What I think about job ...
*Diskusi monolog ketika hendak berangkat kerja kemarin
siang yang baru sempat ditulis keesokan paginya karena lelah dan ketiduran malamnya.
Saat ini kalau ditanya keluarga, “Kerja di mana
sekarang, Mia?” maka jawabannya adalah, “Ngajar di Bimbel, he he he.”
Terdengar lumrah, tapi agak asing di kuping sendiri.
Terlebih di hati. Kenapa? Karena saya tidak pernah serius menganggapi bahwa
kerjaan yang awalnya paruh waktu ini sekarang menjadi pekerjaan utama yang
memenuhi hari-hari dalam seminggu saya. Rasanya kurang serius saja, jika dibandingkan
dengan perkejaan teman-teman yang punya kantor (sama siih) dan
berpenampilan berbeda ketika hendak ke kantor dengan hendak main hang-out.
Sementara saya, pakaian kerja sama santainya dengan pakaian main.
Semakin saya pikirkan, semakin saya merasa pikiran
saya sudah terkena stereotype yang dibentuk oleh masyarakat: kerja itu
di kantor dan pake baju kerja. Yak! Padahal selama ini, entah pada diri yang
mana, saya selalu yakin bahwa kerja itu tidak harus di kantor dengan pakaian
kerja. Rupanya lama-lama otak saya ini ikut juga dengan arus pemikiran mainstream,
waduh!
Oke, apa itu definisi bekerja?
Begitukan? Sejauh yang saya pikirkan, ya, sesederhana
itu.
*Oke, saya baru ingat poin lainnya…
Kenapa saya merasa mengajar bukanlah pekerjaan? Ya,
karena rasanya mengajar itu seperti hal yang saya lakukan secara naluriah dan
kebetulan saya dibayar untuk itu. *Saya mencoba menjabarkan poin ini dengan baik*
Ketika mengajar, saya kadang sadar-kadang tidak, rasanya seperti lebih dari
sekedar bekerja karena saya berurusan dengan bibit-bibit manusia. DAripada
fokus mengajarkan materi pelajaran yang sudah mereka dapat di sekolah, saya
lebih tertarik untuk sambilan membaca karakter mereka dan memikirkan cara
terbaik untuk membangun karakter yang kuat, yang dengan itu nantinya mereka
akan bisa tumbuh menjadi manusia yang tangguh dan mandiri untuk kehidupan
mereka di masa depan. Saya punya beberapa siswa yang saya tangani secara
individu, dan dua kelompok belajar. Kalau disuruh memilih, tentu saya akan
memilih si individu alias privat – tentu saja karena akan lebih mudah prses
pendekatan dan pengamatan terhadap siswa, sedangkan kalau menangani kelompok
beajar agak lebih kompleks.
Kenapa saya lebih menyukai menangani siswa privat?
Tentu karena alasan di atas. Satu hal lagi, saya selalu percaya bahwa tiap anak
itu spesial dengan cara belajar dan cara pikir serta karakternya sendiri,
sehingga sebagai tutor saya merasa lebih mudah mengadaptasi diri. Di kelompok
belajar, bebannya lebih berat karena sedikit-banyak saya terpaksa melanggar
prinsip saya itu karena sistem belajar yang di mana siswa mengerjakan lembar
kerja yang mana tentu tidak semua anak cocok dengan metode seperti itu, apalagi
kalau gap mereka jauh satu sama lain. Tapi, itulah dia PR yang rasanya
belum tuntas saya kerjakan, hiks. Sedih sekali rasanya menyaksikan kelas ketika
saya yang memaksakan metode pada siswa, bukannya membuat sebuah metode yang
bisa mereka nikmati sehingga pembelajaran akan lebih optimal.
Terlepas dari spesifikasi privat/kelompok, mengajar
bukan hanya perihal penyampaian materi atau mencapai target pembelajaran bagi
saya, rasanya seperti investasi yang tidak boleh ada cela. Seperti itu karena
saya berurusan dengan entitas hidup – bernyawa dan berpikiran – sehingga kalau
salah sedikit ya memang kelihatannya bisa diperbaiki, tapi jangan sampai
keenakan. Investasi macam itu seperti tanggungjawab yang agak berat, ya.
