Pengopi dan Penikmat Kopi
Pada
beberapa postingan lalu saya sempat mengklaim diri saya sebagai seorang pecandu
kopi. Mungkin pada postingan kali ini saya akan mengklarifikasi postingan
tersebut. Menurut saya memang ada pecandu kopi, tetapi sepertinya saya bukan
salah satunya. Seperti judul postingan ini, mungkin saya akan mengelompokkan
diri saya ke dalam Pengopi. Hmm... mungkin perbedaan antara pecandu dan pengopi
ini sangat tipis. Saya akan coba menganalisisnya sembari mengetik postingan
ini.
Kenapa
saya mengeluarkan diri dari lingkaran Pecandu Kopi? Ya, saya pikir saya tidak
terlalu fanatik dengan mengopi. Kalau ada kesempatan, ya, ngopi. Kalau ada yang
menawari, ya, kadang saya terima juga tawarannya. Kalau sedang mumet atau
pusing, ya, ngopi. Kalau pecandu mungkin lebih seperti kalau sehari tak minum,
taka hidup, mungkin begitu, ya. Nah, saya tidak sefanatik itu. Baru juga saya
sadari bahwa saya orangnya agak terlalu lempeng, pasrah-pasrah begitu,
mengikuti arus sungai saja begitu.
Sampai
sini saya baru menyeduh kopi.
Saya
pengopi. Saya belum sampai pada tahap Penikmat Kopi. Menurut saya – oh maafkan
saya terlalu subjektif – seorang penikmat kopi adalah orang yang meminum kopi
bukan hanya sekedar menyesapnya saja, tapi dia juga akan meresapi rasa-rasa
kopi tanpa gula yang dikecap lidahnya. Tentu saya belum seberani itu untuk
minum kopi tanpa gula, tapi juga saya tidak terlalu menyukai kopi yang
kebanyakan gula. Bukankah kalau kopi kebanyakan gula rasanya akan seperti air
gula dengan rasa kopi? Nah, penikmat kopi adalah orang-orang expert dalam
dunia pengopian. Mereka minum kopi bukan sekedar untuk menghilangkan pusing
belaka, mereka minum kopi mungkin karena latar belakang dari kopi itu sendiri,
atau juga untuk memenuhi kebutuhan batin. Pokoknya Penikmat Kopi bukanlah saya,
karena saya minum kopi tanpa memperhatikan detail dari rasa biji kopi.
Ya,
saya ini pengopi. Kebetulan saja sudah tiga hari tidak mengopi karena memang
(sok) banyak keperluan sebelum jam ngopi dan tidak sempat ngopi. Selain itu,
saya juga tidak ingin terlalu rajin mengopi karena takut kafein membuat saya
terjaga lebih lama padahal akhir-akhir ini saya merasa kurang tidur. Saya
mengopi, seteah membaca sebuah artikel, pada jam-jam tertentu, yakni antara
pukul 10-12 siang, atau pukul 2-5 sore. Dan dia antara waktu-waktu tersebut
saya seringkali sudah di luar rumah. Ya, saya bukan pengopi gaul yang sering
nongkrong di coffee shop, saya adalah pengopi rumahan yang lebih
suka menyeduh kopi dan menakar gula sendiri. Kadang sambil baca novel, atau
ngetik begini, atau nonton film, atau sekedar melamun dan dengar lagu.
Saya
akan ngopi kalau merasa ngantuk sementara sebentar lagi mau kuliah. Itu terjadi
beberapa hari yang lalu. Saya pergi sekitar pukul 11, pulang sebentar untuk
sekedar leyeh-leyeh pukul 3, nah, pukul 4 saya kuliah. Waktu itu mata dan
kepala saya terasa berat, menuntut untuk tidur. Tapi saya tidak mau kecolongan!
Saya pun segera menyeduh kopi. Saat ini saya sedang menggandrungi perpaduan
antara sebungkus white coffee dengan seperempat sendok teh
kopi Jambi (atau kopi hitam juga boleh). Langsung pada seruputan pertama saya
merasa segar. Tapi tentu saja obat untuk kantuk adalah tidur, maka ketika di
jalan saya mengantuk lagi. Ya, setidaknya saya berhasil melewati jam-jam kritis
dengan bantuan segelas kopi.
Sebagai
seorang pengopi amatir, saya memang tak terlalu banyak mau untuk minum kopi
robusta, arabika, atau yang lainnya. Kopi instan pun tak masalah, asal rasanya
masih sesuai dengan standar. Meski seorang pengopi amatir, saya cukup rewel
juga kalau minum kopi. Tak bisa asal kopi instan juga karena beberapakopi
instan menurut saya mengandung lebih banyak kafein yang menyebabkan saya beser
(cepet merasa kebelet pipis). Selain itu, ada juga kopi instan yang terlalu
ringan. Ringan maksudnya, ya, tidak berasa kopi banget. Rasanya memang kopi,
tapi kekentalannya terlalu encer. Kopi, bagi saya, tidak enak kalau terlalu
encer, kecuali kopi hitam (mungkin), apalagi dalam keadaan stres. Menurut
standar seorang amatiran seperti saya, kopi seduh itu terbagi dalam tiga level;
encer, sedang, kental. Kesukaan saya, sih, yang sedang, tidak terlalu encer dan
tidak terlalu kental.
Dulu,
sewaktu SMA, saya sangat PD untuk mengklaim diri saya sebagai seorang pecandu
dan penikmat kopi. Dulu minumnya kopi instan, sekelas G**d D*y. Tapi sekarang
selera saya sudah lebih dewasa (hahaha), jadi menyukai kopi hitam atau seperti
kopi yang saya minum sekarang.
Cukuplah
dulu tulisan amatir ini. Sekedar menglarifikasi postingan yang lalu kalau saya
bukanlah seorang Coffee Addict, tetapi seorang Coffee
Sipper. Menyeruput kopi memang bisa meluaskan pembuluh darah saya
sehingga tidak merasa terlalu mumet lagi, he he. Kadang juga kopi bukanlah obat
yang ampuh, meskipun begitu saya tetap suka ngopi.
Salam untuk semua Pengopi, Penikmat Kopi,
dan Pecandu Kopi dari sebuah gelas kopi yang mengepul dengan menguarkan aroma
kopi :3
Comments
Post a Comment