I am finally BACK!

Setelah di postingan sebelumnya merasa sangat positif untuk pengen resign, yang pada awal semester baru pun saya masih menggebu untuk resign, nyatanya masih berkutat dengan bocah-bocah siswa dengan segala watak mereka. Bahkan, nekat menerima mandate sebagai coordinator untuk program calistung, yang mana saya sendiri merasa sangsi karena kesibukan yang sudah sesak, takutnya perkerjaan jadi keteteran. Ya pekerjaan menyiapkan materi untuk program calistung dan segala macam. Semoga pihak pengelola tidak saya kecewakan, ya. Aamiin.

Rutinitas pun kembali padat merayap, meskipun yang kelas privat pribadi bisa jadi full, bisa juga tidak, tapi tetap berada dalam daftar jadwal sehari-hari, sih… Kadang semua terasa berat, kadang pula menyenangkan. Tergantung bagaimana siswanya juga, sih… Semoga semua membawa berkah.

Bulan Februari ini menjadi bulan Februari ke-dua yang cukup membekas dalam jiwa. Karena pada Februari tahun lalu, saya bersemangat sekali untuk mencoba daftar beasiswa ke luar negeri. Lalu berhenti begitu saja ketika hasil skor TOEFL keluar, yang mana hasilnya di luar ekspektasi, jauh di bawah yang saya kira. Saya pun merasa bahwa disuruh perbanyak pengalaman dulu, deh. Sambil terus belajar (mengajar). Maunya bela-belain belajar TOEFL walaupun sudah lelah kerja, tapi badannya manja dan dimanjakan, bahkan untuk sedikit workout pun malasnya naudzubillah :/

Bulan Februari ini sih diawali dengan positif. Masih tentu masih ingin daftar beasiswa yang sama. Namun kali ini lebih perlahan dan lebih mempersiapkan diri, tidak terlalu gegabah, lah. Jadi diawali dengan ikut seminar sosialisasi tentang si lembaga pemberi beasiswa, Australia Awards Scholarships. Banyak ilmu baru dan juga saya mendapat beberapa konfirmasi atas pemahaman yang sudah terlebih dahulu saya dapatkan. Senang. Seperti memulai langkah baru menuju ke tempat yang ingin dituju. Apalagi saat mbak Arum (selaku MC) mengatakan bahwa ia pun butuh waktu tujuh tahun untuk memantapkan aplikasi beasiswanya. Saat itu saya merasa baik-baik saja, baru menunda satu tahun. Tapi jangan terlalu santai, he he. Tetap belajar di mana pun, kapan pun, dan dari siapa saja J

Lanjut soal kerjaan lagi. Jadi, makin riweuh di bimbel. Riweuh sama anak reguler, riweuh sama bocah calistung, belum lagi yang ambil privat. Yet, somehow they make me feel more alive! Saya gatau deh akan apa kalo nggak ngajar. I mean, bukan gabisa belajar lagi, but, it is not all about money I earn from that. Ini soal kepuasan dan ambisi. Kalo ngajar, rasanya up and down mood dan lain-lain, tapi selalu merasa semangat. Bukan karena apa-apa, tapi kalo ngajar itu merasa belajar sama-sama, jadi ya ikutan belajar juga, he he. Bikin punya alasan untuk belajar. Harus belajar akan nemenin belajar. Harus belajar yang bener supaya yang disampaikan nanti juga bener. Harus serius, karena nanti kalo nggak serius nanti ilmunya nggak sampe. Jadi, ya begitu.

Saat ini, karena sudah kedung waktu itu mengatur pikiran untuk kerja di tempat kerja, di rumah untuk istirahat jadi sekarang kalo udah sampe rumah rada susah untuk kerja, bahkan untuk sekedar bikin materi. Bagusnya, pas di tempat kerja, ya, untuk kerja. Kerjain apa aja yang harusnya dikerjain di waktu luang. Semacam merasa lebih terorganisir daripada dulu, kerjaan dibawa pulang, hasilnya malah stress sendiri. Alhamdulillah…

Walau mungkin kedengerannya agak egois, ya, untuk tidak membawa pekerjaan pulang ke rumah, tapi itu sungguh sangat membantu meringankan beban pikiran, jadi nggak gampang stress, he he.

