The Stranger(s) in Me #1
Pernahkah
kalian merasa ada orang lain dalam diri kalian? Yah, semacam perang antara otak
dan hati. Atau pernahkah kalian menyadari bahwa kalian berbeda dari diri kalian
yang sebelumnya, seperti ada yang mengendalikan atau mempengaruhi kalian?
Pernahkah kalian merasa dalam diri kalian ada jiwa-jiwa yang berbicara,
menelaah benar salah, berdebat ini-itu? Pernahkah kalian tiba-tiba tertegun dan
diam mendengarkan sesuatu dalam diri kalian bicara dengan cara mereka?
Sejak beberapa
bulan yang lalu saya mulai belajar untuk peka terhadap diri sendiri. Menelaah
fenomena yang terjadi dalam raga dan jiwa. Ada seorang teman yang menyampaikan
bahwa saya ini “dingin”. Dingin, bukan cuek dan galak, tetapi “dingin”. Keadaan
itu menyebabkan saya “disukai” oleh makhluk astral, makhluk tak kasat mata.
Awalnya saya tidak begitu menggubris, tapi saya orang yang mudah kepikiran
sehingga saya pun melakukan penelitian terhadap diri saya.
Saya tidak
punya banyak pengalaman mistis yang melihat secara langsung, kecuali ketika
masih SD. Yang saya yakini ada satu, tapi keyakinan lainnya yang saya ragukan
ada dua. Entahlah, saya hanya percaya saya melihat sekali. Kejadiannya cukup
cepat, hanya sekejap mata. Setelah itu saya tak ingat apakah panic, takut, atau
trauma. Yang jelas, saya masih ingat kronologisnya. Konon, makhluk itu sudah
diusir ke kali oleh uwa yang tinggal di sana.
Semenjak
mengetahui bahwa saya sedikit “berbeda”, saya merasa bahwa saya harus lebih
waspada. Tapi semakin saya waspada, saya semakin kepikiran. Semakin kepikiran
membuat saya semakin tidak fokus (wong, tidak kepikiran saja saya masih susah
fokus). Semakin tidak fokus, kata teman saya, semakin mudah mereka mengikuti
saya. That’s it.
Mengulas
sedikit tentang pengalaman yang membuat saya semakin belajar peka terhadap diri
saya. Semester lalu, ada acara kemping bersama teman sekelas atas ajakan salah
satu dosen. Saya ingat sejak agenda pendirian tenda, memasak pasak, saya merasa
was-was. Hutan. Siapa yang punya hutan? Siapa saja. Dan saya sangat paham bahwa
hutan bukan saja dilewati oleh manusia dan ditinggali hewan, tapi ada dunia
lain di sana. Pasak tenda saya sempat dipindah dua kali untuk menyesuaikan
dengan posisi tenda yang lain. Tenda saya berakhir pada sebuah titik, sedikit
di bawah sebuah pohon dan, jujur saja, agak seram. Saya selalu menganggap
tempat asing sebagai tempat yang seram. Jangankan yang asing, kamar sendiri pun
terkadang seram.
Singkatnya,
pada sore hari ketika pulang dari sholat ashar, saya mendapat kabar bahwa salah satu teman ketemu’ (istilah
setempat di mana seseorang disapa, atau sempat melihat makhluk halus). Saya
berlagak sok berani dan bertanya tentang kondisinya. Dia memang sedang kurang
enak badan dan istirahat di tendanya bersama beberapa teman. Saya
menghampirinya dan bertanya-tanya sedikit sambil memijatnya. Saya merasa bisa
membantu. Di sisi lain, saya pun merasa agak was-was akan mengganggu makhluk
lain yang mungkin berkawan dengan yang dilihat teman saya.
Jadi, cerita
yang saya dapatkan adalah dia tak sengaja melihat sosok hitam ketika sedang
buang air kecil di sungai. Dia kaget dan agak drop. Begitulah.
Beranjak
lembayung, masuk waktu sholat maghrib. Saya dan teman-teman memutuskan untuk
sholat di area perkemahan saja karena kalau mau sholat di dekat kantor
pengelola cukup beresiko dalam perjalanan membelah pepohonan meski sudah ada
jalan setapak. Saya dan teman-teman pun ramai-ramai berwudhu di sungai. Tentu
saja yang ingin buang air kecil di sana, termasuk saya. Kami bergantian wudhu
dan memegang penerangan.
