Tutor’s Life: Kerjaan Jadi Tutor
Kenapa tutor? Kenapa bukan guru? Berdasarkan Kamus
Bahasa Inggris monolingual Oxford, berikut penjelasan antara tutor, coach,
mentor, dan teacher.
·
Tutor: [noun] a private teacher, especially one who teaches an individual
student or a very small group.
: guru privat yang secara
khusus mengajari seorang siswa atau kelompok kecil siswa.
·
Coach: [noun] a person who trains a person or team in sport; a person who
gives private lessons to somebody (to prepare examination).
: seseorang yang melatih atlet
atau tim olahraga; seseorang yang memberi pelajaran khusus kepada siswa (untuk
persiapan ujian).
·
Mentor:
[noun] an experienced person who advises and helps
somebody with less experience over a period of time.
: seorang yang berpengalaman
yang memberi saran dan membantu seseorang yang kurang berpengalaman dalam kurun
waktu tertentu.
·
Teacher:
[noun] a person whose job is teaching, especially
in a school.
: seseorang yang kerjanya mengajar, khususnya di
sekolah.
Sudah jelas? Ya ya ya, karena saya tidak mengajar di
sekolah –di bimbel dan juga mengajar privat mendatangi rumah siswa.
Dan pada satu dialog dengan K tentang gaya “mengajar”
saya, dia bilang, “Kau itu ga cocok disebut guru karena bukan mengajar, tapi
lebih ke menemani belajar. Jadi kedudukannya bukan ‘menggurui’, tapi lebih ke
membimbing sebagai ‘kakak’.” Pada saat itu saya manggut-manggut membenarkan.
Sebelum menanyakan itu, saya berdialog dengan diri sendiri, bertanya-tanya “guru
macam apa saya ini? Rasanya lebih sering mengajak siswa bermain daripada serius
belajar.”
Lalu terus dan terus saya semakin sering menelaah
diri, dan sampailah pada prinsip (mungkin sudah pernah saya tulis di post
sebelum ini) saya bukan mau menggurui, tapi lebih ingin memfasilitasi dan
membimbing siswa dalam belajar sesuai dengan gaya belajar dan kondisi belajar
yang membuat dia nyaman. Dikarenakan saya pun tipe orang yang kadang tidak
suka belajar terlalu serius, dan belajar kadang lebih nyaman di tengah-tengah
orang ramai yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Dengan memegang
prinsip itu, saya merasa seperti punya tongkat untuk ditumpui ketika saya
bingung guru macam apa saya ini?
Namun perasaan itu terobati pada pertemuan selanjutnya
ketika bertemu dengan siswa yang sama dan melihat perkembangannya yang membuat
saya merasa “Wah ini unbelievable sih. Ga mungkin karena belajar yang kemaren
sih.” Yang sering saya konfirmasi dengan pertanyaan. “Di rumah belajar sama
siapa? Belajar apa di rumah?” Lalu ketika jawaban mereka nihil alias tidak
belajar di rumah, saya pun merasa terharu :’D Ada juga yang menjawab ya, belajar,
meski begitu tetap saja seperti setengah percaya kalau apa yang saya lakukan
agaknya berhasil dalam membantu mereka belajar.
Pernah satu kali, seorang orangtua siswa feedback
ke saya mengatakan bahwa sekarang anaknya sudah berkembang pesat karena saya.
Apa? Saya sudah berbuat apa pada anaknya sampai-sampai si ibu bilang begitu?
Seingat saya, saya selalu banyak main-main dengan anaknya, kok bisa dia malah
berterima-kasih? Something like that. Terharunya luar biasa! He he he…
Di bimbel tempat saya nutor, ada evaluasi setiap tiga
bulan sekali untuk siswa calistung. Dan siswa calistung saya yang kena tes
evaluasi ada empat orang, dari empat orang, feedback sheet yang balik ke
saya ada dua dan membaca komentar orangtuanya membuat saya terharu makin makin,
he he. Seperti hal yang agak sulit dipercaya, gitu lho. Back then, tentu
saya turut bahagia dan lebih semangat lagi, sih. Tapi itu tidak boleh lama-lama,
takutnya jadi gegabah, jadi langsung istighfar dan meluruskan niat.
Sama siswa-siswa saya, saya berusaha sebisa mungkin
membangun chemistry dengan mereka (tentu saja), lalu menjadi seperti
wadah yang selalu terbuka bagi mereka, di mana mereka adalah air. Membuat
mereka nyaman dengan memahami sebenarnya mereka enaknya belajar gimana dan
dengan cara apa. Membuat mereka percaya bahwa kita memahami mereka dengan beneran
belajar memahami karakter mereka, menjaga rahasia yang mereka percayakan,
menepati omongan kita, dsb dsb dsb. Lain siswa, tentu lain perlakuan, dan itu
sudah seperti ada sistem auto pada diri saya, auto-behaving (otomatis
menentukan sikap). Mungkin itu yang menyebabkan saya agak susah menangani dua
siswa sekaligus pada waktu bersamaan, kuatir siswa A merasa iri atas perlakuan
saya terhadap siswa B.
