#RequestedPost: Hanya Cerita

Karena ada tuntutan dari seorang pembaca, saya akhirnya punya kesempatan untuk menulis sebuah postingan di blog ini. Maklum, sok punya beberapa blog yang akhir-akhir ini jarang diisi karena kesibukan main di sela jam kuliah -_-v

Mau bahas apa, ya... Sepertinya belum ada sampah yang mesti dibuang, tapi saya akan coba untuk menulis tentang kegiatan akhir-akhir ini yang menjadi sebab saya jarang nge-post. Sepele sih, belum ada uneg-uneg.

Awal kuliah semester lima memang ekspektasi bakal sibuk sana-sini sama tugas dan lain-lain, eh, taunya masih bisa nyantai dan nongkrong pula. Saya terlalu sering ingin menikmati waktu luang meskipun tugas-tugas sudah berderet di to-do list. Padahal kan work hard, play hard, yak! Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Mungkin efek golongan darah B yang moody banget,  jadi suka-suka aja sih mau ngapa-ngapain juga.

Semester lima ini saya mengambil ful 24 SKS. Ada satu mata kuliah yang sampe hampir sebulan tuh gak masuk, Public Speaking. Karena tiap minggu mata kuliah ini belum ada kepastiannya, maka rasanya mata kuliah tersebut sudah punah dari KRS hahahaha. Bukan cuma itu, satu mata kuliah lagi yang rasanya udah gak ada lagi, yaitu Extensive Reading II. Tanya kenapa. Karena dosennya sepakat kita cuma pertemuan sekali sebulan. Hal itu dikarenakan beliau juga bingung mau mengajarkan apa pada mata kuliah itu. Jadi, pada pertemuan pertama beliau memberikan tugas untuk membaca buku-buku dengan tema yang kita tentukan dengan teman kelompok. Nanti buku yang sudah dibaca dibuat rangkumannya gitu sebagai laporan, kan. Tapi teman-teman sekelas termasuk saya pun bingung dengan tugas ini. Sepele banget sih padahal, mungkin karena biasa menjalankan perintah, waktu nentuin tema pada bingung mau pake tema apa dan ngambil buku apa untuk dibaca. Alhasil, sebagian besar teman-teman sekelas pun hampa. Mau ngerjain, tapi bingung. Gak dikerjain, kuatir. Ya, hampa. Sambil ngetik ini pun saya jadi digentayangi jurnal yang belum kelar saya baca untuk mata kuliah ini.

Urusan kuliah selain yang di atas itu nampaknya so far so good. Ada hal lain yang cukup jadi beban, yaitu masalah organisasi. Ternyata pada periode 2015-2016 ini saya dipercaya dan diamanatkan menjabat sebagai sekretaris umum LPM Pena Kampus. Awalnya (dan masih) saya pikir bisa menjalankan tugas itu dengan lancar. Ah, tak taunya ada saja godaan, ya! Bukan cuma godaan yang bikin saya jarang menyambangi sekretariat, tapi juga kewajiban lain. Semenjak adik saya masuk kuliah, saya yang sering mengantar-jemput. Dia kuliah dari pagi, seharusnya cuma sampai siang. Tapi karena dia sering menyibukkan diri, dia jadi pulang sore, bareng dengan kelarnya jam kuliah saya. Setiap Jum’at malam di Pena Kampus ada diskusi rutin mingguan gitu setiap kelar Maghrib. Nah, gampangnya sih kelar kuliah saya gak pulang biar langsung nyambung kegiatan sampe malem. Tapi di hari itu adik saya pun berkegiatan sampai pukul enam (kadang lebih). Karena sering minta pulang bareng, saya gak mungkin tega, kan, nyuruh dia nunggu bapak yang mungkin masih ada urusan untuk ngejemputin, jadi pulang bareng. Berhubung rumah agak jauh dari kampus, dan saya kalo udah di rumah males keluar lagi, jadi baru ikut diskusi cuma sekali. Hmm...

