Sekilas Kopi dan Akarpohon

Setelah agak lama vakum mengisi blog ini, sekarang ada pula kesempatan untuk menuangkan uneg-uneg. Akhir-akhir ini saya memang kurang produktif. Banyak kesibukan sebagai orang dewasa, padahal masih berjiwa kanak-kanak, tapi kenyataan harus dihadapi. Semakin berumur, ya musti mendewasa juga lah…

Sebelumnya ada postingan tentang saya yang sudah menjadi calon anggota Komunitas Menulis Akarpohon. Nah, jauh sebelum itu, saya menelusuri cerpen-cerpen yang sudah rampung di sebuah folder. Yang menarik perhatian saya adalah: rata-rata bertemakan kopi.

Kenapa, ya? Mungkin karena kopi ini minuman multisuasana dan sangat menginspirasi. Karena saya lebih sering menulis berdasarkan pengalaman, maka, ya, tidak jauh-jauh dari apa yang biasa saya lakukan sehari-hari. Misalnya, ketika mengetik postingan ini, saya sambil menyeruput-seruput kopi panas yang pahit-manisnya pas!

Ketika mengikuti Kelas Menulis Akarpohon yang ke-sekian, sang mentor  berkomentar, “Kok tulisanmu semua tentang kopi, sih?! Mulai minggu depan, buat tulisan yang nggak ada kopinya!”

Saya hanya cekikian saja. Saya mengakuinya, dan saya belum menjabarkan opini saya mengenai kenapa selalu kopi.

Usai menyelesaikan S1 dan menjadi mantan mahasiswa #ciye, saya merasa semakin parah dalam ngopi. Seperti minum obat, dua kali sehari, pagi dan sore, mengopi. Syukurnya ibu saya tidak melarang. Bahkan, keponakan yang masih berusia 9 bulan diberi mengecap kopi oleh ibu saya! Katanya supaya jantungnya sehat dan supaya tidak step. OMG.

Pagi dan sore mengopi. Kalau tidak mengopi pagi, bingung mau minum apa yang hangat. Kalau sore tidak mengopi, bingung juga meminum apa yang berasa-rasa. Jadilah mengopi pagi sore.

Dengan bertambahnya rutinitas ini, saya pun merasa semakin berumur. Merasa tua. Kopi hitam seringkali diidentikkan dengan orang tua; bapak-bapak, nenek-nenek, kakek-kakek. Tapi sekarang, kan, sudah tidak begitu. Banyak anak muda yang nongkrong di kedai kopi, minum racikan kopi mahal. Banyak juga kedai kopi waralaba, tempat nongkrong anak-anak muda hits. Perkembangan minuman hitam pahit nikmat ini sepertinya sudah menjadi salah satu standar penentuan anak hits.

Film Filosofi Kopi pun sepertinya menginspirasi banyak pebisnis untuk membuka kedai kopi.
Itu hanya opini ngawur saya saja. Sebelum menonton film itu, sejak dulu saya punya cita-cita untuk memiliki sebuah kedai kopi. Sebelum muncul St*rb*cks di  kota tempat tinggal saya, saya sudah punya bayangan meminum kopi dari gelas kertas, efek membaca buku. Sebelum menjamur kedai kopi tongkrongan anak hits di kota tempat tinggal saya, saya sudah punya gambaran akan rupa kedai kopi saya kelak. Dengan munculnya segala hal tersebut, saya merasa parno akan diduga ikut-ikutan. Padahal tidak.

Menulis dengan kopi sebagai titik pusat yang menarik banyak hal dalam cerita bukanlah bermaksud sok gaul atau apa. Saya merasa pas saja. Tahu sendiri, kan, peminum kopi, kopi yang kita minum, yang biasa kita seduh sendiri atau diseduhkan atau beli yang instan, rasanya tak pernah sama persis! Itu dia! Itulah yang membuat kopi begitu menginspirasi untuk saya.

Jadi, ceritanya saya mau curhat kalau saya dituduh hanya menggunakan kopi sebagai center point dalam cerita saya atas dasar kopi sedang hits. Tuduhan itu pun sudah terkontaminasi oleh persepsi saya pribadi, wkwk. Begitulah, intinya hendak curhat.

Kopi dalam keseharian saya memang bukan hal yang penting-penting amat. Hanya kalau sedang pusing mumet stress, minum kopi panas. Kalau sedang tidak enak hati, minum kopi panas. Kalau eneg selesai makan mie instan, minum kopi panas. Merasa tidak enak badan usai perjalanan jauh, minum kopi panas. Merasa butuh begadang untuk mengerjakan tugas yang sudah tenggat waktu, minum kopi panas. Kalau merasa kesal dan emosi tertahan, minum kopi panas. Dan sebagainya, dan sebagainya.

