NO EXCUSE!



Pada akhir semester 4 kemarin, saat nilai-nilai mulai bermunculan sampai menghasilkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) terbaru, saya merasa cukup. Cukup bahagia, cukup puas, dan cukup merasakan kesepadanan atas kerja keras selama semester 4. Nilai-nilai saya lebih baik daripada semester sebelumnya, otomatis saya berharap IPK saya jauh lebih naik daripada semester sebelumnya. Tapi ternyata, Indeks Prestasi Semester (IPS) saya saja yang meningkat, IPK-nya sih tetap. Saya jadi agak merasa sedikit kecewa, tetapi saya bersyukur karena nilai dan IPK saya setidaknya berkembang juga.

Dengan memperoleh lima nilai A, saya merasa cukup PD jika bertemu teman-teman yang menanyakan Kartu Hasil Studi (KHS) saya. KHS itu kayak rapot gitu. Eh, ternyata saya tidak PD, kita memang tidak boleh menyombongkan diri, ya! Pada saat meet up dengan sahabat SMA, Nedia bilang ingin melihat KRS saya. Saya memberikannya begitu saja sambil mengamati dia yang ternyata terheran-heran dengan nama mata kuliah saya. Katanya sih, setil (keren). Lalu saya pun tertarik untuk melakukan sebuah feedback, saya ingin melihat KRS Evi yang kebetulan ada di sana.

Jeng! Jeng! Jeng!
Agak ciut juga melihat deretan IPKnya Evi yang 3,8-an gitu dari semester 1. Saya langsung merasa bahwa diri saya tidak terlalu berusaha keras selama semester yang sudah berlalu. Ah, saya kesal sudah bangga dan merasa cukup dengan IPK yang 3,4-an. Kenapa IPK saya rendah sekali padahal saya sudah berada di zona nyaman saya, jurusan yang saya inginkan dan saya tahu bahwa saya mampu? Sejak detik itu saya bertekad untuk bukan lagi bermain-main, bersantai-santai dengan IPK 3,4, saya HARUS mencapai IPK minimal 3,7!

Tentang hal itu, saya cerita pada Zombie. Katanya, memang sudah seharusnya kalau saya tidak merasa cukup dengan IPK yang saya dapatkan. Katanya, saya memang seharusnya mudah mencapai IPK 3,7 ke atas. Katanya, saya terlalu banyak main dan nongkrong dengan teman-teman makanya IPK saya tidak semeroket yang dia harapkan. Sebelum nilai-nilai keluar, dia menjanjikan hadiah kalau IPK saya di atas 3,5. Tapi, rupanya memang tidak pantas saya merasa cukup dengan IPK semester 4 kemarin, dan IPK semester-semester sebelumnya. “Makanya, jangan kebanyakan main dan nongkrong yang nggak penting. Liat! IPK kok cuma segitu,” kata Zombie.

Rupanya pada akhir semester 4 ini saya memang ditakdirkan untuk mendapat lecutan-lecutan yang memicu saya untuk lebih serius lagi kuliah. Belum cukup dari dua lecutan di atas, masih ada lagi lecutan yang benar-benar memantapkan tekad saya untuk mengurangi main-main dengan teman kampus. Yah, semester 4 kemarin pun dikurangi juga makanya saya bisa sedikit agak puas dengan nilai yang saya peroleh. But, enough is never enough before you break your limit.

Pada akhir Agustus lalu, Zombie, yang sedang sibuk-sibuk dengan Dewan Anak Mataram (DAM) dalam mempersiapkan perayaan Hari Anak Nasional (HAN) 2015, mengabari saya kalau ada salah satu kakak alumni SMA yang saya segani. Namanya Kak Rian. Nah, dari sejak hari pertama MOS dulu saya memang sudah tertarik sama Kak Rian itu. Ada sesuatu yang tidak bisa saya jelaskan yang membuat saya bisa langsung tertarik. Dan saya, kalau sudah tertarik dengan seseorang, maka hal itu akan terus berkelanjutan. Jadi, bukan sebuah perasaan yang sembarangan kalau saya tertarik dengan seseorang, pastinya dia punya faktor X yang tidak bisa saya jabarkan. Tertarik yang saya maksud, ya, bukan tertarik yang naksir gitu. Kalau naksir, ya, namanya naksir. Jadi, berbeda, jangan salah paham :P

Berhubung saya, sebut saja, ngefan dengan Kak Rian ini, maka si Zombie sering cerita kalau dia dan Kak Rian deket, sering curhat-curhatan juga, bahkan Zombie sering ngegodain Kak Rian. Jangan-jangan di antara mereka ada affair :v Nggaklah, bercanda. Jadi, selama persiapan acara HAN itu mereka intens ketemu dan sibuk-sibuk, kan. Zombie keliling ke sekolah-sekolah buat mengecek kain yang dicap lukisan tangan dalam rangka memecahkan rekor MURI gitu.

Pada suatu hari, H-1, saya yang sedang rapat di sekret menanyakan kabar Zombie. Katanya dia lagi di SMKPPN sama Kak Rian. Sewaktu saya sedang mengetik balasan, telepon dari dia masuk. Ya, saya angkat. Katanya ada yang nyari, lalu suaranya berganti dengan suara Kak Rian yang meskipun sama-sama agak cempreng, tapi masih lebih berat sedikit suara Kak Rian.

Nah, Kak Rian langsung ceplas-ceplos nanya saya di mana, sedang apa, dan lain-lain. Bukan, bukan nanya perhatian. Dia nanya trus saya malah diejek gitu, “Ngapain ke kampus...”

