Komunikasi yang Baik: Menantang!

Semua pasti setuju kalau saya katakan bahwa komunikasi merupakan satu-satunya kunci dari kesalahpahaman, iya, kan? Meskipun demikian, diam adalah emas tetap berlaku. Kadang saya sangat bingung kapan harus diam atau harus bicara. Selama ini saya lebih sering untuk memilih diam. Kenapa? Karena diam itu emas. Bukan! Karena saya rasa apa yang akan saya katakan jauh lebih tidak penting daripada diam. Lebih baik diam daripada mengatakan yang sia-sia, bukan?

Dalam sebuah keluarga seharusnya terjalin komunikasi yang baik antar anggota keluarga, bukan? Saya rasa dalam hal ini sedikit sulit bagi saya karena sejak dulu saya sudah terbiasa untuk diam. Mengatakan pendapat merupakan hal yang tabu, antara tepat atau malah kurang ajar. Ada kalanya di saat emosi memuncak, saya terdesak untuk berbicara, seringkali kata-kata yang keluar adalah kata-kata yang terkesan kasar dan jadinya kurang ajar. Untuk menjaga agar hal seperti itu tidak sering terulang, saya lebih memilih diam.

source
Diam dan memendam itu terkadang memang menyakitkan dan menyesakkan dada. Rasanya ingin marah, tapi lebih baik diam. Memang bukan kata-kata yang keluar, tapi air mata. Entah kenapa, untuk sebuah perubahan dari bungkam menjadi berani bicara adalah perubahan yang membutuhkan waktu cukup lama bagi saya. Karena terlalu sering diam, ketika saya mendapati diri saya banyak bicara, itu semua terasa janggal dan seperti bukan diri saya. Maka, saya pun kembali menghemat kata-kata.


Komunikasi yang baik padahal sangat penting. Di mana saja, kapan saja, kepada siapa saja, mengenai apa saja, komunikasi yang baik itu penting. Kalau dipikir-pikir lagi, komunikasi berarti berinteraksi dengan orang lain. Berinteraksi artinya bertukar infromasi atau pikiran. Jika memang demikian itu benar, artinya komunikasi membutuhkan keterbukaan dan rasa kepercayaan. Kalau sudah bisa terbuka dan percaya pada orang lain, komunikasi yang baik tentunya bukan hal yang sulit, kan? Dan saya sangat bermasalah dengan mempercayai orang lain.

Entah sejak kapan saya mengalami masalah komunikasi ini, tapi sekarang semua semakin terasa menyulitkan karena masalah ini. Saya tidak ingin membahas masalah, melainkan solusi.. Jadi, sembari saya menulis ini, saya akan coba menganalisis dan menghipotesa masalah lalu akan bermuara pada sebuah solusi. Bismillah.

Komunikasi ini terasa sangat sulit ketika saya harus memulainya dengan orang yang asing, bahkan pada orang dekat pun kadang terasa sulit. Saya cenderung merasa takut untuk mengutarakan isi pikiran saya saat bertukar pikiran, saya pun merasa kurang percaya diri untuk berbagi cerita karena saya merasa cerita saya tidak memiliki faktor spesial dibanding cerita orang lain. Jadi, sering kali saya berakhir pada sebuah celetukan-celetukan spontan yang niatannya, ya, bercanda.

Kesulitan yang saya alami tentu sangat mengusik. Ada kalanya ketika saya mencoba untuk berkomunikasi dengan baik, malah orang lain jadi tidak nyambung dengan saya yang berusaha untuk nyambung. Di situ saya merasa kesal, sebal, dan ingin marah. Tapi semua selalu berakhir pada saya yang mencoba untuk beradaptasi. Setidaknya, itulah yang saya rasakan, hehe, sungguh terkesan sangat egois, ya? :v

Kalau hal itu terjadi berulang kali, saya mulai merasa untuk lebih baik menyerah saja dan kembali menjadi diri saya yang bungkam. Terserahlah pada kesepakatan yang dibuat, saya hanya akan menuruti saja.

Lain di kehidupan sosial, lain juga di kehidupan keluarga. Di mana pun saya terkesan sebagai orang yang bungkam. Sebenarnya saya juga ingin jadi orang yang vokal, yang banyak bicara, yang berani bicara, juga yang bisa bercerita hal seru. Tapi mungkin karena saya tidak punya banyak materi untuk menjadi demikian maka saya lebih sering diam. Ah, menyebalkan!

Siapa yang bahagia mendengar pertikaian adu mulut antar dua orang tua yang dihormati di rumah? Sebagai anak, saya akan menjawab tidak ada. Pertanyaan yang selalu muncul di kepala saya saat mendengar adu mulut adalah kenapa harus terdengar oleh kita?. Ada hati ingin mencoba melerai atau sekedar membantu meluruskan permasalahan, tapi pada akhirnya usaha yang saya niatkan akan sia-sia. Seringkali pertikaian tersebut memang disengaja oleh satu pihak untuk memancing reaksi dan kesadaran pihak lain. Pada akhirnya, sebagai anak, otak saya akan men-default ketika mereka mulai adu mulut, maka semua itu ada maksudnya dan itu akan membaik dengan sendirinya sehingga saya tidak usah repot-repot untuk menyumbangkan saran atau pendapat. Almost always.

Gregetan! Itulah yang saya rasakan ketika pada suatu waktu ada kesalah-pahaman di depan mata di mana saya tidak bisa untuk berucap satu kata pun, padahal saya sangat ingin. Kenapa? Karena saya merasa harus menahan diri karena saya tau kata-kata yang akan terlontar akan terlalu frontal. Namun apa yang terjadi? Setelah itu, ketika saya bercerita bahwa pada saat itu saya ingin menyampaikan suatu hal, ada yang berkata, "Lho, kenapa nggak bilang gitu tadi biar bla... bla... bla..."
source

Bang! Sangat bertolak belakang dengan apa yang saya duga. Hal sebaliknya pun kerap terjadi. Ketika saya bertindak langsung, secara vokal dan gentar mengutarakan apa yang ada di kepala, seseorang akan berkata, "Nggak boleh ngomong begitu. Nanti ada waktunya bla... bla... bla..."

Kebimbangan akan memisahkan mana yang seharusnya dikatakan dan tidak memiliki perbedaan yang belum bisa saya pahami dengan sempurna. Maka, mengambil jalan aman (terdengar sedikit pengecut) ya, dengan diam.

Sampai di situ saya masih berpikir, bagaimana cara berkomunikasi dengan baik. Banyak misunderstanding yang terjadi ketika saya mencoba untuk menjadi komunikator yang baik. Masih dengan pertanyaan yang sama, bagaimana cara berkomunikasi dengan baik?

Cukuplah dulu saya membuang sampah pikiran dari otak ini, semoga dari tulisan dapat mengilhami teman-teman untuk memberi saran atau masukan :v *pasrah*

Comments