Pertanyaan: Kenapa menjadi guru?
Malam ini akhirnya sempat juga untuk nulis
curhatan (hahaha). Setelah malam-malam lainnya tepar kecapekan karena masih
dalam tahap beradaptasi dengan ritme kehidupan yang baru (ciye…). Jadi,
ditemani dengan secangkir kopi manis yang sudah dingin, saya mau berbagi cerita
untuk diri saya di masa depan.
Sedikit melenceng dari topik, saya mau curcol
tentang secangkir kopi dengan rasa terburuk yang pernah saya buat dan yang
pernah saya minum. Ceritanya berawal pada suatu Kamis sore. Saya dan teman
sudah janjian untuk pergi menjadi ATK ba’da Ashar. Tapi dia pergi ke dokter
hewan dulu nganter kucingnya yang sakit, dan nganter ibunya ke acara keluarga.
Saya agak kesal dan gimana gitu menunggu kepastiannya (yah, namanya juga cewek,
suka nyari-nyari kepastian). Akhirnya kepastiannya adalah ba’da Maghrib. Untuk
meredam rasa kesal, saya memutuskan untuk berobat dengan secangkir kopi yang
biasanya ampuh. Tapi eh ternyata… kopi sore itu, asli, nggak enak! Biasanya
saya selalu kagum dengan kopi racikan sendiri, tapi sore itu… ugh, mungkin kalo
orang sebut air got, begitu rasanya. Airnya gak keruan panas apa enggak.
Kopinya gak keruan pait apa manis. Pokoknya bikin mual! Tapi nggak mungkin saya
tega menyuruh orang lain minum kopi rasa air got itu. Saya paksa aja diri ini
untuk nelen itu kopi dalam porsi besar. Benar-benar kopi terburuk yang pernah
saya bikin dan yang saya minum! Sempat vakum minum kopi walau pengen juga, dan
akhirnya malem ini ngopi lagi. *cheers*
Back to the topic!
Jadi, sebagai mahasiswa FKIP yang udah
memasuki semester 7, saya pun harus mengambil mata kuliah PPL (Program Praktek
Lapangan). Alhamdulillah, saya dapet di SMA (katanya SMP jauh lebih bengal, dan
menurut cerita teman-teman yang dapet di SMP sih bener). Bukan sekolah favorit,
bukan sekolah yang pernah terlintas dalam pikiran saya untuk ditempatkan di sana.
Tapi, yah, Tuhan tau mana yang terbaik untuk hamba-Nya.
Suatu pagi, saya masuk ke kelas yang agak
ujung, kelas XI IPS 2. Keadaan kelasnya lumayan berantakan, siswanya cuma
setengah yang berada di kelas, sisanya keluyuran di luar. Akhirnya, karena
datang bersama guru pamong, mereka pun bisa lengkap dalam waktu yang cukup
singkat.
Perkenalan pun saya mulai. Gugup? Iya. Saya
hanya menyampaikan identitas sederhana: nama, TTL, dan tempat tinggal. Kemudian
diikuti dengan pertanyaan kepo nan nyeleneh dari siswa yang saya ladeni dengan
nyeleneh pula.
Saya lupa tepatnya kapan, yang jelas di kelas
itulah kejadiannya. Mungkin ketika saya tengah mulai menyampaikan materi namun
kemudian sebagian kelas tidak memperhatikan. Saya yang mudah berubah mood
pun jadi malas mengajar kelas yang tak ingin diajar. Materi pun jalan setengah.
Saya masih mencoba untuk mengikuti ritme belajar dan masih mempelajari karakter
mereka. Maka, saya pun coba untuk mengobrol dengan mereka yang sudah asyik
mengobrol.
Pada dua siswi yang duduk di depan, saya
berhenti dan mencoba mencari tau tentang keadaan kelas mereka. Salah satunya,
Isnaeniwati, bertanya dalam bahasa Sasak, “Bu, kembe side jari guru, bu?
Lelah side. Dendeq wah jari guru, bu.” (Bu, kenapa ibu menjadi guru? Jadi
guru kan capek. Nggak usah jadi guru deh.”
Seketika saya bingung juga mau menjawab
karena sedari awalnya saya tidak pernah terpikirkan untuk menjadi seorang guru.
Dulu, ketika masih menjadi murid SD, saya pengen jadi guru TK karena bisa main
sama anak-anak. Eh, taunya saya bukan orang yang cukup sabar menghadapi anak
kecil. Cita-cita itu pun tercoret dari daftar.