Udah gitu, tibalah saat dia nanyain IPK. Saya tahu kalau orang setipe Kak Rian ini brilian otaknya, jadi tidak mungkin saya dengan bangga menyebutkan IPK saya, selain itu juga karena memang saya sudah tidak terlalu bangga dengan IPK saya.

“Berapa IPK-mu?” tanya Kak Rian dengan suara cempreng.

“Tiga,dong...” sahut saya.

“Tiga berapa?” tanya Kak Rian lagi.

Saya menurunkan volume suara saya sambil menjawab, “... tiga koma empat lima.”

“Astaga! Kenapa sedikit sekali IPK-mu, ck ck ck...” kata Kak Rian.

“Emang Kak Rian dulu berapa?” tanya saya. Agak songong memang, tapi supaya tidak membuat diri saya gugup.

“Tiga koma delapan. Gimana mau balap Kak Rian kalo IPK cuma segitu? Pokoknya IPK-mu harus di atas IPK-nya Kak Rian, ya! Apaan katanya hobi baca sama nulis, tapi IPK segitu? Liat Kak Rian, ni, udah gak suka baca, gak suka nulis, bisa dapet IPK tinggi. Belajar yang bener, jangan pacaran terus! Udah, ya, Kak Rian mau kencan dulu sama Zombie!” lalu terdengar suara Zombie lagi dan telepon diputus.

Saya memang tidak biasa diberitahu dengan keras, apalagi dibentak. Tapi kata-kata Kak Rian tadi memang tidak bercela. IPK 3,4 belumlah cukup untuk dibanggakan. Ya, saya memang sudah bertekad untuk lebih serius lagi di semester lima. Tentu saja saya juga ingin merasakan manisnya IPK 3,8 dan dengan bangga menyebutkannya. Apalagi kalo ditanya Kak Rian, kan, nggak bakal malu-maluin kalo udah dapet segitu (y)
Oh iya! Bukan hanya karena itu kata Kak Rian, tapi memang ‘kan sejak sebelum itu pun saya ingin meroketkan IPK saya. Kata-kata dari Kak Rian memang lecutan. Ya, seperti kuda yang dilecut yang langsung melaju kencang, begitulah tekad dalam hati saya. Ditambah lagi setelah itu Zombie cerita kalau Kak Rian benar-benar mengganggap IPK 3,4 sangat rendah, bertambah-lah lagi lecutan bagi tekad saya.

Belum berhenti di sana. Kemarin saya main ke rumah Zombie. Di sana, pada sebuah momen, dia bercerita tentang Denisa. Denisa ini adalah cewek yang laptopnya dibeli Zombie. Nah, di laptopnya Denisa masih ada data-data Denisa. Si Zombie bilang kalau IPK-nya Denisa bener-bener roket! IPK pertamanya 3,7! Bisa dibayangkan sendiri ya... IPK selanjutnya 3,8, dan yang terakhir 3,96. Bukankah itu roket, bung?!

“Keren si Denisa. Ayolah, masa kamu nggak bisa dapet IPK di atas 3,5? Sudah dibilang, kan, kamu tuh kebanyakan main dan nongkrong sama “temen-temen” kampusmu. Saya tau kamu bisa lebih, tapi sayangnya kamu keikutan sama “temen-temen” kamu. Coba liat saya, kamu tau kan saya kayak apa, sering bolos, main juga, temen-temen saya gimana, tapi liat nilai saya. Kalo saya gak ada masalah sama guru, mustahil nilai saya jelek. Cobalah untuk berubah. Jangan jadi keikutan sama temen, tapi jadilah yang diikuti temen. Biarpun saya bengal, tapi temen-temen saya ngikut, bukan saya yang ikut mereka. Semester lima ini kamu harus berubah. Janji?” kata Zombie dalam nada yang serius.

Saya mendengarkan sambil mengiyakan apa-apa yang dikatakannya. Ya, saya kebanyakan main. Yang Zombie katakana, saya setuju. Ya, saya janji untuk berubah menjadi seseorang yang tidak lagi mengikuti teman, melainkan sebaliknya.

Banyak lecutan yang saya dapat ketika liburan menyambut semester lima. Dan lecutan-lecutan it uterus berulang kali bergema dalam kepala saya, mengulang kalimat-kalimat yang membuat saya tak boleh ada alasan untuk tidak mendapatkan IPK yang ditargetkan. Tidak ada alasan lagi. Motivasi datang bukan dari orang lain. Motivasi itu sudah ada dalam tiap masing-masing orang, hanya saja yang membedakan adalah apakah motivasi itu sudah dilecut dan dibangunkan atau belum, atau bagaimana cara tiap orang mengolah motivasi mereka. Bagi motivasi saya, sudah tidak ada alasan lagi untuk mengelak sebuah penundaan dari keberhasilan. Orang-orang yang saya respect, ditakdirkan Tuhan, oleh semesta, telah melecut dan membangunkan motivasi dalam dada saya sehingga memang tidak ada jalan lain selain sukses meraih IPK di atas 3,7 pada semester lima.

Satu lagi kalimat dari Zombie yang masih menggema, “Saya tau kamu suka ikut dalam kegiatan Pena Kampus, tapi tolong, jangan sampai kegiatan itu yang menjadikan kamu mengabaikan kegiatan utama, yaitu kuliah, dan membanggakan orangtua. Pilih-pilih kegiatan yang berguna, ingat siapa yang selalu ada untuk membantu kamu juga. Jangan sia-siakan apa yang sudah ada dan diberikan. Nggak ada alasan lagi.”

Yap, NO EXCUSE!

Comments

  1. semoga kedepannya ipk nya naik terus yaa .. jadikan pacuan orang lain bisa kenapa kita gabisa kan :D

    ReplyDelete

Post a Comment