Ink Heart

Halohai! Saya pengen cerita sedikit tentang bagaimana (mungkin benar bahwa) semesta ikut berkonspirasi dalam mewujudkan apa yang kita pikirkan. Ya, banyak dari kalian pasti pernah merasakan beberapa kebetulan yang tentu saja bukan hanya kebetulan biasa, sebagaimana tidak ada kebetulan yang memang kebetulan, kan. Misalnya… ingin masuk universitas A, lalu menuliskannya di tembok kamar yang ketika terbangun atau hendak tidur langsung terlihat. Yap! Usaha mensugesti diri seperti itu terus saja booming karena banyak yang sudah merasakan kemanjurannya. Menurut saya, itu adalah cabang dari berkonspirasi dengan semesta.

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk membangun chemistry dengan semesta supaya bisa berkonspirasi dengannya. Umumnya orang menulis. Yap! Menulis to-to list misalnya. Lainnya, menulis susunan jadwal, rentetan mimpi yang ingin dicapai, dan sejenisnya. Saya pernah mencoba kesemua yang saya sebut tadi. Tapi berhubung saya orang yang kelewat fleksibel alias mudah berubah mood, maka saya kurang patuh pada apa yang saya tulis. But still, my dreams are my dreams which I want to achieve.

Kemudian akhirnya saya pun menemukan bagaimana saya akan berkonspirasi dengan semesta. Hal itu pun kadang membuat saya percaya-tidak-percaya. Saya beranggapan bahwa saya bisa berkonspirasi dengan semesta melalui tulisan, baik fiksi maupun non-fiksi. Tetapi lebih seringnya konspirasi berjalan baik ketika saya menulis autobiografi (tulisan fiksi yang banyak dipengaruhi oleh kisah nyata).

Hal itu saya sadari setelah sekian lama, tentu saja. Pada beberapa tahun kemarin, mungkin jaman SMP atau SMA, saya sering menulis novel picisan di mana ceritanya tentu saja cewek dan cowok; ceweknya tomboy, punya sahabat cowok, kemudian si cowok naksir si cewek, tapi si cewek maunya temenan aja, sampe akhirnya si cewek memang lebih nyaman sama sahabat cowoknya, tapi tetap saja dia ingin mencari pelengkap perasaannya dengan berhubungan pula dengan cowok lain. Klasik sekali, bukan? Alur yang seperti itu, percaya-tidak-percaya, hampir saya alami. Hampir maksudnya tidak sepersis itu, tapi secara umum seperti itu. “Kebetulan” itu pun terjadi setelah beberapa tahun. Saya baru menyadarinya belakangan ini.

Ketika saya berkelakar dengan Zombie mengenai hal itu, dia bilang, “Ink heart.”

Menurut penuturan Zombie, ink heart itu adalah keadaan di mana seseorang menulis dengan hatinya. Menurut penafsiran saya, ya, seperti curhat begitu. Nah, Zombie melanjutkan kalau penulis itu terbawa suasana hatinya ketika menulis sehingga tidak sengaja (ini lanjutannya hasil penafsiran yang saya pahami) si penulis memberi jiwa pada tulisannya. Semacam horcrux gitu, ya…
Untuk yang lebih absahnya belum saya cari artikel terkait.

Enak juga jadi orang yang “termasuk” ink heart ini. Rasanya mudah kalau mau apa-apa tinggal tulis. Tapi tidak sesederhana itu! Saya memang suka menulis, apapun. Mulai dari puisi (tentu saja sangat amatir), cerpen, cerpan, novella, esai, curhatan, quotes sok bijak,  dan sebagainya, bahkan saya punya juga kesukaan menulis data tokoh, mulai dari nama, nama lengkap, email, akun social media, dan lainnya. Dan, boleh percaya boleh tidak, saya hanya benar-benar duduk menulis menuntaskan sebuah tulisan dalam satu duduk hanya ketika saya sedang mood dan “berperasaan”. Kalau orang awam lihat, saya bukan penulis yang produktif. Tapi kalau yang saya lihat adalah saya menulis pakai hati. Hehehe.