DI tempat saya mengajar, kebetulan saya mendapat
kepercayaan mengampu materi calistung selain Bahasa Inggris yang merupakan
latar Pendidikan saya. Di kelas calistung, tentu saya benyak berinteraksi
dengan anak-anak balita, yang masih polos dan harus banyak diberi input
positif. PR besar bagi saya untuk selalu siaga dalam mengatur dan menjaga emosi
tetap stabil, memilih perkataan yang santun, bersikap yang sopan, serta
menjawab pertanyaan cerdas mereka dengan jawaban yang tidak membohongi dan
masuk di level pemahaman mereka. SUlit sekali pada awalnya, apalagi ketika ada
masalah yang muncul sebelum ada kelas. Tapi, saya selalu percaya mereka bisa
menjadi obat penawar saya, dan itulah yang terjadi. Bekerja dengan siswa
calistung ini benar-benar seperti penawar racun. Bisa dibilang kalau mereka
jadi banyak mengajarkan saya menjadi lebih manusiawi.
Kenapa mengajar? Tidak memilih pekerjaan lain?
Sejauh ini, mengajar saja belum sanggup saya tangani serratus persen, bagaimana saya bisa tidak menyelesaikan ini baik-baik? Keinginan untuk bekerja di bidang lain rasanya ada, tapi semakin kecil karena fokus saya tentu pada bagaimana menaklukkan jiwa saya ini sehingga bisa menjadi pendidik yang sudah benar. Sebelum serius dengan ajar-mengajar ini saya punya banyak keinginan yang kalau sekarang ada kesempatan untuk dikerjakan, tentu akan saya lakoni. Biar sekali-sekali merasakan jadi seperti orang-orang “normal” lain, ha ha ha. Sejuah ini, saya masih merasa ingin total dulu di sini.
Sejauh ini, mengajar saja belum sanggup saya tangani serratus persen, bagaimana saya bisa tidak menyelesaikan ini baik-baik? Keinginan untuk bekerja di bidang lain rasanya ada, tapi semakin kecil karena fokus saya tentu pada bagaimana menaklukkan jiwa saya ini sehingga bisa menjadi pendidik yang sudah benar. Sebelum serius dengan ajar-mengajar ini saya punya banyak keinginan yang kalau sekarang ada kesempatan untuk dikerjakan, tentu akan saya lakoni. Biar sekali-sekali merasakan jadi seperti orang-orang “normal” lain, ha ha ha. Sejuah ini, saya masih merasa ingin total dulu di sini.
. . .
Bicara soal ini, saya jadi ingat K. Dia itu pekerja
banyak bidang! Banyak bisa! Saluuuut… Saya sampai iri sama dia, dan telah
sampaikan itu. Alasannya, ya, karena dia sangat multi-tasking yang bisa
mengeksplor dan melakukan banyak gawean dibanding dengan saya yang rasanya stuck
di satu bidang saja, ha ha ha. And he said nothing in response.
Cukup sekian dulu, ini pagi dan saya ada jadwal kelas
pagi ~
=part 2=
Di perjalanan ngajar tadi saya ingat satu poin lagi: How
much does the job change you as a person?
Dari segi penampilan, saya melihat bahwa teman-teman
yang “punya kantor” dan “punya baju kerja”, utamanya yang cewek, ya, keliatan
betul perubahan penampilannya. Yang dulunya kalo jalan atau main cukup bedak
sama lipstick, sekarang sudah nambah pake maskara dan blush-on. Sebenarnya ga
penting banget bahas penampilan orang, sih, cuma ini demi keperluan penjabaran
saja. Nah, dibandingkan dengan saya, perubahannya mungkin sedikit sekali,
hahaha. Berangkat ngajar ga perlu make-up yang gimana-gimana, cukup pake
pelembab atau BB cream sama bedak sama lip-balm, kadang aja lipstick kalo lagi
keliatan pucet banget. Bukan apa-apa, hanya saja merasa kurang sinkron kalo mau
ngajar harus dandan banget gitu. Btw, standar dandan banget menurut saya adalah
kudu-wajib lipstick dan blush-on begitu, tapi zaman sekarang itu sudah termasuk
make-up natural dan basic, ya… Ya sudah lah… Pokoknya begitu. Memikirkan
bagaimana sudut pandang bocah-bocah yang liat miss-miss nya dandan banget.
Okelah, ribet kayaknya menjelaskan bagian perubahan
penampilan ini. Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa perubahan penampilan
teman-teman yang bekerja di “kantor” dengan saya yang nyantai banget ini agak
signifikan, sih. Mereka keliatan jadi lebih care sama make-up dan style,
sementara saya masih seminimalis mungkin dan berpakaian senyamannya saja, he he
he.