Terlepas dari kewajiban sebagai kakak itu, ada godaan yang memang untuk saya – yang kadang oportunis ini – susah tolak, maka... begini ceritanya. (semoga siapa pun anak Pena nggak ada yang baca tulisan ini, kalaupun ada, semoga bisa dimaklumi :v) si Partner kan juga anak organisasi gitu, nah, organisasi dia (DAM) lagi punya kegiatan untuk persiapan Kongres Buku gitu kalo gak salah. Dan dia secara kecelakaan ditugaskan untuk menjaga sekret sekalian merapikan buku-buku sumbangan. Langsung saja ke intinya, sekretnya dia yang ada di kantor pemerintahan itu beda jauh keadaannya dengan sekret Pena. Ya, namanya juga di bawah naungan pemerintahan... Sekret DAM itu bersih, ber-AC, ber-wifi, dan bebas asap rokok. Kalau sekret Pena bebas asap rokok, itu artinya sedang gak ada orangnya karena prinsip lelaki di Pena itu “diskusi itu dengan sebatang rokok dan secangkir kopi” (prinsip yang saya karang karena kata-kata tepatnya saya lupa atau mungkin sebenarnya memang nggak ada).

Perbedaan pada poin terakhir itulah yang membuat saya sering menyambangi sekretnya si Partner. Selain itu, kalo di sekret dia mah bisa numpang wifi-an, dan adem. Sebagai manusia, saya rasa wajar kalau kita akan memilih yang membuat kita nyaman, wkwk *langsung dipelototin petua dan pimum Pena* X_X

Ya gimana, pada zaman dahulu, adik saya pernah terkena TBC diakibatkan oleh paparan asap rokok yang dihisap bapak yang kemudian membuat bapak berhenti merokok. Dulu, semasa pengobatan, gak boleh ada sedikit asap rokokpun di rumah, dan kalu keluar rumah sebaiknya menghindari asap rokok. Lalu, hal itu juga berlaku pada tamu yang datang ke rumah, mereka gak boleh merokok di dalam ruangan. Karena kebiasaan itu berlangsung cukup lama, dan juga karena membaca artikel-artikel yang berkaitan tentang hal itu, maka kebiasaan menghindari asap rokokpun terbawa sampai sekarang.

Saya teringat pada perilaku saya yang menghidari asap rokok ini ketika berada di sekret. Waktu itu, saya lupa tepatnya bagaimana, ada seorang abang yang merokok di dekat saya. Saya gak enak aja mau minta dia ngerokok di luar, atau setidaknya di dekat pintu, saya pun mengibas-ngibaskan tangan untuk mengusir asap rokok yang lewat. Eh, tak taunya dia melihat dan kemudian minta maaf lalu pindah ke dekat pintu. Sekarang, kalau ada abang (yang sudah tau perilaku saya yang menghidari asap rokok itu) yang hendak merokok, maka dia akan permisi dulu gitu. Kadang gak enak juga sih sama abang-abang, jadi sesekali saya yang mengalah untuk menghindar atau nafas dengan irit, hehe, apalagi kalau yang merokok di sekret itu tetua-tetua...

Jadi intinya tulisan ini, ya, membandingkan sekret Pena dengan sekret DAM, Mi? Bisa jadi... Jangan ada yang tersinggung, ya...

Sudah hampir dua minggu saya tidak menyambangi sekret Pena. Rasa enggan pun menyelimuti hati. Menjadi sekretaris umum tapi jarang ke sekret sungguh membuat malu. Tapi saya masih mau berusaha, hehe.

Nggak mau banyak membahas tentang sekret-sekret, ah. Setelah itu, apa lagi cerita di akhir-akhir ini,  ya? Oh, nikahan!

Bukan, bukan saya pengen nikah. Tapi bukan ini banyak yang nikahan. Baru Jum’at kemarin mbaknya Alvi nikahan, eh Minggu kemarin bang Ifan-nya si Partner yang nikahan, semingguan sebelumnya juga abangnya dia nikahan, eh minggu depan pun guru bahasa Inggrisnya nikahan. Oktober bulan nikahan, yak?

Bukan, bukan juga mau mendata siapa aja yang nikahan. Tapi mau bahas bagaimana menghadiri undangan resepsi membuat saya sadar bahwa saya bukan lagi anak kecil yang kalo ada kondangan ngikut ibu ke mana-mana. Menghadiri undangan resepsi membuat saya sadar kalau saya sudah harus bisa, mau tak mau, terbiasa untuk dandan; make-up dan dressing.

