The Two of Me

Musim hujan sudah datang mengguyur. Lagi, saya akan berbagi cerita tentang pribadi saya, sembari juga mengenali diri sendiri. Dualitas manusia. Setiap orang, setiap individu, setiap organisme, setiap manusia pastinya memiliki kedualitasan dalam dirinya. Di mana yang saya sebut saja sebagai bipolar supaya mudah karena konsepnya sama. Dualitas manusia terbagi menjadi dua tentunya; hal untuk diberitahukan pada dunia, dan hal untuk disimpan sendiri.

Dalam hal ini, dualitas saya berpaku pada kata hati dan unsur logis. Terkadang saya lebih mengutamakan kata hati, tapi juga tak jarang menjunjung tinggi logika. Mungkin hampir lebih dari separuh hidup saya berasaskan kata hati. Yang dilihat orang lain bisa saja egoism, tapi bagi saya adalah kebenaran. Saya impulsive, sepanjang yang saya pahami tentang impulsive adalah orang yang bertindak spontan mengikuti kata hati. Dan dengan menjadi orang yang impulsive, saya pun tak bisa terhindarkan menjadi orang yang menyebalkan dan bikin gregetan.

Alasannya ada banyak. Tak jarang, ketika sudah mengatur janjian jauh-jauh hari, pada hari H saya membatalkan. Siapa yang tak dongkol? Ketika sudah menerima tanggungjawab, di tengah jalan saya lelah dan bosan, kinerja pun acakadut. Siapa yang tak kesal? Ketika perkerjaan menumpuk, saya tak kunjung mencicilnya. Siapa yang lelah ketika berjibaku mengerjakan semua dalam semalam? Banyak lagi, bisa ditambah sendiri…

Menjadi impulsive bukan pilihan saya, tapi pada akhirnya saya mengerti bahwa dengan demikianlah saya merasa nyaman. Logika kan seringkali tak sejalan sejalur dengan kata hati, dan karena itu, saya sering sakit hati sendiri kalau sudah bersikeras menuruti logika. Tapi kalau menuruti kata hati, penyesalan yang datang hanya setipis selembar kertas, barangkali. Eh, itu semua tidak menjamin banyak. Kembali lagi, saya menunggu hati saya berbicara baru bertindak.

Yang Terlewatkan
Musim liburan semester ganjil ini menjadi hal yang sangat saya tunggu-tunggu. Semester lima terasa amat sangat membosankan. Bukan saja karena mata kuliah dan tugasnya, tapi juga suasana kehidupan yang terasa begitu-begitu saja. Saya lelah bertahan menghadapi semester lima. Tak hanya ingin lekas lulus kuliah, saya juga ingin lepas dari tanggungjawab sebagai Sekretaris Umum LPM Pena Kampus untuk sementara waktu –untuk bernafas. Ritme pada semester lima sangat monoton.

Alhasil, menjelang minggu Ujian Akhir Semester pun saya sudah mulai memvakumkan diri dari kegiatan organisasi dan berfokus pada urusan perkuliahan dan tugas-tugas akhir. Selain itu, kebetulan saya juga dapat tawaran kerja mengerjakan proyek –sebagai pelarian yang bonafit. Satu, saya tentu merasa tak enak hati dengan kawan-kawan organisasi, terutama Pemimpin Umum dan senior. Dua, tapi saya bukan tipe orang yang memaksakan diri untuk lanjut melakukan hal yang membuat saya tak nyaman. Tiga, saya mendengar dan menuruti kata hati.

Pelarian pun sudah dimulai. Ketika liburan semester telah tiba, saya menghilang dari organisasi bak dilenyapkan buaian hari libur. Berkali-kali saya mangkir dari rapat persiapan dies natalis organisasi. Berkali-kali saya tak merespon undangan rapat. Dan saya seperti mengacuhkan organisasi. Sejujurnya, walau menghilang, saya tak bisa melenyapkan pikiran dan tanggungjawab sebagai sekum. Saya hanya lelah dengan rutinitas yang menurut saya lamban membuat saya berkembang. Entahlah...

Hari dies natalis pun tiba. Acara yang dilakukan ialah kemah keakraban antar-anggota dan alumni. Kemah tentu sangat menarik minat saya, terlebih saya yang mengusulkan acara itu. Tapi entah kenapa, hasrat untuk berpatisipasi pun memudar. Kata teman saya, “Sense of belonging kita belum sekuat mereka (pimum dan senior dan teman-teman lain).” Saya setuju. Bisa jadi karena beberapa hal; yang saya cari tidak saya temukan, yang saya butuhkan tidak saya dapatkan, kontribusi yang bisa saya lakukan tidak semaksimal yang saya harapkan, dan sense of belonging yang  terus memudar.

Orang mau berpendapat apapun tentang ketidakhadiran saya pada dua acara tahunan pengurus inti, terserah saja, mereka berhak untuk menilai. Di sisi lain, saya juga berhak untuk menikmati apa yang saya inginkan. Oh, PD sekali ada yang mau menilai. Dan oh, egois sekali mau melakukan apa saja padahal terikat jabatan dan tanggungjawab.