Satu lagi, kalo yang ini saya mah yakin semua juga
mengalami perubahan, yakni mindset atau cara berpikir. Secara, memasuki ranah
pekerjaan ini bikin kita ketemu lebih banyak orang baru dan pasti jadi nambah
pengalaman, otomatis hal itu sedikit-tidak mengubah cara berpikir kita. Perubahan
yang saya asumsikan di sini bahwa teman-teman yang kerja di “kantor” tentu akan
berpikir begitu dewasa dan hal-hal berbau dunia orang dewasa. Sedangkan saya,
rasanya pemikiran saya masih berkutat di satu bidang, namun lebih matang, lebih pasti, dan lebih
serius lagi. Entah, ya, saya belum sempat menanyai teman-teman saya. Secepatnya
lah.
Nah bicara pemikiran, nih, setelah lumayan lama
bergelut di dunia Pendidikan non-formal, beberapa dari asumsi masa lalu saya
terbukti, beberapa prinsip saya pun makin pakem. Berikut ini saya coba
jabarkan, ya…
Dari dulu, eh sejak kuliah, saya selalu yakin bahwa
belajar di sekolah itu apa, sih? Kenapa anak-anak perlu les tambahan lagi? Saya
yakin, sistem di beberapa sekolah swasta lebih baik daripada sistem di beberapa
sekolah negeri. Kalau memang sekolah hanya untuk dapet ijazah, kenapa ga bisa
belajarnya di les dan di sekolah hanya ujian? Segitu tidak cukupkah belajar di
sekolah sampai harus les lagi? Apa gunanya sekolah, gitu lho. Apalagi kalau
sudah musim mau ujian akhir atau ujian tahun ajaran baru, pasti tempat les
penuh. Di sekolah, bagaimana cara guru mereka menyampaikan materi sampai
murid-muridnya terpaksa les tambahan di luar jam sekolah? Sudah lelah belajar
di sekolah, eh, belajar lagi di tempat les. Okelah kalau untuk mengulang materi
dari sekolah, tapi kalau yang dipelajari materi baru yang dikasi sama tempat
les? Kan agak mubazir, he he. Sembari menjabarkan, saya takut akan adanya
pro-kontra, wkwk. Tapi biar saya selesaikan dulu.
Saya sedih, betul-betul sedih dan miris ketika
mendapati siswa saya yang ketika di tempat les malah seperti gelas kosong.
Terutama kalau yang akan kita pelajari itu sesungguhnya pelajaran yang sudah
didapat di sekolah. Saya yakin, guna tempat les dan tutor adalah membantu siswa
memahami apa yang sudah dipelajari di sekolah, tapi kalau mereka saja tidak
paham yang dipelajari di sekolah, lantas bagaimana? Bukan apa-apa, bukan merasa
terbebani karena dapat siswa yang harus mulai dari nol, tapi saya yang hanya
seorang tutor ini merasa sangat bersalah dan merasa gagal ketika di akhir
pembelajaran masih ada siswa yang kesulitan dan bahkan tidak mengerti sama
sekali pelajaran yang diulas hari itu. Beban moril. Saya langsung merasa harus
merevisi diri, apa yang salah, apakah materinya terlalu sulit, ataukah saya
yang memang tidak bisa membimbing dia untuk mengerti, atau bagaimana. Hal itu
sering sekali saya rasakan ketika harus menangani kelompok belajar. Kalau
menangani siswa privat, tentu lebih ringan karena saya hanya perlu memastikan
satu orang itu saja untuk paham.
Kembali ke kasus tadi, mendapati siswa yang sepertinya
kosong, bagaimana perasaan guru di sekolahnya? Saya yang hanya tutor saja
merasa stress, bagaimana dengan guru?
Ada satu kasus, seringnya sih dengan siswa calistung.
Namanya anak-anak, jiwanya masih bebas bentuknya, dan sebagai seorang tutor
yang mencoba jadi yang terbaik, saya memahami bahwa tidak baik terlalu
membatasi anak, memaksa, atau meng-input kata-kata negatif pada mereka. Mood
mereka tentu saja lebih sulit ditebak. Hal-hal demikian merupakan tantangan dan
obat tersendiri bagi saya. Suatu hari, siswa yang di pertemuan sebelumnya
terlihat menikmati pembelajaran, tiba-tiba mogok belajar karena moodnya- lah,
capek-lah, ngantuk-lah, bosan-lah, dan lain-lain. Sebagai tutor, saya tentu
saja sering merasa putus asa dalam hal merayu si anak supaya mau belajar.
Berhubung saya tidak suka dipaksa-paksa, maka saya usahakan untuk tidak sering
memaksa siswa untuk melakukan apa yang saya mau mereka lakukan. Berat sekali
untuk menolak menyerah pada usaha mengajak mereka belajar. Pada beberapa kasus,
saya memang menyerah, tapi saya sadar bahwa setidaknya mereka harus dapat
sesuatu yang baru untuk dipelajari hari ini. Maka, berbekal itu, saya pun
sebisa mungkin memasuki dunia mereka yang sedang tidak mood untuk belajar itu,
mencari celah di mana saya bisa menyisipkan bahan pelajaran baru pada otak
mereka, lalu perlahan menggeret mereka untuk belajar betulan. Sungguh
menantang!
