Fenomena Lipstik
Awal
September lalu perkuliahan semester ganjil dan tahun ajaran baru dimulai. Adik
saya Alhamdulillah lulus melalui jalur SBMPTN di jurusan Manajemen, Fakultas
Ekonomi. Sebagai mahasiswi FKIP, tentu saja saya tak biasa berdandan glamour
ala mahasiswa FE. Berdasarkan berita angin yang saya dengar, mahasiswi di FE –
atau anak Ekonomi – terkenal dengan style
mereka yang high fashion. Tapi
sejak awal masuk kuliah, saya menyaksikan sendiri fenomena yang dulu menjadi
kabar angin itu. Sampai-sampai saya bertanya ke adik saya, “Ini fakultas
Ekonomi atau Seni? Lukisan di mana-mana...”
Semester lima ini cukup mengerikan bagi saya. Bukan karena mata kuliahnya yang mulai “serius”, bukan juga karena dosen yang lebih strict dari semester-semester sebelumnya, tapi lebih ke karena penampilan teman-teman yang berubah. Ya, nggak drastic, sih, tapi cukup agak mengejutkan saja. Saya piker saya bertemu dengan teman-teman yang “sejenis” dengan saya yang kurang hobi neko-neko dalam hal berpenampilan. Bukannya tidak ingin, tapi malas repot saja. Jujur saja, di rumah saya sering kok mencoba pakai kerudung yang dililit-lilit sampai cantik, tapi kalau untuk “dibawa” kuliah, rasanya memang merepotkan. Apalagi saya termasuk orang yang lelet. Ke toilet saja bisa sampai belasan menit, apalagi melilit-lilit kerudung setelah wudhu, pasti bakal terlambat masuk kelas :v Ada, kan, yang bilang, “Berdandannya untuk suami di rumah saja, jangan dipamer ke mana-mana,” he he.
Semester lima ini cukup mengerikan bagi saya. Bukan karena mata kuliahnya yang mulai “serius”, bukan juga karena dosen yang lebih strict dari semester-semester sebelumnya, tapi lebih ke karena penampilan teman-teman yang berubah. Ya, nggak drastic, sih, tapi cukup agak mengejutkan saja. Saya piker saya bertemu dengan teman-teman yang “sejenis” dengan saya yang kurang hobi neko-neko dalam hal berpenampilan. Bukannya tidak ingin, tapi malas repot saja. Jujur saja, di rumah saya sering kok mencoba pakai kerudung yang dililit-lilit sampai cantik, tapi kalau untuk “dibawa” kuliah, rasanya memang merepotkan. Apalagi saya termasuk orang yang lelet. Ke toilet saja bisa sampai belasan menit, apalagi melilit-lilit kerudung setelah wudhu, pasti bakal terlambat masuk kelas :v Ada, kan, yang bilang, “Berdandannya untuk suami di rumah saja, jangan dipamer ke mana-mana,” he he.
Nah,
yang bikin saya terkejut dan takjub adalah ... ada teman yang mulai memakai
lipstick, padahal beberapa waktu sebelum masuk kuliah dia geleng-geleng ketika
menceritakan temannya yang dulu polos sekarang jadi ngomongin make-up dan lain-lain. Lha, di situ
takjubnya saya. Manusia memanglah bukan yang sempurna, ya. Saya pun mungkin
suatu hari nanti harus menggunakan lipstik. Ugh,
membayangkan saja membuat saya agak bergidik geli -_-
Ya,
dia memakai polesan tipis lipstik. Saya tak berkomentar apa-apa karena tak
mungkin saya menilainya salah hanya karena memakai pemoles bibir. Tentu saja
saya pun tidak membenarkan diri saya yang tidak seperti dia. Tidak, tidak. Saya
hanya takjub. Banyak yang berubah tampilan di semester lima ini. Kemudian
pertanyaan muncul dalam benak saya, “Apakah saya yang udik?” yang kemudian saya
tanyakan pada Partner saya yang
menjawab, “Nggak kok. Hanya saja mereka terlalu normal.”
Standar
normal setiap orang pastinya berbeda-beda, maka tentu saya tidak punya hak untuk
menyalahkan atau membenarkan siapa-siapa. Saya mencoba untuk memaklumi fenomena
lipstik yang terjadi pada semester lima ini. Tapi mata ini agak beum terbiasa
melihat bibir-bibir bergincu, belum lagi yang bermaskara, berbedak tebal,
beralis “simetris”, dan lain-lain. Saya menulis postingan ini supaya tidak
terlalu kepikiran saja, karena dengan menulis (sekali lagi), saya bisa membuang
limbah-limbah pikiran yang menumpuk dalam kepala.
Selagi
memperhatikan mereka, para wanita bergincu, saya takut-takut membayangkan diri
saya suatu hari nanti ikutan bergincu. X_X
Sudah...
sudah...
Saya
jadi teringat kata-kata Mr. Fadjri, dosen Drama saya, beliau mengatakan hal
yang berkaitan dengan kegundahan batin saya mengenai fenomena lipstik ini.
“Kalian tau kenapa kosmetik diciptakan? Alis digambar, bibir diberi lipstik,
dan lain-lain? Kosmetik, kata itu berasal dari kata kosmos, yang artinya alam
semesta. Tentu saja alam semesta itu sempurna. Jadi, tujuan kosmetik diciptakan
adalah menyempurnakan apa yang kurang sempurna.” (kurang lebih demikianlah
kata-kata beliau)
Saya
mengangguk-angguk semangat ketika itu karena mengerti poin yang beliau maksud.
Apakah karena idealnya bibir berwarna merah, maka yang berbibir kurang merah
(atau tidak seperti merah yang seharusnya) wanita-wanita memoles bibir mereka
dengan gincu? Entahlah, pastinya agar mereka terlihat cantik, ya!
Saya
dari dulu memang ogah memakai lipstik, kecuali mungkin pada hari Kartini
sewaktu SD, itu pun tak bertahan alma karena lipstiknya luntur karena saya
minum es kelapa, maklumlah namanya anak kecil. Lagi, sewaktu HUT SMA saya juga
memakai lipstik, dan tentu saja dihapus selepas acara. Seingat saya, pada saat
perpisahan SMA saya bersikeras tidak mau berlipstik, hanya lip-gloss saja, dank arena itu ibu saya ngomel, hi hi. Sekarang,
sebagai mahasiswa semester lima ini, saya pun tidak (mungkin belum)
berkeinginan untuk menggunakan lipstik.
Saya
membayangkan saja bagaimana repotnya makan dengan bibir bergincu. Seperti yang
saya lihat, ketika ibu-ibu bergincu di kondangan, mereka akan lucu ketika
menyuap nasi mereka karena menjaga agar gincunya tidak luntur, atau karena
memang rasa gincu itu sendiri tidak enak kalau tertelan, ya? :v Ah, yang jelas
saya tidak mau tergangg menikmati makanan hanya karena polesan gincu, he he.
Untuk saat ini saya tidak berpikiran untuk memoles bibir dengan gincu. Cukuplah
teman-teman saya yang “normal” yang bergincu.
Sekian
tumpahan limbah pikiran saya. Semoga postingan ini tidak menyinggung siapa pun
karena saya menuliskannya hanya untuk membuat plong otak yang tak lama lagi
akan dijejali materi kuliah ;) #ketjupanbibirbergintju
Comments
Post a Comment