Alasan yang cukup berani untuk membuat saya mangir dari dua acara besar organisasi adalah pilihan. Tidak semua hal di dunia ini terjadi dua kali. Kadang apa yang kita lewati tak akan sama rasanya jika hal itu terjadi sekali lagi. Dan hidup itu tentang pilihan. Untuk liburan semester ganjil ini saya memilih untuk having quality time with family and friends karena selama masa perkuliahan saya sangat jarang diam di rumah. Entah sibuk nugas, entah sibuk rapat, entah sibuk main, entah sibuk kerja. Terlebih, saya rindu dengan kawan-kawan SMA. Notabene, saya jarang main dengan mereka yang  masih kuliah di kota yang sama meski jarak kita sangat dekat. Tapi jarak yang dekat sama saja nihil ketika waktu yang tidak diluangkan. Saya sudah meluangkan banyak waktu untuk organisasi dan hal-hal lainnya. Saya perlu untuk mencharge diri dengan bertemu kawan lama dan menghangatkan hati yang hampir membeku.

Kemarin hingga siang tadi acara kemah berlangsung. Saya melewatinya. Beberapa hari yang lalu, berbagai rapat tidak saya hadiri. Tidak ada alasan muluk atas ketidakhadiran saya, hanya hal-hal sepele yang mungkin bagi beberapa dari mereka harusnya bisa dikesampingkan. Misalnya, meet up dengan teman-teman, atau hang out dengan teman-teman, atau merayakan hari lahir adik. Saya, jujur saja, tidak merasa terlalu rugi melewatkan acara besar organisasi dibandingkan dengan melewatkan waktu untuk meet up dan hang out dan having quality time. Acara besar organisasi sifatnya tahunan, dan meskipun bertemu kawan lama pun tahunan, tentu saja rasa yang ada tidak akan pernah sama. Oke, keduanya pada kali lain tidak akan sama rasanya, tapi kata hati saya memilih keluarga dan teman.

Organisasi, meskipun bisa memenuhi resume dan CV saya kelak, tentu tidak akan ada artinya jika hati ini tidak merestuinya. Diingatkan lagi, saya impulsive. Dan kalau ditanya menyesal atau tidak karena tidak ikut kemah dies natalis organisasi, saya akan menggeleng dan tersenyum sambil mengatakan tidak. Karena kenangan yang dapatkan lebih mahal harganya ketimbang penyesalan. Karena mengikuti kata hati sangat jarang membuat saya menyesal. Dan menurut logika, saya seharusnya mengutamakan tanggungjawab. Tapi sayangnya, logika seringkali membuat saya kecewa. Tak heran apabila saya sangat manut pada kata hati.

Yang terlewati pada organisasi tentu tidak membuat saya menyesal. Tapi saya tidak akan menyalahkan mereka yang kecewa akan kinerja saya. Maka, saya mohon maaf.

Lagipula, semakin lama kadang hal-hal yang akrab bisa saja menjelma jadi sesuatu yang asing. Begitulah atmosfir Pena Kampus bagi saya. Semuanya terasa menjauh dan asing. Atau sayakah yang mejauhkan diri dan mengasingkan diri? Atau sayakah yang tak bisa berjalan dengan kecepatan kawan-kawan Pena? Apakah saya terlalu lamban atau cepat? Ataukah saya sudah menemukan jalan dan kecepatan sendiri? Entahlah.

Saya, sejak lama bukanlah orang yang mau repot-repot mengurusi urusan politik, apalagi orang lain yang sama sekali tidak berkaitan dengan saya. Nasionalis? Patriotis? Demokratis? Tidak ketiga-tiganya. Nilai Pancasila dan Kewarganegaraan pun C. Saya ini liberalis, berjiwa liar dan tak pernah ingin terikat. Awalnya, saya merasa Pena bisa “menampung” orang seperti saya. Tapi lama-lama, saya jengah sendiri dengan ideologi yang dibicarakan di sekret sana. Bolak-balik mengenai kritisisme, politik, nasionalisme, dan patriotisme. Dan, saya seperti terkungkung dalam kotak bersisikan hal-hal itu. Ibarat bentuk, saya mungkin lingkaran di antara segitiga yang digunting paksa menjadi segitiga. Tapi saya segera memisahkan diri, mengembalikan bentuk semula saya, dan mungkin akan kembali lagi…

Yang terlewatkan? Acara pengukuhan anggota baru angkatan XVI dan dies natalis ke-19. Tapi itu semua sepadan. Jika disuruh merelakan qtime dengan teman-teman dan hari lahir adik, saya memilih yang sudah saya lewatkan. Berhubung waktu tidak bisa berputar seperti nasib, saya memilih untuk melewatkan hal lain demi hal lainnya.

-
Tentang dualitas, tentu saja ada suara dalam kepala yang terus memaki keegoisan saya melewatkan hal-hal tersebut. Tapi apa yang hati saya katakana jauh lebih menyejukkan. Jika orang bilang saya orang yang menyebalkan dan rewel karena tak mengikuti apa mau mereka, maka saya akan berkali-kali lipat menyesal jika tak menuruti kata hati saya. Whatever people say, just keep listen to your heart. It will lead you to what they call happiness.

Comments