Lalu, muncullah pertanyaan yang sangat kurang nyaman untuk saya bahas: kemaren ikut CPNS?Lho, kenaoa ga ikut? Coba-coba aja, lho, siapatau dapet, kan… Kalo jadi PNS kan enak nanti tuanya ada tunjangan.. bla..bla..bla…

[WARNING: THIS POST IS LONG]

Nah, sampai pada topic kayak gitu saya mulai berasa gerah bodi gerah hati. Menjadi PNS sejak saya belum lulus SMA, bukanlah sebuah hal yang saya inginkan. Catatan: PNS dalam pemahaman saya adalah pegawai kantor pemerintahan yang pekerjaannya saya kurang tau apa, ya, tapi yang saya lihat kebanyakan kerjaannya, ya mengisi kantor. Bukan maksud sama sekali untuk merendahkan atau apa, maafkan pemahaman saya yang dangkal ini, tapi pemikiran itulah yang membuat saya enggan. Rasanya… saya tidak ingin bekerja untuk hal yang hasilnya kurang jelas, maksudnya, yang kerjain apa eh hasilnya apa dan di mana itu nggak ketauan. Nah, kepuasan dalam bekerja kan jadi tidak terlihat, begitulah pendapat pribadi saya.

Biasanya juga, kan, kalo jadi PNS itu seperti pekerjaan turun temurun, ya. Dari orangtua, ke anak, ke cucu, dan seterusnya. Nah, kebetulan di keluarga saya tidak banyak yang jadi PNS. Dari garis keluarga bapak, hanya (almh.) nenek yang PNS (guru dan kepala SD). Dari garis ibu, tidak ada sama sekali (tapi kalau kepala desa dianggap PNS pada jaman dulu, maka alm. kakek saya PNS). Sepupu-sepupu…. Yang lebih tua profesinya macam-macam. Lebih banyak yang kerja di perusahaan swasta atau berwirausaha. Lantas saya? Sepertinya saya meneruskan profesi (almh.) nenek saya, mengabdi menjadi guru.

Nah, kenapa ga mau jadi guru di sekolah? Honorer?

Alasannya sangat receh; malas bikin RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang mana itu tuh bikinnya ribet dan naïf, karena hampir mustahil berjalan mulus (padahal sih gapapa…). Sebenarnya karena malas bekerja di bawah pemerintahan. Kalo di sekolah kan ngajarnya berdasarkan kurikulum yang dari Mendiknas, yang mana sudah seringkali diubah-ubah dan lain-lain. Mana sekarang jam sekolah itu udah kayak gila-gilaan, PR, materi, ulangan, ujian, tugas, dan lain-lain. Sekolah itu rasanya lebih ke membebani siswa dengan tetek-bengek yang merupakan anak dari kurikulum itu.

Padahal, menurut pemahaman otak saya yang mungkin dangkal ini, sekolah itu lebih utama membentuk karakter siswa dulu, kalau karakter belum beres, mau di-input apapun jadi rada susah, kan. Kalau karakter sudah mantap, mau input apa saja jadi mudah. Ibarat membentuk tanah liat. Kudu dirapihin dulu, baru deh disesuaikan mau bikin apa, ditelateni, jadi deh, bagus. Mau lebih bagus lagi? Bisa dicat. Bisa juga diukir, tapi itu harus sebelum dikeringkan. Pokoknya, bentuk dasarnya dulu. Kalau dasarnya bagus, pasti mau diapakan juga jadi bagus.

Melihat kondisi sistem pendidikan formal saat ini, menyedihkan sekali rasanya. Sudahlah sekolah sampai pukul 3 sore sejak pagi hari, dibebani PR dan tugas pula. Apakah esensi dari sekolah sampai sore kalau pulangnya masih dikasi PR dan tugas? Kapan siswa-siswa dapat waktu untuk istirahat, mengeksplor bakat, melakukan hal yang disukai, dan mengulang pelajaran kalau sekolahnya saja sudah cukup menyita waktu? Yang ada otaknya lelah dan akan cenderung menjadi ignoran, ya ngga sih?

