Renungan Mahasiswa Semester Akhir
Sekarang sudah hampir 4 tahun saya bergelut dengan dunia yang penuh
pergolakan bernama kuliah. Dunia yang pelik karena sudah mulai terkontaminasi
dengan urusan bermasyarakat. Dunia yang pelik karena dihadapkan dengan perpolitikan
birokrasi yang mengaduk-aduk mahasiswa sebagai bahan percobaan berbagai
kebijakan. Dunia yang membingungkan karena begitu banyak pilihan terhampar
namun belum bisa memilih dengan tepat. Dan perkuliahan adalah dunia yang ribet
level satu.
Sebelumnya saya
pernah menulis bahwa saya tidak pernah bermimpi untuk menjadi seorang calon
guru sejak usia SMP. Tapi apa yang terjadi adalah saya ini calon guru
yangmengemban pendidikan di kampus FKIP (Fakultas KeGURUan dan Ilmu
Pendidikan). Pada awal-awal semester saya tentu merasakan yang namanya sindrom
salah jurusan (SSJ). SIndrom yang biasa dialami oleh mahasiswa baru yang ketika
berhadapan dengan mata kuliah dan proses perkuliahan menemukan fakta bahwa
ekspektasi tidak sesuai realita. Saya pun demikian.
Dalam bayangan
saya, jurusan Pendidikan Bahasa Inggris ini akan memberikan pelajaran-pelajaran
Bahasa Inggris yang lebih sulit dari pelajaran-pelajaran ketika SMP ataupun
SMA. Namun, yang saya dapati malah pelajaran Bahasa Inggris yang sangat dasar
(baca: mudah sekali). Saya pun mulai terjangkiti gejala SSJ. Lalu berlanjut
dengan mata kuliah umum, yakni KWN, Pancasila, KWU, Bahasa Indonesia, dan
lain-lain (lupa dan malas mengingat). Mata kuliah seperti itu tentunya sangat
membosankan dan saya tidak menemukan apa yang bisa saya dapat dari mata kuliah
itu.
Nah, baru pada
semester 3 saya mulai merasa bahagia dan terobati. Mata kuliah Intro to
Literature menjadai penyejuk hati. Saya yang hobi menulis ini tertarik pada
sastra, supaya jago nulisnya, kan. Sayangnya gagal mendalami ilmu sastra (baca:
masuk jurusan sastra) karena satu dan lain hal. Otomatis, dengan adanya mata
kuliah itu saya pun bisa bersemangat kuliah. Dan mata kuliah sastra terus
berlanjut hingga semester 5.
Sekarang saya
sudah memasuki semester akhir sebagai mahasiswa yang ingin segera lulus.
Idealnya orang kuliah 4 tahun dan menempuh 8 semester, kan? Nah, saya ini sudah
di depan gerbang semester 8 dan sedang berkutat dengan pusingnya menyusun
makalah akhir kuliah alias skripsi. KAlau dulu saya memandang skripsi ini
sebagai hal yang menakutkan, ternyata setelah dikerjakan sendiri, ternyata
skripsi hanyalah makalah yang harus ditulis dan diteliti sendiri. Sumbernya
kita sendiri. Makalah mandiri, mungkin begitu. Tidak sulit, namun melawan rasa malas
dan ingin menunda-nunda itu yang lebih menyeramkan daripada skripsi itu
sendiri. Tapi semua kmebali pada perspektif masing-masing, ya. Tergantung sudut
pandang saja, kalau skripsi dianggap mudah, ya skripsinya akan mudah, dan
sebaliknya. Asal jangan terlena karena
tidak ada tenggat waktunya…. (mengingatkan diri).
Semester akhir
ini merupakan semester perenungan. TIdak ada mata kuliah lain selain KKN dan
skripsi. Tidak ada alasan untuk berlama-lama mengendapkan file skripsi di
laptop. Saya awalnya berpikir, untuk apa repot-repot kuliah 4 tahun kalau
ujung-ujungnya hanya buat skripsi yang hanya boleh mengangkat satu cabang
jurusan saja?
Tapi itu
pemikiran saya yang masih kekanakan. Sekarang, setelah bermonolog-ria, saya pun
sampai pada pemikiran yang berbeda, yang membuat saya bersyukur dan makin sadar
kalau pilihan Tuhan itu tidak pernah keliru untuk menakdikan saya menjadi
mahasiswa di FKIP.
