The War Inside
Kembali lagi setelah sangat lama menghilang. Besok sudah
mulai kuliah, semester 6. Tinggal beberapa langkah lagi akan lulus. Setelah
lulus akan apa? Berkeliaran ke sana ke mari menyetor resume dan mengharap
undangan wawancara? Lebih baik membuka usaha.
Jujur saja, beberapa hari terakhir setelah perjalanan
singkat padat yang menyenangkan di Bali, saya merasa tertekan. Dari luar dan
dari dalam. Saya mungkin belum mencoba untuk menyembuhkan diri, tapi saya lebih
butuh teman. Dan teman yang sejak dua tahun lalu mau menjadi sandaran saya
terasa agak berubah lelah. Sebisa mungkin saya tidak akan menyalahkan siapa-siapa.
Saya masih mencoba untuk mulai mengkaji diri.
Ternyata saya orang yang sangat buruk! Saya jadi kasihan
pada diri sendiri. Saya ingin menjadi orang yang terbuka; senang di saat
senang, sedih di saat sedih, marah di saat marah, simpati di saat orang
berduka, dan segala macam emosi yang pada tempatnya. Kenapa terasa susah
sekali? X_X
Ketika saya mencoba untuk merasa senang di saat saya seharusnya merasa demikian, saya merasa tidak pas. Tak jarang saya akan menangis ketika marah atau kesal, bukankah menangis itu ketika sedih? Selanjutnya, ketika sedih saya cenderung marah pada diri sendiri. Saya merasa aneh dan linglung. Saya tentu yakin bahwa ada yang salah dari sistem dalam diri saya.
Teman. Ya, saya punya teman. Dua orang yang begitu hampir
mengenal saya secara keseluruhan. Tapi rupanya saya telah membuat jarak dengan
mereka. Ya, mereka. Yang satu karena kebebalan saya. Yang satu lagi karena
ke-tidak acuh-an saya. Tapi di balik semua itu saya benar-benar butuh kawan.
Mungkin seperti pecandu butuh obat.
Saya sebisa mungkin mulai untuk menyetel ulang mindset
dan heartset saya. Sayangnya dalam hal itu saya kurang bebal. Ya,
kebebalan saya salah tempat. Saya merasa kurang dukungan. Tapi sesungguhnya
saya yang belum mendukung diri saya sendiri. Dan saya bingung babgaimana harus
mendukung diri sendiri. Jiwa saya seperti terpisah-pisah, mungkin seperti horcrux-horcrux
yang Voldemort buat. Jadi nampaknya saya harus menyatukan jiwa-jiwa dulu
baru mendukung diri.
Sejak lebih dari satu setengah bulan saya tidak pernah
menampakkan batang hidung di sekretariat LPM Pena Kampus. Sebagai sekretaris
umum, tentunya sangat tidak patut jika terus absen selama itu, bukan? Ya, hati
saya memahaminya. Tapi juga, hati saya enggan menyambangi sekret. Tidak nyaman
lagi, katanya. Sembari tidak ke sana, saya berusaha mencari kenyamanan.
Saya merasa tersesat di padang ilalang pada malam gulita.
Tak tahu harus melangkah ke kiri atau kanan. Takut untuk maju atau mundur.
Sepertinya sekarang saya sedang duduk memeluk lutut sambil menengadah menatap
langit, berharap petunjuk rasi bintang. Saya ingin menangis, tapi tak guna.
Saya lalu marah pada diri sendiri, tapi toh itu belum mengubah apa-apa.
Saya butuh kawan.
Mungkin kawan yang saya butuhkan sedang bosan dengan tingkah
bebal saya. Mereka yang bisa saja duduk di samping saya, hanya menatap dari
jauh, memberi masukan dalam teriakan. Mereka yang bisa saja merangkul hanya
membiarkan angin dingin membalut pundak dan punggung saya. Entahlah apa dan
bagaimana. Saya terus merasa sepi. Hampa? Seperti yang orang sering bilang.
Mungkin seperti ini rasanya kehampaan. Saya jadi nelangsa.
Oke, mungkin saya terlalu melankoli. Tapi saya sedang
mencoba untuk jujur pada diri sendiri, mengungkapkan apa yang dirasa. Maaf saja
kalau yang membaca jadi kesal. Inilah pengobatan pertama yang saya bisa
lakukan, menulis; mengeluarkan hampir semuanya.
Tapi itu baru sebagian.
Comments
Post a Comment