*strikethrough* FRIENDSHI(T)P
Tidak ada hal yang mudah di dunia ini. Di kehidupan ini.
Semua butuh waktu dan usaha. Yap. Persis seperti “Friendship” dalam kamus saya.
Tidak semudah sekelas bertahun-tahun kemudian saya menyebut teman-teman dekat
sebagai sahabat. Pun tidak semudah satu organisasi bersama lantas saya
menggelari seorang teman dengan sebutan sahabat. Jangankan yang sebentar, yang
lama saja belum tentu saya sebut sahabat. Tetapi mungkin saya beruntung karena
cukup banyak yang menganggap saya sahabat. Entah bagaimana definisi sahabat
dalam kamus mereka, karena saya merasa tidak pernah pantas disebut sebagai
sahabat.
Easy come, easy go. Begitu kata dosen TEFL II saya
mengenai pelajaran di zaman serba instan ini. Mengerjakan tugas tinggal copas
sana-sini tentu mudah, tapi esensinya nol besar. Ya, seperti itulah analogi
untuk sebuah persahabatan masa kini, setidaknya yang terlihat oleh pengamatan
saya. Saya sungguh yakin bahwa pendapat saya ini masih bisa dibantah oleh
segelintir pihak, dan itu tidak masalah. Hingga detik ini, tidak kurang dari
dua orang yang saya hadiahkan gelar sahabat (terlepas dari keluarga).
Sahabat tidak sebatas hang out bareng dalam kurun
waktu tertentu. Sahabat tidak sebatas berbagi satu-dua rahasia besar. Sahabat
tidak sebatas mengerjakan tugas bareng. Sahabat tidak sebatas makan irit
bareng. Sahabat tidak sebatas menyukai satu hobi yang sama. Sahabat tidak
sebatas menghargai perbedaan yang banyak. Sahabat tidak sebatas memiliki
ideology yang sama. Menjadi sahabat tidak semudah yang terlihat dalam drama,
dalam film, dalam fiksi, dan dalam hal-hal klise. Tapi terkadang hal-hal klise
tersebut benar adanya. Kompleks.
Easy come, easy go. Rupanya persabahatan yang terlalu
mudah terjalin akan sangat dangkal. Sedangkal mengumpulkan tugas duluan.
Sedangkal tidak mau bekerja sama dalam memberi contekan saat ujian. Sedangkal
tidak ikut kumpul atau meet up. What a shame…
Semurah itukah harga persahabatan? Ugh… padahal di zaman
yang serba gengsi ini tidak ada yang murah. Bahkan seporsi kopi di Starb*cks
saja bisa menyentuh angka limapuluhriburupiah. Saya pribadi merasa tidak pede
jika diajak meet up saat tidak
punya duit. Karena rasanya mustahil kumpul-kumpul tanpa makan bareng. Dan makan
bareng belum tentu ditraktir. That’s it. Apakah esensi persahabatan jika
tanpa rupiah di kantong pun membuat enggan? Asas-asas persahabatan yang ada
dalam benak saya pun rasanya sudah kuno jika ingin diterapkan di zaman hedon
ini. Atau saya yang terlalu sensitif karena sedang bokek? Entahlah… Apapun itu,
persahabatan shouldn’t go that way.
Apakah saya layak menyebut diri sebagai sahabat bagi orang
yang menyebut saya sebagai sahabat mereka? Susah sekali menjawabnya. Bahkan
bagi diri saya sendiri saya belum berani memberi gelar sahabat.
Apakah arti persahabatan? Oh… saya berputar pada pertanyaan
itu saja. Sebenarnya melalui tulisan ini saya hanya ingin meluapkan kekecewaan
saya terhadap dua “persahabatan” yang saya miliki. Entah pantas atau tidak,
berhak atau tidak saya kecewa. Tapi rasanya sah-sah saja berhubung saya sudah
dilibatkan dalam persahabatan tersebut. Yah, bagaimana mengungkapkannya, ya?
Saya hanya tak ingin menyinggung siapa pun, sih. Hidup memang agak ribet, ya,
ha ha. Begini… saya kecewa sih di saat “persahabatan” itu memang katanya
merindukan kehadiran saya tapi saya tidak diberi ruang untuk “eksis” dalam
komunitas berisi “sahabat-sahabat” itu.
Sekian saja. Lebih banyak kata lagi mungkin kalian, yang
membaca ini, akan menghujat saya atau mengatai saya tak tahu diri. Terserah
saja. Terima kasih sudah menyisihkan waktu kalian yang berharga untuk membaca
sampah pikiran saya yang mulai terbuang.
Izinkan saya mengakhiri tulisan ini dengan pertanyaan “Apakah
esensi persahabatan bagi kalian?” dan sebuah harapan bahwa kalian akan
menuliskan jawaban pada kotak komentar di bawah.
Comments
Post a Comment