Kalau sewaktu SMA cuma pakai bedak, sekarang sudah pakai pelemab muka. Kalau dulu ke kondangan cukup pake bedak dan berpakaian agak formal, sekarang sudah harus di-upgrade jadi agak dandan.

Waktu ke resepsian mbaknya Alvi, untuk pertama kalinya saya coba untuk berkerudung yang dililit-lilit simpel gitu. Agak kurang pede karena pertama kali show up, tapi cuek ajalah. Trus make-up pelembab muka, bedak, dan lip balm. Sepatu pun pake sepatu kuliah meski sempat terbesit untuk pakai wedges, tapi wedges udah gak bagus, hehe. Tak taunya, pas ketemu kawan-kawan geng, mereka bener-bener ber-make-up, maskara dan lipstik, mungkin juga eye shadow. Keder, deh, tapi tetep cuek sampe waktunya Cinderella (re: saya) untuk pulang sebelum sihir dari ibu peri menghilang (re: sebelum berantem sama Partner).

Sampai rumah, taunya udah pada tidur. Karena bete, jadi selfie-selfie gitu. Trus ngacaan, kan, kok polos banget nih muka padahal ke acara kondangan. Masih karena bete dan gabut juga, akhirnya ngambil lipstik emak (emang suka main make-up  pake punya emak, sih, tapi pas yang punya gak di rumah). Dipoles dikit, ih, kok cantik! Lanjutlah selfie-selfie cantik gitu. Ah, nyesel juga kenapa gak bergincu aja tadi, toh warna gincunya gan begitu mencolok di bibir. Lalu muncul tekad dalam diri saya bahwa pada kondangan yang akan datang (entah siapa yang nikahan), saya akan bergincu.

Mengingat tentang gincu-menggincu, saya terhentak dengan tulisan pada postingan sebelum ini. Di sana saya membahas bagaiamana dan kenapa cewek-cewek sekarang hobi bergincu. Saya juga kalau tak salah sempat menyatakan bahwa saya geli bergincu, tapi sejak kondangn kemarin, saya ingin meralatnya; ada waktu-waktu di mana saya harus membuang kegelian saya akan bergincu karena gincu bukanlah simbol dari centil atau apa, tapi untuk menghormati si empunya gawe/hajatan. Si Partner pun angkat bicara yang agaknya senada dengan ralatan itu, “Ya, sesekali dandan juga perlu, pada tempat dan waktunya. Tapi jangn sering-sering karena saya jadi iri karena orang lain lebih sering melihat kamu dengan dandanan ketimbang saya,” (kalimat terakhir agak bikin pengen nonjok gitu). 

Jadi, begitulah. Saya harus tidak malu untuk bergincu. Yang utama, saya harus belajar jujur pada diri saya dan teman-teman bahwa bergincu itu diperlukan (karena saya pernah membawa-bawa masalah gincu ini dengan melibatkan teman-teman pada postingan sebelumnya). Kita belajar dari pengalaman, kan? Dan kesalahan sebelum pengalaman harusnya bisa dimaafkan, bukan? *mencari pembelaan terhadap postingan sebelumnya* 

Sudah, ah. Panjang sekali tulisan ini. Semoga untuk pembaca yang sempat protes karena jarang nge-post bisa terbayar dengan tulisan panjang ini, ya! Saya masih berusaha untuk stabil dalam mengatur waktu di semester lima ini, dan... coba untuk menjadi wanita, bukan lagi gadis yang bisa bebas cuek dengan penampilan, hehe. *grin* *ketjup*

Comments

  1. Wah kamu kok sama dengan aku sih, Golongan darah B yang suka-suka aja mau ngapa2in. Akhirnya seluruh curhatan tumpah di tulisan ini. Semangaaaat terus yaaa menjalani kuliahnya.. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. muehehehehe begitulah...
      moody itu sebenarnya kan gak bagus, ya, tapi ya orang B itu selain moody juga suka keras kepala, kan, jadinya tetep aja gitu moody wkwk xD

      Delete

Post a Comment