Setelah kilas
balik, ternyata menjadi mahasiswa FKIP jurusan Bahasa Inggris memberikan
hal-hal yang saya inginkan. Tuhan tau saya banyak mau. Dulu saya hendak
mengambil jurusan ilmu komunikasi, psikologi, sosiologi, sastra Inggris, dan
sebagainya. Eh, ternyata nyangkutnya di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.
Tuhan memang
Maha Mengetahui. Tuhan tau saya mungkin
tidak akan betah mendalami satu ilmu saja kalau masuk jurusan-jurusan yang
gagal saya dapatkan itu. Jadilah saya berjodoh dengan jurusan yang sekarang
hendak saya selesaikan ini. Ya! Saya bisa mempelajari semua lapisan ilmu yang
ingin saya pelajari di jurusan saya sekarang ini. Saya dapat belajar Bahasa
Inggris lebih banyak. Saya pun dapat mencicipi rasanya belajar sastra.
Kemudian, psikologi pun nyangkut sedikit karena sebagai seorang guru kita
diharuskan untuk memahami siswa-siswa dengan berbagai karakter. Kemudian, untuk
masalah komunikasi pun saya dapatkan ketika terjun PPL (Praktek Pengalaman
Lapangan), di mana seorang guru harus bisa supel dan berkomunikasi dengan baik
dengan berbagai jenis dan tipe manusia.\
Mantap, bukan?
Setelah
menyadari itu semua, saya merasa semakin semangat untuk bersyukur karena telah
ditakdirkan masuk jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Saat ini saya mulai berani
menerima tawaran mengajar privat dalam rangka memanfaatkan ilmu yang sudah
dapatkan dan tentu saja dalam usaha menjadi anak mandiri. Selain itu, saya
tetap pada obsesi awal saya, yaitu sastra. Hal itu bisa saya salurkan melalui
skripsi. Di jurusan saya, skripsi kita boleh mengambil bidang salah satu dari
sastra, linguistic, atau pendidikan. Jadi, kenapa tidak saya menjajal diri saya
dengan mengambil bidang sastra itu? Nah, obsesi saya bukan hanya itu saja, saya
pun sangat tertarik dengan psikologi. Berhubung sastra ini bisa menyelinap ke
berbagai bidang, saya pun mengambil psikologi sebagai fokus dalam menganalisis
sastra. Mantap, bukan?
Kuliah 4 tahun
bukannya tidak ada gunanya. Semua pasti ada manfaatnya. Setelah bermonolog ria,
saya mendapati bahwa saya mendapatkan banyak hal dan insyaAllah semoga bisa
mengaplikasikan semua yang saya dapat dalam kehidupan sehari-hari. Tentunya
semoga bermanfaat untuk orang banyak. Dan harus saya akui, semasa saya masih
bocah ingusan, saya sering bermain guru-guruan dengan teman-teman saja, tak
jarang juga bermain sendiri karena teman-teman saya lebih memilih bermain
daripada belajar (karena main guru-guruan kan harus ada yang menjadi murid dan
belajar xp). Apa hubungannya? Yah,
ternyata saya mendapai diri ini mendengarkan jeritan hati kecilnya untuk
menjadi seorang pengajar yang berbagi ilmu dengan orang lain alias suka
mengajar alias mau juga menjadi guru.
Perjalanan
hidup ini agak lucu. Meski pada awalnya banyak yang tidak sesuai rencana, namun
pada akhirnya, ketika kita bisa menoleh ke belakang dan meratapi jejak-jejak
langkah dan melihat ke depan, melihat apa yang bisa kita perbuat, kita bisa
bersyukur bahwa tidak ada yang sia-sia dan kita tetap bisa melakukan apa yang
kita inginkan. Terkadang kita cukup tuli untuk mendengar kata hati kita, namun
takdir selalu menuntun langkah kita untuk berjalan pada jalurnya. Di ujung
jalan, kita pun tersembuhkan dan bisa mendengar kata hati kita bersamaan dengan
kita mendapati diri kita sudah melakukan apa yang hati kita inginkan.
Sedaaaaap! (bukan merk!)
Untuk para
mahasiswa baru, jalani saja kuliah kalian. Kalau memang kalian salah jurusan, kalian
pasti akan menyerah. Tapi kalau kalian hanya mengalami SSJ, kalian pasti akan
bisa melewati lika-liku perkuliahan yang terlihat seperi neraka (agak ngeri
juga pakain kata itu). Kalau kata orang, kan, proses tidak akan mengkhianati,
jadi, ya, pahit-pahitnya tugas dan ujian tiap mata kuliah itu ditelan saja.
Semangat!
03.02.’17
Comments
Post a Comment