Back on the track, Mi!

source

Sudah lama sekali rasanya saya tidak membenahi pikiran ini, terlalu sibuk menyibukkan diri sampai lupa mengenali diri seperti apa. Pertama, saya sudah mulai memperbaiki diri sebagai Sekretaris Umum LPM Pena Kampus. Meski masih agak heran juga dengan dipilihnya saya, tapi saya tetap berusaha beradaptasi dengan 'jabatan' tersebut. Kuliah? Berjalan dengan lancar, lebih lancar dari yang saya duga sebelum benar-benar terjun di semester lima. Pergaulan? Pun baik-baik saja, sepertinya, namun masih tetap membatasi diri untuk tidak teremplung godaan nongkrong dengan teman main. Asmara? Kami sedang membenahi langkah kami supaya tidak tersandung di jalan penuh kerikil dan undakan serta lubang.

Pertama-tama... selalu, sejak postingan sebelumnya, saya bingung akan menceritakan apa dalam tulisan ini. Kenapa? Karena isi dalam kepala ini terlalu banyak dan tercampur-baur. Sulit memilah-milih mana yang masuk kategori ini dan itu. Tapi saya akan coba (lagi) untuk pelan-pelan memulainya supaya isi postingan ini tidak terlalu abstrak.

Dimulai dengan hal yang menarik bagi saya dulu saja, ya! Beberapa hari yang lalu, saya numpang wifi-an di rumah teman. Di sana, saya memanfaatkan koneksi kencang itu dengan menstalk salah seorang penulis yang punya faktor x; Bernard Batubara, di sana saya melihat percakapannya dengan kekasihnya, G (Nama di akunnya tertulis begitu, he he). Nah, si G itu menulis sebuah postingan di akun Tumblr.nya. Bagus. Karena beberapa waktu yang lalu saya mengupdate status mengenai hal yang sama, perspektif.


Saya berujar begini;
Kalau kita bisa mencoba untuk melihat banyak hal dari berbagai sudut pandang, rasanya kita akan mengerti setiap "kenapa?" yang muncul. 
Semua hal jadi relatif, sih... Tapi itu agaknya akan lebih baik daripada sibuk menilai salah-benar ðŸ˜Š
Lalu, hal menarik yang saya temukan dalam postingan mbak G itu adalah;
Pada akhirnya, saya berkesimpulan, mungkin beginilah cara sebentuk perspektif melingkari kehidupan manusia. Bagi saya, hidup adalah tentang kemampuan memahami kehidupan orang lain. Maka, sebaik mungkin kita harus memperbanyak pilihan cara pandang, agar tidak terkungkung dalam penghakiman-penghakiman atas pilihan cara hidup orang lain. 
Bagaimana memulainya untuk merajut benang merah antara ujaran saya dan simpulan mbak G, ya? Sebelumnya saya pernah berdiskusi dengan teman saya mengenai hal itu.

Begini saja, saya akan menanggapi simpulang mbak G; kalau hidup itu adalah tentang kemampuan memahami kehidupan orang lain, maka kapankah hidup bagi kita untuk memahami diri sendiri? 

Bagi saya hal ini sangat menarik untuk didiskusikan karena saya sangat senang mendiskusikan hal yang seperti ini; luas, banyak perspektif, dan universal, mungkin juga relatif. Ah, menurut saya sebagian besar hal di dunia ini relatif. Mengutip apa yang sering teman saya (Hikmah) katakan, "Kebohongan bisa jadi kebenaran jika banyak yang membenarkannya."

Sampai sini saya jadi ingat bahwa saya punya gagasan tentang bagaimana mengenali diri. Sering kali saya harus bertanya pada seseorang mengenai orang seperti apakah saya ini. Bukan ingin narsis atau gede rasa, sih, tapi lebih kepada ingin mengingat lagi; bagaimana saya sebagai individu, dan apa saja yang saya punya untuk jadi bermanfaat di antara umat.

Bahagia rasanya ketika mendengar jawaban dari seseorang mengenai seperti apakah saya ini, baik itu komentar positif maupun negatif. Karena manusia tiada yang sempurna, kan. Dengan mengetahui apa yang kurang dari kita, saya tidak perlu resah (kecuali untuk hal-hal yang primer, yaa...) karena saya hanya harus lebih berfokus pada potensi diri, tentu saja untuk menjadi seseorang yang lebih hidup.

Akhir-akhir ini saya selalu merasa mengawang-awang terbawa angin. Seringnya saya merasa hanya mengikuti siklus kehidupan saya, bukannya berusaha untuk membuat hidup sendiri. Tapi, membaca selalu bisa mengembalikan saya. I am back on the track.

Membaca seperti sebuah cahaya di ujung lorong yang menunjukkan dan mengingatkan saya akan melangkahkan kaki ini ke mana. Dengan membaca, saya kembali terpecut untuk kembali menulis. Ya, menulis lagi! Saya belum berhenti bermimpi bahwa tulisan saya akan dimuat di koran lokal, maupun terbit dalam sebentuk buku yang akan terpajang di toko-toko buku di Indonesia. Ya, mimpi itu kelihatannya besar, tapi kenyataan yang lebih besar adalah banyak orang di luar sana yang berhasil. Maka dari itu, bukankah tidak ada mimpi yang terlalu besar? Tuhan Yang Maha Kuasa, memiliki segalanya, termasuk mimpi besar kita, Ia pemilik semua, sepantasnya kita memohon gandengan tangan-Nya untuk menghantar kita pada mimpi besar itu.

Lain lagi dengan sebuat aritkel yang saya baca di koran Kompas beberapa waktu yang lalu. Dalam artikel itu ada kutipan dari Putu Wijaya yang disampaikan Jose Rizal Manua, "Kita harus melawan kebosanan ..."

Tulisan itu tentu mencekat saya yang sering melarikan diri kalau sedang dilanda kebosanan. Contohnya saja bosan menulis. Ketika bosan menulis, ya, yang saya lakukan adalah tidak menulis. Namun menurut hal di atas, kebosanan itu harus dilawan dengan cara memaksakan diri. Ya, saat ini saya sedang mencoba untuk melawan kebosanan itu dan juga kebosanan lainnya, memikirkan tugas kuliah.

Saya mencoba kembali pada jalur, yakni menumpahkan limbah-limbah pikiran dalam sebentuk tulisan. Sedikit melegakan, sih. Tapi karena sudah menimbun cukup lama, maka yang sudah segini ini ternyata hanya secuil dari yang harus dibuang. Barangkali saya harus memulai postingan baru lain untuk membuang limbah selanjutnya. Ya, saya sudah mulai bisa memilah-milihnya.

Demikian sapaan di akhir Oktober yang gerah ini, Semoga dapat menginspirasi kalian (yang sempat membaca ini) untuk bersikeras melawan kebosanan kalian, he he. Semoga juga saya bisa keukeuh dalam memaksakan diri untuk tetap menulis apa saja ;)

-miw

Comments