Menurut saya begitu…

Sehingga, rasanya saya ingin membantu para siswa yang merasa kewalahan untuk memahami apa yang dipelajari di sekolah dengan bergabung dalam lembaga pendidikan informal. Saya tidak ingin ikut berkontribusi dalam membebani siswa di sekolah hanya karena menuruti aturan kurikulum dari pemerintah. Saya mau turut membentuk dasar karakter yang kuat pada anak-anak, supaya ke depannya mereka berani dan bisa menentukan apa yang ingin dan baik mereka lakukan.

Lha, kenapa? Di sekolah saja langsung, kan, bisa…

Masalahnya, saya kurang handal menangani siswa kelas yang mana di sekolah negeri jumlahnya bisa mencapai 50an anak per kelas, yang mana jumlah tersebut sama sekali tidak efektif untuk kegiatan pembelajaran. Bagaimana cara mengontrol separuh dari 100 kepala dalam satu kelas dalam kurun waktu minimal 90 menit? Ck ck ck.. Tidak mampu rasanya otak dan batin saya jika dihadapkan dengan itu.

Maka, di sinilah saya. Di sebuah lembaga pendidikan informal baru, berkecimpung dan berurusan dengan bocah-bocah berbagai watak, dengan kecerdasan masing-masing, dengan kesulitannya masing-masing, dengan materi baru yang harus saya pelajari setiap pertemuan dengan mereka, yang mengajari saya banyak hal tentang mengolah emosi dan mengkontrol diri dalam bertutur kata, dan banyak lagi! Saya menikmati semuanya… yeah, kecuali kerjaan mendadak atau tugas tambahan yang mana saya sangat buruk dalam mengatur waktu dan ada masalah dengan mengatur mood untuk bekerja.

Tantangan datang secara internal maupun eksternal, tapi saya harus mampu mengatasi semuanya walau kadang butuh orang lain juga untuk membantu menyeimbangkan kondisi internal.

Kalau pada postingan kemaren betapa saya sangat ingin resign, bisa jadi itu karena lelah yang dikombinasikan dengan jenuh atas jam kerja yang lumayan gila selama 6 bulan. Tapi setelah libur yang walau hanya 10 hari, saya bisa merasa lebih baik dan mampu bekerja lagi. Walau pada awalnya ya berat… dipaksakan saja sedikit.

Does it spark joy?

Yap! Doing teaching stuffs do spark joy to me. Kadang lucu sendiri ketika sedang bête, terus siswa balita tiba di kelas dengan wajah polos dan kebandelan khas bocah, lalu saya mampu dibuat tersenyum. Meskipun mereka juga kadang jadi sebab bête, tapi bagaimana pun, bukankah kita yang lebih dewasa yang kudu mengalah dan mencoba mengerti dan memberi pengertian pada mereka? Anak-anak kan mencontoh dan meniru… Pintar-pintarnya kita memanajemen saja, entah itu emosi, pikiran, mood, ataupun perkataan yang hendak kita keluarkan. Jangan sampai banyak input negative yang kita berikan pada bocah-bocah itu, kasihan… karena sekarang sudah banyak anak-anak yang terlalu dini sudah terlalu dibebaskan lalu menjadi brutal dan tak paham hormat pada orang tua. Miris.

Saya jadi ingat satu frasa: the agent of change. Agen pembawa perubahan. Bisa jadi saya berambisi menjadi bagian dari itu, dengan cara menggojlok diri dalam pekerjaan yang terlihat receh ini (dari segi finansial, mungkin, karena jaman sekarang sudah banyak orang materialistis, apa-apa diukur dengan nominal mata uang). Meski kadang merasa takut kekurangan duit, tapi saya masih punya Tuhan yang sudah tentu tidak akan mengingkari janji-Nya sendiri dalam menjamin rezeki setiap hambaNya yang berusaha, maka saya merasa baik-baik saja. Kalaupun suatu waktu saya mengalami defisit, ya mungkin itu karena saya yang terlalu kebablasan dalam belanja, jadi, kembali lagi; harus pintar.

Pintar apa? Bersyukur, bersyukur, dan bersyukur. Kan, kalo kita bersyukur, nikmat akan ditambah J Jangan lupa berbagi dan bersedekah juga, he he. Walau kadang takut defisit karena banyak berbagi, tapi Tuhan sudah berjanji akan melipatgandakan apa yang disedekahkan, maka, jangan khawatir :D Berbagi dengan orang-orang terdekat dulu… orangtua, saudara, teman… Begitulah.