Dalam kelompok belajar, lebih sulit lagi; menahan si
auto dan merubah sistem menjadi generalize. Dalam kelompok belajar,
dilemanya lebih terasa karena dalam satu kelas, melting pot, bergabung
anak-anak dengan daya tangkap dan level yang berbeda (untuk Bahasa Inggris),
yang mana mau tidak mau saya perlakukan lebih general. Jadi, sering sedih. Capeknya
bukan fisik, tapi batin. Membatin terhadap siswa-siswa yang slow. Semoga
apa yang saya lakukan bisa sedikit membantu mereka, aamiin. Itu doa yang selalu
saya gumamkan dalam hati usai belajar dengan kelompok belajar.
Saran dan ide untuk penanganan kelompok belajar mah
banyak, tapi eksekusinya yang masih kurang. Sesekali pernah saya lakukan, tapi
untuk mengevaluasi apakah eksekusi perlakuan khusus (pemberian PR dengan level
lebih mudah) itu berhasil atau tidak itulah yang belum ketemu. Selain doa, ya,
diperlukan juga usaha, kan. Kadang sengaja saya tahan setelah yang lain pulang,
untuk membimbing secara individu, tapi namanya anak-anak, pasti mau juga diberi
perhatian, sehingga yang bisa jadi pura-pura tidak bisa -.-‘
Berhubung di bimbel menggunakan prinsip Smart
Education Method yang mana menurut pemahaman saya ialah media
pembelajarannya sangat fleksibel (bisa dari buku atau media elektronik khas generasi
milenial), sebagai tutor harus kreatif mengembangkan ide dan media belajar
supaya materinya mudah dipahami. Nah, di bimbel (secara pribadi) saya
menyiapkan materi sendiri, media sendiri berupa soal latihan yang akan
dikerjakan siswa dengan bimbingan langsung oleh tutor, meninggalkan metode
menjelaskan-kasi tugas-tugas dikerjakan-dinilai-selesai. Tapi metode yang saya
gunakan pun rasanya kurang memuaskan. Ah, mau bagaimana lagi? Kalau pakai metode
seperti itu, takutnya anak-anak merasa terbebani karena di sekolah pakai metode
yang serupa. Karena saya selalu meyakini bahwa tempat les bukanlah sekolah
kedua, melainkan tempat di mana siswa bisa mempelajari apa yang tidak sempat ia
tanyakan di sekolah sehingga akan membantu menunjang kemampuan akademik siswa
di sekolah. Maka, pantang sebenarnya untuk kasi siswa PR dari bimbel. Bagi
saya, cukuplah bimbel sebagai tempat belajar anak sehingga mungkin anak akan
bisa bebas bermain dan istirahat ketika sampai di rumah. Begitulah pemahaman
saya terhadap bimbel. Pemahaman itu sedikit tidaknya kemudian memengaruhi
prinsip dan cara bekerja saya sebagai tutor. Soal latihan tentu bisa menjadi
media yang lebih riil bagi siswa, karena berkutat dengan teori tentu
membosankan.
Kembali lagi ke media pembelajaran yang fleksibel,
maka saya pun berpikir bahwa bukan hanya soal latihan yang bisa menjadi media,
obrolan singkat atau mengobservasi kreativitas siswa (khususnya siswa calistung
yang lebih sering saya biarkan mengeksplor diri mereka ketimbang duduk
mengerjakan soal latihan) sehingga dari hasilnya kita bisa olah lagi
kreativitas kita sebagai tutor untuk memfasilitasi pembelajaran yang bermakna
bagi siswa, yang mana saya yakini, akan berpengaruh besar bagi kemajuan dan
perkembangan belajar mereka. Bisa jadi kelihatannya saya tutor yang santai
karena tidak melulu bikin soal latihan, tapi sayangnya yang tampak tidak selalu
seperti realita. Saya lelah mengubek-ubek isi kepala, mencari reremahan kreativitas
untuk mengimbangi perkembangan siswa-siswa saya yang mayoritas relatif cepat.
Di satu sisi, saya tidak ingin menekan mereka untuk mengerjakan hal di atas
level mereka, tapi juga tidak ingin mereka malah “mengerdil” jika saya berikan
materi di level mereka (current level). Segelintir dilemma saya sebagai
seorang tutor, ya, begitu.
Ketika sudah merasa ingin abandon pada tugas
menyiapkan materi, malah ketika itu saya makin terdesak untuk menyiapkan
materi. “Apa lagi untuk pertemuan selanjutnya? Terakhir kemarin nih anak
perkembangannya sampe mana, ya? Dsb dsb dsb.”
Sampai tiba waktunya, ya saya percayakan pada otak
yang level kreativitasnya makin cetek ini untuk bekerja. Mengolah data hasil
observasi dan data-data lain yang diperlukan untuk kepentingan proses
pembelajaran. Semoga selalu positif dampaknya pada siswa-siswa, aamiin!
Banyaklah ceritanya selama setahunan ini menjadi
tutor. Nanti saya bagi dalam beberapa postingan supaya rapi :D
Sekian prolognya. Semoga bermanfaat dan memberi
inspirasi!
Comments
Post a Comment