Terkadang saya kaget sendiri dengan kesanggupan saya
menahan emosi dan menjaga emosi tetap stabil saat berhadapan dengan siswa yang
demikian. Pada saat itu saya merasa sudah belajar sesuatu, sudah berubah
sedikit dari diri saya yang sebelumnya. What an amazing experience.
Itu kalau mereka tidak mau belajar. Kalau mereka sudah
belajar tapi kesulitan dan tidak mau belajar lagi? Wah… yang langsung saya
lakukan adalah bertanya dia mau apa kalau tidak mau belajar. Sebisa mungkin hal
yang ingin dia lakukan nanti ada celah bagi saya untuk menyelundupkan
pelajaran, jadi saya izinkan saja mereka melakukan apa yang mereka mau lakukan.
Kadang langsung berhasil, kadang tidak. Syukurnya, yang berhasil ini lebih
dominan.
Nah, kalau mereka sudah belajar tapi belum mencapai
standar minimum pehamanan yang kita tetapkan, bagaimana? Ya ini yang biikin ga
tenang. Saya selalu mengusahakan untuk bertanya langsung pada siswa, letak
kesulitannya di mana, lalu merevisi materi yang saya berikan, bertanya dia
enaknya belajar dengan cara apa, lalu berusaha memacu diri untuk bisa mengajar
si siswa dengan gaya dia. Begitulah kiranya yang saya lakukan.
Perbedaan dulu dan sekarang, sekarang tentu saya lebih
concern ke keadaan siswa karena prinsip saya: tiap anak punya cara belajar
masing-masing, sebagai tutor, saya tidak berhak untuk mengubah itu, yang paling
mungkin dan paling boleh saya lakukan adalah meluruskan cara belajar yang agak
keliru, atau memberikan saran cara belajar yang nyaman, tentu saja menurut
pengalaman pribadi. Sering juga saya sharing dengan kawan tentang cara belajar,
karena kita tentu bisa belajar dari siapapun. Cara berpikir saya sekarang lebih
condong ke bagaimana membentuk anak-anak murid saya menjadi individu yang
mandiri, punya semangat belajar yang tinggi dari rasa ingin tahu yang tinggi
pula. Saya takut sekali kalau saya ada salah langkah dalam pembelajaran.
Ketertarikan saya untuk terus bergelut dengan
Pendidikan anak-anak rasanya semakin kuat saja, semakin jelas terlihat apa yang
harus saya lakukan untuk mewujudkan visi berdasarkan prinsip saya. Membaca buku
Diferensiasi dari Komunitas Guru Belajar pun benar-benar membuka mata
saya, bahwa saya tidak sendiri berdiri dengan prinsip saya. Bahwa saya bisa
menjadi salah satu yang akan menyukseskan Pendidikan anak-anak melalui strategi
(atau apalah) yang disebut diferensiasi itu.
Menjadi tutor dan banyak mendapat siswa privat membuat
saya merasa terjalin dan terhubung dengan siswa-siswa saya, sehingga saya
merasa khawatir ketika berhalangan hadir dan harus melimpahkan siswa saya ke
tutor lain. Mungkin khawatirnya seperti orangtua yang khawatir karena hendak
menitip anak pada orang lain yang belum tentu paham karakter siswa kita. Tapi,
kadang mau bagaimana lagi? Kita harus percaya bahwa rekan tutor yang lain pun
punya kapabilitas yang sama baiknya dalam memahami karakter siswa, karena
mereka pun punya siswa.
*Penjabarannya abstrak sekali, ya! Ha ha ha*
So, what I think about job is a responsibility to your
passion and life. Karena kalau bekerja tidak sesuai passion, maka rasanya
buang-buang waktu walau dapat duit. Maka, penting sekalil si do what you
love sebelum love what you do. Mereka itu seiring sejalan, kalau
sudah melakukan apa yang disuka, barang tentu sayang sama yang dikerjakan. Let
me revise, whatever job you work on, as long as it makes you happy and feel
alive and give you new way to see things in life besides you will earn money to
live, just go ahead and don’t think too much about others’ job/business. You
can always find challenges and lessons on things you do and love. It relates to
the term “comfort zone” that Im planning to write about, soon.
Sudah malam, sudah dulu, ya! Semoga ada manfaatnya.
5/9/2018
Comments
Post a Comment