Sekembali
dari sungai dan hendak sholat, saya merasa agak sempoyongan dan kurang enak
badan. Seperti mau roboh pingsan. Saya pikir karena dingin sehabis hujan
dicampur lapar. Segera saya selesaikan sholat dan istirahat di tenda bersama
seorang teman. Saya bilang kalau saya tiba-tiba merasa tidak enak badan.
Acara pun
berlanjut, makan malam mengelilingi api unggun lalu bernanyi-nyanyi dan
bercerita dengan pak dosen. Saya ngeri untuk duduk di lingkaran terluar
sehingga saya menyisipkan diri di antara teman-teman, tak peduli laki atau
perempuan yang penting saya merasa aman.
Karena sudah
agak larut dan badan saya nampaknya tak ingin lama-lama ditunda istirahat, saya
mengajak salah seorang teman untuk berbaring di dalam tenda. Saya sungguh
merasa sakit. Kami bercerita sedikit di dalam tenda, mencoba tidur. Rupanya
saya tak betah, tak nyaman rasanya sehingga saya memutuskan untuk bergabung
dengan teman-teman yang masih bercengkrama dengan dosen di sekitar api unggun.
Teman yang masih ditenda bilang tidak ingin ditinggal sendirian, tapi saya agak
jahat. Bukannya memenangkan dan tinggal, saya malah menakut-nakutinya dan
lantas keluar tenda.
Saat ikut
duduk, saya merasa agak lapar dan kemudian kembali ke tenda mengambil noodle
cup. Ternyata teman yang saya tinggal di tenda pun ikut keluar dan menyeduh
mie. Kami pun duduk lagi sambil menikmati mie. Agak aneh rasa mienya, tapi saya
tak peduli selama minya hangat. Belakangan saya tahu bahwa mie yang saya seduh
ternyata mie goreng. Pantas rasanya aneh! Tapi sudah kedung habis, ya enak.
Setelah perut
kenyang, rasanya mata yang berat. Bertahan beberapa menit setelah menghabiskan
mie, saya mengajak teman saya untuk kembali ke tenda dan tidur. Ia pun
mengiyakan.
Setelah
memsang kaus kaki dan merapatkan jaket, kami sepakat untuk menyalakan lampu emergency
selama tidur. Udara hutan malam itu dingin sekali, membuat menggigil karena
masih terasa hawa sisa hujan. Saya berusaha menemukan posisi nyaman di atas
bebatuan berlapis terpal sebagai alas tenda.
Tengah malam
saya terjaga. Merasa tak nyaman dengan kondisi tubuh yang kesemutan padahal
saya tidak menindih bagian mana pun, termasuk lengan kanan yang kesemutan
parah. Saya berpikir pasti karena udara dingin. Saya pun bergerak kiri-kana
untuk meredakan kesemutan itu. Tapi tak banyak yang berubah. Teman di samping
saya pun agak terjaga, saya bilang padanya bahwa badan saya kesemutan dan hanya
dijaawab bahwa badannya tidak kesemutan. Lalu saya lupa dia tetap terjaga atau tidak.
Sementara itu, saya berusaha kembali terlelap dan mengabaikan rasa kesemutan.
Tapi sulit sekali. Akhirnya saya meraih ponsel dan mengirimkan pesan pada
seorang teman yang sedari tadi tiba-tiba lenyap menghilang.
Cepat sekali
dia merespon pesan saya. Saya merasa sedikit aman karena tidak sendirian
terjaga. Di luar, saya mendengar masih banyak teman-teman yang bernyanyi ria.
Teman saya pun kemudian menyuruh saya tidur saja. Saya mencoba sambil merapal
berulang beberapa doa. Tapi kuping saya menangkap kesunyian di antara riuh
suara gesek dedaunan. Seketika saya merasa seram mencekam. Tapi saya pusatkan
pendengaran saya pada riuh teman-teman yang bernyanyi ria di luar. Sekitar
pukul empat pagi barulah saya terlelap lagi.
Pagi
menjelang dan satu per satu tenda mulai terbuka, kehidupan dimulai lagi. Semua
berjalan mulus, seperti biasa. Saya mulai melupakan kejadian susah tidur
semalam dan ikut berbaur dengan teman-teman dalam acara foto bareng, cuci muka
bareng, dan bareng lainnya.
Acara kemah
pun berakhir dengan membakar sampah supaya tempat perkemahan tidak kotor.
Setelah itu,
saya berbincang dengan seorang teman. Sebut saja K. Ya, dialah yang saya kirimi
pesan ketika susah tidur. Dia lebih dari sekedar teman. Lebih juga dari sekedar
kekasih. Sebut saja K.
