Balada: Ingin Jadi Bartender Kopi
Ya, ini cerita tentang salah satu mimpi yang ternyata tidak
terkubur. Salah satu cita-cita yang masih ingin saya capai adalah untuk
memiliki sebuah kedai kopi. Lalu, pada Kamis kemarin saya sempat berjumpa
dengan kawan lama dan banyak berbincang tentang macam-macam. Salah satunya,
betapa menjamurnya kedai kopi di Mataram. Mulai dari kedai kopi independen
sampai retail. Dan ia berpendapat bahwa yang menjadikan kedai kopi retail itu
ramai ialah faktor gengsi. Yap. Perlu penjabaran?
Oke.
Siapa tak tau Starbucks? Siapa tak tau MAXX Coffee? Siapa
tak tau JCo? Siapa tak tau …? Silakan disebutkan kedai kopi retail yang ada di
mall. Siapa yang tau? Beken dan keren, kan? Nah, makin keren dong kalo
nongkrong di sana? Minum sambil ngobrol sambil internetan modal Wi-Fi,
foto-foto, unggah, bikin caption yang
cool. Beres.
Paham gengsinya di mana?
Ada yang bilang, yang gratis itu lebih nikmat. Tapi kalau
sudah urusan seperti kopi-mengopi sambil ngobrol, rasanya tidak tepat seperti
itu. Lebih ke … tidak merasa rugi banyak, he he. Lebih baik nongkrong
biasa-biasa saja, yang merakyat. Lagipula, sejak awal saya pun kurang minat.
Satu pengalaman paling mengenaskan yang pernah saya alami
ketika terpaksa menunggu seorang teman di Sb*cks. Kenapa di sana? Karena kawan
saya punya voucher buy1get1. Biasa,
kan? Nah, berhubung sebelum pergi saya sudah mengopi, saya memilih minuman yang
tanpa kafein, yaitu susu. Saya lupa di menu namanya bagaimana. Harganya sangat
bikin sakit hati. Kan kita bisa melihat proses pembuatan minuman kita, ya, dan
saya emang seneng aja gitu merhatiinnya. Apakah yang dicampurkah? Ternyata
hanya: susu, sirup gula, dan es batu! Finishingnya
hanya diberi sedikit semprotan sirup caramel gitu. Ya Tuhan! Dengan harga yang
tertera, saya bisa membeli semua bahannya dan membuat lebih dari satu porsi!
Mana es batunya banyak banget -_- Ingin mengumpat rasanya, hiks. Ya, sudahlah
….
Di zaman yang serba canggih ini, yang apa-apa bisa dicari
tutorialnya di YouTube, maka mudah saja membuat apapun, termasuk segala varian
kopi. Tapi sayangnya saya bukan orang yang patuh pada resep atau tutorial,
lebih suka mengamati, lalu memodifikasi dan akhirnya improvisasi untuk meracik
sesuai selera, menuruti intuisi tentu saja, ha ha ha. I can see my own tutorial in my head. Semacam itu.
Beberapa minggu lalu saya sempat tersesat dalam diri saya,
kan. Lalu sejurus kemudian, saya pun teringat bahwa saya masih ingin meracik
kopi. Tolong, jangan terlalu dianggap professional, ya, karena yang saya maksudkan
di sini, ya, secara tradisional dan rumahan. Tanpa brewer atau mesin espresso (yang katanya harganya mencapai ratusan
juta, huaaaa!). Biasa-biasa saja, bermodalkan kopi bubuk instan, bubuk espresso
instan, susu cair UHT, dan lain-lain. Yang penting dari segala hasil adalah
prosesnya, menurut saya begitu. Nah, kalau di kedai kopi rumahan (yang
insyaAllah kelak akan saya kelola, aamiin.) prosesnya tentu harus melibatkan
perasaan si peracik guna memuaskan si penyesap. Kira-kira begitu. Saya yakin bahwa
yang dibuat dengan hati akan sampai ke hati pula. Seperti itulah kira-kira
visi-misi saya.
Saya bersyukur sekali masih ingat akan mimpi yang ingin saya
wujudkan, di samping rutinitas dan tuntutan. Saya jadi lebih bersemangat aja,
gitu.
Tidak jarang, saya eksperimen di rumah: membuat
racikan-racikan minuman rumahan berbahan dasar kopi, susu, teh, atau cokelat.
Yap. Pagi ini saya mengetik postingan ini dengan sedikit
perasaan nostalgia dan semangat. Semoga hari ini menyenangkan.
Comments
Post a Comment