Kelas 3 SMA, saat-saat paling genting dalam
fase kehidupan remaja awal, saya harus memikirkan matang-matang akan
melanjutkan pendidikan ke arah mana. Harus benar-benar supaya sekali jalan,
sekali kerja, dan jadi. Maksudnya, missal, kalo pengen jadi psikolog, ya
sekolah psikologi, jangan sekolah geografi. Dan dimulailah pencarian jati diri
yang sesungguhnya…
Fix! Saya nggak
mau jadi guru! Nggak mau dapet gelar Sarjana Pendidikan alias S.Pd. Saya tertarik
pada astronomi, arsitektur, dan sastra, serta sebagai cadangan, ya, ekonomi
manajemen. Tapi saya sadar diri, setelah UN, saya agak alergi dan fobia
terhadap ilmu MIPA. Oke, astronomi dan arsitektur saya coret. Sisa sastra dan
ekonomi. Tapi lagi, sebagai lulusan kelas IPA, saya merasa tidak punya dasar
apa-apa untuk menjadi anak ekonomi. Jadi, pilihan terakhir itu hanya menjadi
bayangan saja. Yang tersisa hanyalah sastra. Saya merasa akan sangat keren
kalau di belakang nama saya ada gelar Sarjana Sastra alias S.Sas. Wew…
Tibalah musim SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri) alias bukaan masuk universitas melalui jalur undangan.
Banyak aturan sederhana, tapi saya agak gagal paham sehingga salah memasukkan
pilihan jurusan yang berakibat pada ketidaklulusan.
Gagal SNMPTN, masih ada SBMPTN. Di sana pun
saya agak gagal paham. Salah ambil jenis tes, dan akhirnya gagal.
Jalan terakhir untuk masuk universitas negeri
di Lombok, di Mataram, adalah jalur mandiri. Saya tidak diikhlaskan untuk kuliah
ke luar daerah dan jadi anak rantau, mungkin ibuk terlalu membutuhkan ojeknya
(hehe). Pilihan yang sulit untuk mengerucutkan pilihan yang banyak dan luas
kemarin menjadi pilihan spesifik, serius, dan terbatas.
Melihat daftar jurusan yang ada di Universitas
Mataram (Unram) membuat saya kecewa. Tidak ada jurusan sastra –sastra Inggris,
hanya ada Sastra Indonesia (kalau tidak salah ingat). Satu-satunya jurusan yang
ada Bahasa Inggris-nya adalah Pendidikan Bahasa Inggris. Dan… saya mencentang
jurusan itu hanya karena itulah jurusan yang paling mendekati jurusan yang saya
minati. Yap, tanpa mencaritau lebih banyak tentang jurusan itu.
Lucu sekali mengenang momen itu. Saya tau
kalau jurusan itu ada di FKIP (saya belum tau kepanjangannya, lho, waktu itu). Ya
sudah, saya berharap dapat tempat tes di FKIP. Sehari sebelum tes, benar saja
saya dapat tempat tes di sana, saya dan teman-teman hunting tempat tes
supaya keesokan harinya tidak tersesat.
Saya ingat, agak sulit mencari FKIP dari
jalur yang biasa saya lewati bersama teman-teman. Tapi akhirnya ketemu juga.
Tulisan FKIP tertempel jelas di depan gedung utamanya.
Saya tes. Tanpa belajar. Tesnya lebih mudah
dari tes SBMPTN, tentu. Dan yang paling banyak saya jawab adalah bagian Bahasa
Inggris-nya. Dari situ, saya optimis lulus.
Plop! Saya
lulus sebagai mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP).
Waktu pun berlalu sedemikian rupa. Dari tidak
tau menjadi tau, saya pun kemudian menyadari bahwa saya adalah calon Sarjana
Pendidikan –Calon . Well, saya agak merasa oon dan tertipu
seketika ketika mengetahui hal itu. Jurusan yang sangat saya hindari, profesi
yang sangat saya tidak inginkan, tapi ternyata saya adalah calon, kandidat, dan
apalah lagi namanya, untuk itu, sesuatu yang sangat saya hindari. Ternyata
Tuhan punya rencana lain. Semesta agak menipu saya. Ah…
Kuliah pun saya jalani dengan mencoba ikhlas
dan menerima kenyataan tersebut. Semester 1, 2, dan 3. Untuk pertama kalinya
saya tidak menyesal telah memilih jurusan ini adalah ketika tiba di semester 3.
Kenapa? Karena ada mata kuliah Introduction to Literature.
Tentang ini sudah pernah saya ceritakan di (link to postingan lama).
Langsung saja. Setelah flashback sedemikan
hingga, saya harus mengakui bahwa Tuhan memang tau yang terbaik bagi hamba-Nya.
FYI, dulu,
semasih kecil usia SD, menurut penuturan ibu dan uwa (sama dengan bude) saya,
saya suka main guru-guruan dengan teman-teman main saya. Saya selalu mau jadi
guru yang mengajari murid-murid. Rupanya memang begitulah, ya… Kita ini manusia
yang terlahir dalam keadaan lupa segala. Tugas kita dalam kehidupan, ya,
mengingat lagi apa yang kita lupakan itu. (Pernah saya baca di mana, ya?)
Kembali ke pertanyaan Isna –nama
panggilannya– tadi, “Kenapa saya menjadi guru?”