Begini, saya akan benar-benar menulis ketika ada hal yang mengganjal hati. Biar itu emosi marah, jatuh cinta, ataupun sedih. Tulisannya bisa dalam bentuk apa saja, salah satu dari yang saya sebut tadi. Sekarang sekarang ini saya enggan menulis secara eksplisit, lebih suka implisit. Mungkin karena saya agak introvert, jadi tidak nyaman untuk terbuka. Dan beberapa lebih banyak dalam bentuk cerita. Ta-da! Setelah menulis, saya membiarkan tulisan itu. Beberapa waktu kemudian saya membacanya lagi dan merasa agak lega. Namun juga takut-takut, “Kapan cerita ini akan menjadi nyata?”

Suatu hari, saya memberanikan diri untuk akhirnya menulis cerita dengan tema yang benar-benar mendesak saya untuk menulis. Saking lelahnya memendam. Awalnya takut mau menulis tema itu, takutnya yang saya tulis kejadian. Saya merasa belum siap kalau harus menghadapi situasi dalam cerita saya nanti. Tapi saya memberanikan diri.

Saya terus menulis seperti air mengalir. Seperti angin sepoi berlalu. Sampai pada klimaks, saya merancang endingnya. Bingung. Mau kasih ending bagaimana. Terlalu ekstrim, saya takut. Terlalu biasa, saya tidak puas. Ujung-ujungnya saya mengambil jalan tengah; ektstrim tapi emosinya biasa.

Memang lega. Seperti pipis setelah menahan pipis dalam perjalanan panjang. Setelahnya, saya deg-degan menunggu konspirasinya dengan semesta.

Beberapa waktu berlalu. Saya memberanikan diri membacanya. Oke, saya merasa siap.

Kira-kira dua hari kemudian, terjadilah.

Saya tak terlalu terkejut atau apa. Saya merasakan bahwa dengan menulis, saya sedang menstimulasi diri saya akan apa yang kiranya bakal terjadi. Saya ternyata sudah latihan mengolah emosi sembari menulis. Karena dalam cerita, biasanya saya akan menggunakan sudut pandang orang pertama. Mau tak mau, saya menguras imaji membayangkan jika saya dalam keadaan yang sedang saya tulis. Yap, saya suka menulis senyata mungkin. Tentu nyata dalam standar saya, hahaha.

Di luar menulis, biasanya saya mengobati emosi dengan melampiaskannya pada orang yang mau. Tentu saja menyenangkan kalau ada orang yang rela mendengarkan cerita kita, yang mau diam menyaksikan kita menangis, atau yang mau menjadi “samsak”. Tentu, tentu. Sebelum mengolah emosi sendirian ketika menulis, saya sudah menterapikan diri dengan orang yang pas. Yap. Zombie itu, siapa lagi. Hahaha :D Kadang juga satu lagi sahabat.

Bicara tentang ink heart lagi, sebagai orang yang seperti itu, saya tentu kadang merasa gemas pada diri sendiri. Ingin menghasilkan tulisan, tapi tak bisa jalan kalau hati sedang tidak suntuk. Tentu saya ingin menjadi seorang penulis, tapi rupanya saya bukan tipe penulis yang suka mengambil inspirasi dari luar. Kelihatan apatis, deh. Tapi begitu nyamannya.

Sebagai ink heart, menulis memang hal yang menyenangkan. Tapi hal yang menyenangkan itu tidak bisa sering dilakukan, harus menunggu hati yang mau melakukannya. Selain itu  juga harus hati-hati, seperti menjaga omongan, alur dan kejadian dalam cerita harus dipikirkan matang-matang. Siapa yang tau kapan yang kita tulis akan menjelma nyata, kan? Menulis jadi tidak murni sebagai hal yang menyenangkan, tapi juga jadi hal yang agak risky. Kecuali kalau saya sedang butuh “jalan-jalan”, saya hanya akan membuat cerita picisan yang teenlit banget dan tentu membuat senyum-senyum, hahaha.


Sekian. Semoga bermanfaat! (^,^)v

Comments