Dialah yang
kemudian menginterogasi saya. Dan saya mengingat-ingat bahwa ketika wudhu di
sungai mungkin saya lupa permisi pada makhluk-makhluk yang ada di sana sehingga
saya kemudian mengganggu mereka dan mereka memperingatkan saya. Intinya, ke
mana pun kita pergi, apalagi ke tempat yang baru dan asing, kita wajib permisi
pada siapa dan apapun yang ada di sana. Tata karma dalam hidup.
Dia katakan
pula bahwa saya ini sedikit gegabah karena menakut-nakuti teman di tenda tanpa
tahu bahwa apa yang saya katakan itu benar adanya. Ya, ternyata ada “keluarga”
yang tinggal di tempat kami mendirikan tenda. Awalnya mereka mau bertoleransi
pindah supaya tidak bersinggungan dengan tenda kita, namun kita bergeser lagi
dan marahlah mereka. Mereka tak mau pindah. Itulah alasan yang bisa saya terima
mengenai kesemutan yang saya rasakan, yang menyebabkan saya susah tidur itu.
Sudah ada firasat pula bahwa kesemutan itu bukan kesemutan biasa, tapi saya
menenangkan diri saja dengan mengatakan bahwa itu karena hawa dingin. Saya tidak
terkejut, hanya bergidik saja. Katanya, anak-anak “mereka” main di atas tubuh
saya, lompat-lompat, layaknya anak kecil bermain. Dan sebagian besar hal
menjadi jelas bagi saya.
Lanjut dia
mengatakan bahwa yang di sungai, ada yang mengikuti saya. Kata dia, syukur saya
tidak diperlihatkan wujud mereka. Ugh, saya pun ogah melihat-lihat lagi. Cukup
merasakan saja. Dia pun melaporkan bahwa banyak sekali “bawaan” saya sepulang
kemah. Dan “menyembuhkan” saya akan butuh waktu banyak. Dalam masa “penyembuhan”,
saya sampai bolos satu mata kuliah. Tapi setelah itu saya memang merasa lebih
enakan.
Efek dari
“bawaan” itu adalah saya merasa jauh lebih peka. Seperti bisa merasakan
kehadiran kawan mereka dan merasa terintimidasi sehingga tak mau berlama-lama
di tempat yang bersangkutan, contohnya kamar saya. Sepulang kemah, saya
menumpang tidur di kamar adik saya selama beberapa waktu. Mungkin merasa
terganggu, saya pun diusir secara halus dari kamarnya.
Efek lainnya
adalah saya merasa sangat malas dan berat untuk melakukan pekerjaan rumah.
Kalaupun bekerja, keringat yang keluar tidak sebanyak biasanya. Tidak enak.
Bicara pun menjadi kasar dan tidak sopan tanpa bisa sepenuhnya saya kendalikan.
Belakangan
dia mengatakan bahwa kerasukan bukan hanya jadi tidak sadar dan teriak-teriak
saja. Apa yang saya alami pun namanya kerasukan. Hanya saja, saya masih
memegang control atas tubuh saya sehingga tidak mengalami kerasukan yang orang
awam ketahui.
Sekedar
informasi saja, mengeluarkan mahkluk halus dari dalam tubuh itu beda-beda
prosesnya. Ada yang melalui muntah, seperti yang biasa kita lihat di acara
ruqyah, ada yang melalui kentut, buang air kecil, buang air besar, dan sendawa.
Sementara saya, saya melalui sendawa. Jadi, ketika dalam masa penyembuhan, saya
sendawa seperti lelaki. Besar-besar. Tapi saya merasa biasa saja karena memang
sudah biasa sendawa, terlebih ketika begah telat makan, he he.
Informasi
lagi, ketika masih ada “bawaan”, saya jarang buang air besar. Tapi setelah
“bersih”, semua jadi lancar. Itu pun termasuk efeknya.
Terlepas dari
semua itu, seharusnya kita memang harus berhati-hati di mana pun berada,
mengingat Tuhan dan selalu berdoa. Sebelum tidur, seperti yang dianjurkan
Rasulallah, hendaklah beruwudhu dan membaca rangkaian Al-Fathihah, Al-Ikhlas,
Al-Falaq, An-Naas, dan ayat kursi lalu mengusapkan telapak tangan ke seluruh
tubuh.
Sekian cerita
pertama tentang “makhluk asing” dalam diri saya. Jangan takut, ya!
26.01.16
Comments
Post a Comment