Di rumah, yang aktif mengopi adalah ibu. Bapak hanya sesekali ketika ingin saja. Hal tersebut mencetuskan sebuah ide dalam otak saya yang kreatifnya kadang-kadang ini. Itu bisa jadi cerita. Kadang, gambaran laki-laki atau perempuan yang sedang minum kopi pun bisa mencetuskan sebuah ide kisah roman klise dalam benak saya. Itu pun bisa jadi cerita. Rasa kopi yang berubah-ubah mengikuti suasana hati saya ketika membuatnya pun bisa membuahkan sebuah cerita filosofis. Kerennya, filosofi kopi. Itu bukti bahwa kopi cukup murni menginspirasi saya karena banyaknya hal yang bisa tercetus sebagai sebuah ide cerita dalam benak saya.

Bukan karena kopi yang belakangan hits dan saya kemudian tertarik untuk mengkopikan semua cerpen yang saya buat. Tetapi karena, kata dospem saya: tidak perlu menarik banyak garis kalau hanya akan berujung pada satu titik, lebih baik memfokuskan diri pada satu titik di mana dari titik tersebut bisa ditarik banyak garis yang saling berkaitan (Mr. Fadjri). Seperti itulah kiranya. Dari satu titik yaitu kopi, saya berusaha melihat banyak hal dan mengaitkan banyak hal. Ibarat kopi ini sebagai teleskop. Sesuatu yang bisa membuat kita melihat hal lain dengan cara yang spesifik yang kemudian menghantarkan kita pada banyak penemuan yang mungkin sebelumnya tidak pernah terpikirkan.

Kopi kesukaan saya ada banyak. Tergantung pada suasana hati dan kebutuhan. Tapi belakangan ini saya sedang suka sekali dengan kopi hitam yang agak kental yang antara pahit-manisnya itu pas. Apalagi kalau diminum masih panas. Tapi apa daya, saya kalau minum kopi tidak bisa cepat, kecuali buru-buru. Jadi, mau tidak mau ya minum kopi dingin juga.

Kopi yang sudah mendingin itu juga nikmat. Hanya, kalau terlalu manis saya jadi kurang suka. Ibarat kekasih yang terlalu baik, seringkali diputusin #eh. Tapi saya merasa jahat kalau mencaci kopi kemanisan lalu tidak saya habiskan. Jadi, untuk menghargai si kopi (seolah kopi ini bernyawa), saya pun menyeruputnya pelan-pelan, mengulumnya, lalu meneguknya. Yah, sebagaimana minum kopi yang sesuai etika. Katanya minum kopi ada etikanya, dan kurang-lebih ya etikanya begitu.

Kadang juga nikmatnya kopi instan bikin doyan. Tapi, efek berumurnya saya, kopi instan itu rasanya terlalu ringan. Kalau sedang datang doyan minum kopi instan, ya, beli. Entah kenapa, kopi instan itu lebih cepat mendingin. Mungkin ada penjelasan ilmiahnya, ya?

Sayangnya, minum kopi itu harus mengukur diri. Sebagai orang yang mengidap maag kalau salah-salah makan dan salah waktu, akan bahaya sekali kalau minum kopi berlebihan ketika perut tidak diisi nasi. Yap, nasi.

Pernah suatu ketika, entah saya lupa makan atau tidak nafsu makan, saya semaput karena kebanyakan kafein. Mual, pusing, perut perih, dan lain-lain. Waktu itu mungkin saya salah kaprah kalau saya pusing butuh kopi, padahal pusing butuh makan nasi. Akhirnya tanpa melaporkan kesemaputan itu, saya pun memaksakan makan nasi. Hasilnya, perut pun begah karena ternyata maag. Selain itu, berangsur-angsur saya merasa baikan walau agak lama. Setelah tragedi itu, saya sempat trauma minum kopi. Sebagai tambahannya, kopi-kopi yang saya minum itu kopi pahit dan betulan pahit. Ingatan indera pengecap saya akan rasa pahit dan efek semaputnya itulah yang bikin saya trauma.

Dua-tiga hari saya sempat tidak menyentuh kopi. Pada hari berikutnya, saya merasa sangat kepingin ngopi. Mengabaikan rasa parno saya, dengan hati-hati saya pun menyeduh secangkir kopi. Saat menyeruputnya, perlahan rasa trauma saya memudar. Butuh beberapa cangkir kopi nikmat untuk menghilangkan trauma itu. Tak lupa, saya pun lebih awas terhadap pola makan dan jenis makanan yang saya konsumsi kalau sedang rajin ngopi. Akhirnya, saya pun kini sembuh dari trauma ngopi.

Cukup sekian “sekilas” curhatan kopi saya. Saya merasa Bahasa Indonesia ini sedikit kosakatanya karena saya sulit menemukan padanan kata untuk kata-kata yang sering muncul dalam postingan ini --‘’


06/08/17

Comments