Sepanjang hari setelah hari itu saya terus
berusaha memikirkan jawabannya. Sekalian refleksi diri supaya bisa fokus dan
serius dalam membentuk diri. Waktu itu saya memberi Isna jawaban yang nyeleneh,
“Nah, nggak tau juga, ya kenapa. Saya ini tersesat, ha ha ha.”
Sejujurnya, setelah keluar dari kelas XI IPS
2 itu saya memikirkan jawaban yang sesungguhnya. Benar-benar mencari jawaban.
Di perjalanan ke sekolah, saya mulai bicara sendiri, berdiskusi dengan diri
saya tentang jawaban itu. Saya rasa Isna adalah media yang dipilih Tuhan untuk
membantu saya mengingat apa yang saya lupakan. Mengapa saya menjadi guru?
Pada suatu pagi, akhirnya saya sampai pada
kesimpulan bahwa: saya suka mengajar. Bukan jawaban yang tepat
sinkron memang, tapi dari situlah jawaban dan keyakinan saya akan “menjadi
guru” ini berkembang.
Menjadi guru bukan hanya sekedar
menyampaikan materi dan berharap siswa akan mengerti total, akan mendapat nilai
sempurna dalam ujian, dan lain-lain. Menjadi guru, menjadi seorang yang patut
untuk digugu dan ditiru, bukanlah hal yang mudah. Benar, kualitas guru akan
menentukan kualitas sebuah bangsa. Karena gurulah yang akan membentuk siswanya
–para generasi penerus bangsa. Analoginya sederhana, jika tanah liat dibentuk
dengan baik dan teliti, hasilnya adalah gerabah yang cantik dan kuat.
Menjadi guru bukan hanya sekedar
membentak siswanya agar diam ketika ribut di kelas. Menjadi guru adalah
bagaimana mampu memahami siswanya. Tentu dalan satu kelas tidak hanya ada
seorang siswa saja, kan. Itulah, tugas guru lebih dari sekedar mengajar. Siswa
satu dengan yang lain tidak bisa digeneralisasikan menjadi satu karakter
kesimpulan. Guru harus mengerti mau, pola belajar, dan kemampuan siswanya.
Menjadi guru tidak sesederhana kata “guru” tanpa makna.
Menjadi
guru adalah tugas yang cukup berat; memanusiakan manusia, sebagaimana
prinsip teori humanistik. Teori yang sejak awal saya mengenalnya adalah teori
yang paling saya akui.
Menjawab pertanyaan Isna, walau terlambat,
yah… saya menjadi guru karena (1) saya suka mengajar, (2) saya suka
berinteraksi dan mencoba memahami karakter siswa dengan segala perbedaan
mereka, (3) saya ingin membuktikan bahwa guru mampu memanusiakan manusia, dan
bukan hanya sekedar mengajar demi supaya muridnya mampu menjawab ujian di
sekolah.
–Sebagaimana manusia terlahir lupa segala,
saya menulis ini pun dalam keadaan lupa. Lupa akan alasan tepatnya yang sudah
saya temukan. Tapi kurang-lebihnya, penjabaran di atas adalah garis besar dari
jawaban atas pertanyaan salah seorang siswi di kelas XI IPS 2.
Demikian. Saya yakin akan ada lagi tulisan
yang akan mengikuti tulisan ini dalam topik yang sama.
Untuk diri saya di masa depan, ketika
nantinya saya benar-benar menjadi seorang pendidik, seharusnya saya masih
berprinsip sama dengan diri saya yang sekarang ini.
Sekian.
Salam,
(Calon) Guru J
Wiiih.... Sepertinya saya harus re-check dan re-charge niat awal saya masuk FKIP. Sering kebayang kalau besok pas PPL, ngerasa bersalah kalau ndak bisa ngajarin yg bener..
ReplyDeleteDitunggu kisah seru di sekolahnya...
Good luck Kak Amira...
Hehehe Makasih, Wazi :D
DeleteSemangat! Jangan terlalu dipikirin, nanti pineng. Jangan terlalu idealis juga, nanti pineng. Realistis saja... Realistis berprinsip dan berkomitmen (?) hehe
Wokehlah. Realistis! Baiklah kalau pendahulu sudah bilang begitu.
Deletehehe..
Dulu saya PPL di SMP. Anak-anaknya gampang diatur sih, tapi kehidupan mereka penuh drama. Drama percintaan dan persahabatannya bener-bener alay, hahaha.
ReplyDeleteSemoga Mia bisa jadi guru yang mampu mencerdaskan anak bangsa (eaaa). Jangan kayak saya yang dari kecil selalu ngejawab "guru" tiap ditanya cita-citanya apa, tapi setelah lulus kuliah malah nggak jadi guru, wkwk.
:D Aamiin... Aamiin...
DeleteItu ngetiknya pas lagi waras banget, mbak x_x
Semoga istiqomah.
Jadi guru bukan tujuan akhir saya setelah lulus FKIP :v Tapi kalo disuruh ngajar, ya, suka. Toh ujung-ujungnya kita jadi guru juga, kan, mbak... untuk anak-anak kita nanti (eaa)