nemi sejak Nemi bersama Halin- Nemi tak pernah merasa terbatasi dengan tuntutan-tuntutan. Bersama Alang, Nemi merasa didukung dan dihibur. Sayangnya, Nemi sering terlupa bahwa Alang benar menyayanginya dengan jenis perasaan seorang lelaki terhadap seorang wanita. Nemi sendiri terkadang hanya menyayangi Alang seperti itu, seringnya Nemi menyayangi Alang sebagai kakak atau sahabat. Setelah tak lagi bersama Alang, Nemi menyadari bahwa kehilangan tak pernah baik dan nyaman.

Semua bermula pada suatu sore. Sore yang indah di hari itu. Angin pantai yang berhembus bahagia membuat beriak air laut menari di tengah lautan. Sehabis jalan panjang menyusuri trotoar di pinggir jalanan dekat tebing pantai, Alang dan Nemi duduk bersisian.


Mereka sedang saling mengatur napas dan menyeka peluh ketika tiba-tiba ponsel Nemi berdering. Sebuah nomor tak dikenal tertera pada layarnya. Nemi menerima telepon tersebut. "Halo?"

Suara di seberang telepon menyahut. Raut wajah Nemi langsung berubah. Ia mengenali suara itu. Alang yang duduk di samping Nemi pun memperhatikan perubahan itu dan segera tahu apa yang terjadi.

Nemi bicara dengan seseorang di seberang sana dengan semangat yang ditahan-tahan. Alang mengerti, ia sakit hati namun hanya diam. Ia menunggu Nemi selesai bicara di telepon. Sesekali Nemi meliriknya dan tersenyum canggung, salah tingkah. Alang sungguh mengerti, ia hanya membalas senyum Nemi dengan senyuman hampa. Ia menahan pedihnya luka lama yang terlalu sering terbuka, selanjutnya terjatuhi tetasan zat asam.

Setelah hampir setengah jam akhirnya Nemi memutuskan sambungan telepon. Ia lalu meraih lengan Alang untuk memluknya, namun Alang segera menarik diri. "Jangan!"

"Sepertinya kamu bahagia dengannya, Nemi. Kamu masih memiliki perasaan terhadapnya. Kamu masih ingin kembali padanya," kata Alang begitu saja.

"Tidak! Bukan seperti itu, Alang!" tukas Nemi.

"Sudahlah! Kamu tahu, selain hati, mata pun tak akan pernah bisa menyembunyikan kebenaran, Nemi," lanjut Alang.

"Tapi sungguh, Alang! Bukan seperi itu!" Nemi bersikeras.

Nemi hendak bicara lagi, namun Alang segera bangkit dari duduknya, "Ayo pulang!"

Tanpa mengutarakan apapun, Nemi berjalan lesu di belakang langkah Alang yang melaju terlalu cepat baginya. Nemi pun sudah hafal dengan cara jalan Alang yang seperti itu, ia kecewa. Bukan sekedar saja, tapi sungguh-sungguh kecewa berat. Nemi tak tahu harus berbuat apa atau menyatakan apa. Nemi tahu bahwa tak ada apapun yang ia lakukan akan mengembalikan Alang. Perlahan, seiring dengan pelannya langkah gontai Nemi melaju, Nemi menyadari bahwa kehilangan sudah mendekat lagi.

Semakin menyadari hal itu Nemi mempercepat langkahnya mengejar Alang. Tiba satu langkah di belakang Alang, Nemi langsung saja melompat memeluk Alang dari belakang. Nemi memeluk Alang begitu erat, namun Alang tak bergeming. Ia hanya berdiri seperti patung.

Alang merasa seperti kehilangan akal, dan tak pernah punya perasaan. Lukanya semakin pedih dan melebar ia rasakan. Tak sanggup lidahnya berucap, pun otaknya berpikir. Ia bisa merasakan hatinya yang terluka jatuh berguguran seperti biskuit yang diremuk menjadi remah-remah, dimakan burung, dan lenyap.

"Lang, bagaimana aku kalau harus kehilangan kamu?" isak Nemi masih memeluk Alang.

"Ada dia, kan?! Kamu pasti baik-baik saja tanpa aku," sahut Alang dengan suara yang sedikit bergetar.

Nemi mempererat pelukannya yang sudah erat. "Aku nggak bisa kehilangan lagi! Cukup dia aja, jangan kamu!" Nemi menjerit dengan air mata yang sudah membasahi pipi.

Alang melepaskan diri dari pelukan Nemi yang memang mulai longgar setelah jeritannya, lalu berbalik memegang pundak Nemi yang menangis tertunduk. "Dengar aku..."

Nemi mengusap air matanya yang membanjir tak mampu berhenti mengalir sambil mengangkat kepala menatap Alang, siap mendengarkan Alang.

Menatap wanita yang disayanginya berlinang air mata tanpa terbendung, hati Alang tak tega juga. Tapi ia pun tak mampu terluka setiap menit lagi. "Tak ada orang yang mau merasakan kehilangan. Mereka yang kehilangan hanya bisa menerima dan melanjutkan hidup. Jika dulu kamu kehilangan dia, terimalah bahwa dia sudah pergi ..."

"Tapi dia sering kembali," potong Nemi  di tengah segukannya. Air matanya semakin mengalir begitu saja.