Suatu pagi, saya berdiskusi monolog dengan diri saya mengenai itu. Mengenai pendapatan. Alhamdulillah saya selalu merasa dicukupkan, bahkan dilebihkan oleh Allah. Padahal secara logika matematika saya, pendapatan saya akan sangat pas-pasan. Alhamdulillah…ada saja rezeki tak terduga. Dan membahas pendapatan dari sudut pandang orang-orang yang berpendapat bahwa gaji saya tidak sepadan dengan kerjaan saya, mungkin tidak bisa disalahkan. Karena mereka melihat dari sudut pandang mereka, dengan jumlah kebutuhan dan keinginan mereka. Jelas. Setiap individu kan kebutuhan dan keinginannya berbeda. Jelas kalau menggunkan nominal pendapatan saya hasilnya akan berbeda-beda, ada yang bilang banyak, ada yang bilang sedikit. Kalau saya pribadi, Alhamdulillah, selalu dicukupkan J Pintar-pintarnya kita saja. Selain pintar bersyukur juga harus pintar menyaring; mana kebutuhan, mana keinginan, dan mana yang hanya lapar mata XP

Setelah diskusi itu, saya merasa lebih tenang lagi. Ya itu, karena kita tidak bisa meminjam satu variabel saja untuk sebuah penilaian yang valid. Menilai cukup-tidaknya suatu pendapatan seseorang untuk digunakan pada kebutuhan dan keinginan kita. Jelas hasilnya akan timpang. Coba saja pikirkan…betapa hebat, ya, pedagang rujak keliling bisa tetap memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya, padahal pendapatan mungkin tak seberapa. Harus kita lihat dan teliti secara menyeluruh bahwa kebutuhan sehari-hari keluarga tukang rujak keliling, ya, tidak sama dengan kebutuhan sehari-hari keluarga pejabat DPR. Itu saja, deh, analoginya. Dan jangan lupa, karena itu semua sudah dijaminkan oleh Tuhan. Ketika kita yakin, berusaha, dan bersyukur, maka Tuhan akan mencukupkan. Harus qana’ah (merasa cukup) juga, dong, karena aslinya kan manusia itu tidak ada puasnya. Kalau tidak merasa cukup, ya akan selalu merasa kurang, ujungnya jadi susah bersyukur, deh. Naudzubillah…

Intinya?

Yah, intinya saat ini saya masih bekerja di lembaga pendidikan informal, menikmati pekerjaan saya, tetap berusaha melangkahkan langkah-langkah kecil demi sampai pada mimpi untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri dengan beasiswa penuh. Ambisi dan prinsip pun rasanya masih sama. Proses yang sejauh ini saya lakoni agaknya memberikan pengaruh yang cukup massive pada ke mana akan saya lanjutkan langkah kaki ini (dalam menjemput beasiswa, soal jurusan apa yang selanjutnya akan saya ambil). Semoga kita semua menikmati apa yang kita kerjakan sekarang, ya, kalau belum sesuai dengan yang diinginkan, semoga segera berjumpa dengan pekerjaan yang diinginkan. Aamiin.

Oh! Kenapa saya bertahan di sini dengan jumlah pendapatan yang kata orang lain itu “kecil”, yak arena yang saya dapat dari apa yang saya kerjakan saat ini bukan hanya duit, tapi juga kepuasan batin. Saya rasa, percuma dapat gaji 10 juta per bulan kalau batinnya tidak bahagia. Walau bisa beli apa saja, tapi untuk mencapai kepuasan batin itu bukan hal yang selalu bisa dibeli.

Sekian tulisan panjang dan campur-aduk ini. Terima kasih sudah rela membaca sampai tamat. Semoga kita terus bisa bahagia walau rutinitas terkadang jadi membosankan, dan akhir bulan terkadang terasa sangat paceklik. Semoga bermanfaat dan menginspirasi :*

Comments

  1. People come from different background n they have their own idea about smtg. As long as you love what you do n do it with love. Everything seems very colorful n enjoyable.😊

    ReplyDelete
  2. baru berkunjung dan baca lagi blog satu ini. selalu jd fav sejak SMA. hahaha
    jadi ingin blog lagi, tapi ga jago nulis ngalir kayak kamu ini nih..
    hehe

    ReplyDelete

Post a Comment