"Dia memang sering kembali, tapi bukan untuk melanjutkan cerita yang dulu sudah usai. Lagipula dia sudah tahu bahwa aku yang sekarang ada untukmu. Hanya kamu saja yang belum juga mengerti itu, Nemi. Jika kamu tak sanggup kehilangan lagi seharusnya kamu bisa menerima yang datang dan yang tinggal," kata Alang dengan tegas sembari mencoba mengumpulkan tenaga yang tersisa dari menahan pedih.

Nemi mendengarkan dan menatap mata Alang dengan mata yang basah. Ia tak menyangka Alang yang begitu lembut akan bicara seperti itu padanya. Ia pun tak sanggup berkata-kata dan membiarkan saja Alang yang bicara.

"Nemi, setiap laki-laki pasti ingin membuat wanita yang disayanginya bahagia. Begitupun aku, dan dia pada waktu itu. Kadang sebuah kehilangan itu karena pertahanan yang lemah. Nemi, setiap laki-laki tak pernah ingin menyakiti hati wanita yang disayanginya, hanya saja terkadang kami terpaksa menyakiti mereka karena kami tahu bahwa mereka bisa menggapai kebahagiaan yang lebih bukan dengan kita. Maka, dengan melepaskan dan membuat mereka kehilanganlah cara kami membahagiakan mereka," ucap Alang panjang.

Nemi diam saja. Air mata masih membasahi pipinya tanpa ia seka.

"Nemi, jika laki-laki menyayangi seorang wanita, ia rela menyerahkan nyawa sebagai taruhan atas kebahagiaan wanitanya. Kalau hal sebesar nyawa saja bukan hal yang berarti, maka hati pun terhitung kecil. Nemi, laki-laki manapun yang menyayangi wanitanya pasti mengenal wanitanya. Jika sudah demikian, laki-laki manapun akan bisa tahu apa yang tak wanitanya ucapkan hanya dengan menatap mata mereka."

Alang menarik nafas panjang sebelum melanjutkan, "Jika kamu tak ingin merasakan kehilangan lagi seharusnya kamu bisa menerima kehilangan yang sebelumnya dan menerima yang datang sambil menatap ke depan. Kebahagiaan yang terpancar dalam matamu tadi sungguh pukulan yang telak bagiku. Jika dia kembali, kamu pasti bahagia. Tetapi dia tidak mungkin akan kembali jika aku masih di posisi yang seharusnya ia tempati. Jika aku bertahan, itu artinya aku menghalagi kebahagiaanmu, Nemi. Laki-laki memang harus berkorban demi wanitanya, dan rela menyerah tanpa mempertahankan dirinya demi kebahagiaan wanitanya." Air mata Alang mulai menetes.

Nemi tak sanggup lagi, ia berhambur memeluk Alang dan terisak dalam dekapan laki-laki itu.

"Aku nggak mau kehilangan kamu,Alang! Aku nggak bisa tanpa kamu!" isak Nemi.

"Aku pun nggak bisa bertahan denganmu selama bayangannya masih membuatmu sejuk."

"Alang!!!" Tak ada kata-kata lagi selain tangis.

"Nemi," Alang melepas pelukannya, menahan bahu Nemi agar wanita itu tidak terjatuh dalam berdirinya yang goyah, "Aku sungguh sangat menyayangimu. Aku hanya tidak sanggup melihat kebahagiaan yang terpancar dari matamu yang bukan karena aku meski sedang bersamaku. Hal itu cukup jelas bahwa aku harus mundur."

Alang mendekap Nemi beberapa detik sembil meresapi segala kesedihan yang menyelimuti wanit yang ia sayangi itu. Kemudia dikecupnya puncak kepala Nemi lama-lama sembari seolah dengan begitu segala kekuatannya yang tersisa bisa menguatkan Nemi. Setelah itu dilepaskannya Nemi dari pelukan terakhirnya, ia menahan berdiri wanita itu di bahu.

"Jangan menangis lagi." Satu tangan Alang menyeka air mata Nemi.

source
"Setelah ini kita pulang dan kamu akan bahagia. Jangan khawatirkan aku karena aku akan baik-baik saja. Jangan lupakan aku karena aku selalu menyayangimu. Tapi tolong, jangan membuat satu laki-laki lagi terpaksa menyerah demi kebahagiaanmu," tambah Alang.

Nemi tak berkata-kata lagi. Ia tak mampu.Hatinya sudah tak karuan. Jiwanya sudah terurai bagaikan abu kertas yang terbakar dan tertiup angin. Hanya kehampaan yang mengisi dada dan pikirannya. Inilah akhir dari sekian lama perjuangan dirinya dengan Alang. Sebuah kehilangan yang sekali lagi baginya. Sebuah luka baru untuknya.

Entah berapa lama lagi waktu yang ia butuhkan untuk sembuh. Sejak hari itu hingga detik di pagi hari yang cerah ini pun semua masih terlalu jelas bagi Nemi. Kedua kehilangan itu terekan dengan baik dan terputar secara ruuuutin membuka lukanya yang tak pernah kering.

Baik Halin maupun Alang, tak satupun dari mereka yang kembali hingga saat ini. Hanya Nemi, kenangan, dan kehilangan dalam tiap kesendiriannya. Tak pernah datang kebahagiaan yang dikatakan Alang, maupun Halin. Mungkin kebahagiaan pun turut hilang bersama mereka, lelaki yang masih begitu disayangi Nemi.

Comments

Post a Comment