Kesempatan Ketiga
Selamat pagi, dari angin dingin yang berhembus pukul 09:06
saat mengetik ini. Saya baru saja tamat membaca album-buku Fiersa Besari
berjudul 11:11. Saya ingin sekali mengulas buku tersebut, atau hanya sekedar
meresensi, atau sekedar menilik. Yang mana saja yang paling amatir. Sebelumnya,
saya ingin menambahkan lagi pada postingan ini soal bagaimana akhirnya
keputusan yang saya ambil. Seharusnya ada dua postingan lagi sebelum yang ini,
tetapi mereka belum rampung, atau mungkin tidak akan saya rampungkan, karena
isinya keluh kesah, masalah, dan segala hal yang menye-menye yang ditulis
ketika kewarasan sudah di ambang batas. Untuk yang satu ini, saya bersyukur
karena merasa cukup waras dan stabil untuk mengetiknya. Semoga selesai.
Kopi hitam yang mendingin dan sudah habis, ponsel yang masih
sunyi saja, suara burung-burung kecil bermain dan bersahutan entah di sebelah
mana langit, dan saya yang duduk di garasi rumah, mengetik postingan ini:
Kesempatan Ketiga.
Yah, mungkin ini sangat ekstensi. Setelah kesempatan kedua,
saya memutuskan untuk memberi diri ini kesempatan ketiga. Setelah tersesat yang
paling buruk yang pernah saya rasakan, akhirnya saya mengambil keputusan, walau
masih dengan keragu-raguan. Di balik itu, saya pun masih penasaran: ada apa dengan saya?
Berdiskusi dengan beberapa orang teman tentu menyenangkan,
tapi sayangnya saya tidak berhasil menemukan jawaban atas apa yang saya
pertanyakan. Mungkin mereka adalah media refleksi bagi saya, ya, yang mana pada
akhirnya, ya sayalah orang yang harus menjawab pertanyaan saya sendiri. Saya
sudah coba untuk berdialog dengan diri saya, sampai bosan. Pada akhirnya… yah,
saya pasrah dan akan melanjutkan keseharian dengan rutinitas yang kurang-lebih
sama dengan yang sebelumnya.
Senin nanti (08.07.19) pekerjaan sebagai tutor di bimbel akan dimulai lagi, memasuki semester ketiga bagi saya, seperti kesempatan ketiga yang saya berikan pada diri saya –atau entah pada siapa. Keputusan yang sebelumnya 180° berbeda bisa langsung berbalik arah hanya dalam waktu kurang dari semalam, tepat pada malam sebelum rapat evaluasi. K mengatakan pada saya bahwa pada suatu malam ia bertemu dan berbincang dengan direktur bimbel yang notabene kawan kecilnya. Katanya, si direktur membahas saya. Kata direktur menurut penuturan K, saya terlalu egois.
Lalu saya teringat pada satu kericuhan yang saya sebabkan di grup
WhatsApp bimbel beberapa waktu lalu. Entah setan yang mana, saya meracau di
grup mengenai anak-anak yang diforsir belajar sampai pada menuduh para orangtua
yang terlalu kejam menggembleng anaknya yang berimbas pada beban yang harus
dipikul para tutor, para guru –atau mungkin hanya saya yang merasa demikian
lalu menggeneralisirnya, entah. ternyata kericuhan itu cukup menjadi hal,
sampai-sampai di direktur mengingat itu dan membahasnya lagi dengan K setelah
beberapa minggu berlalu. Tentu, saya tidak melupakan itu. Hanya saja saya tidak
menyangka bahwa si direktur pun tak lupa. Saya piker mereka akan menganggap itu
sebagai ocehan tutor yang stress. Nyatanya, bukan hanya direktur. Sang
koordinator pun masih mem-follow-up hal tersebut. Pada kemeracauan
saya itu, saya mempertanyakan apa sih sebenarnya prinsip dasar atau sistem yang
digunakan di bimbel. Pada dua rapat evaluasi, sang koordinator terus memancing
dengan, “Ada lagi? Mungkin soal sistem atau yang lainnya?” dan saya terlalu
pengecut atau malas untuk bertanya, padahal dalam kepala masih gamang dan penuh
tanya yang menggantung. (saya ingin mengumpat)
Kalau dipikirkan, sampai saat ini saya masih ragu-ragu. Saya takut
diri saya yang (kata seorang sahabat) idealis ini, akan bertemu dengan titik
klimaks emosi yang sama. Melanjutkan pekerjaan sebagai tutor di bimbel. Bertemu
dengan siswa- siswa polos dan penuh keingintahuan, dengan tingkat kemampuan dan
kapasitas yang beragam. Mendadak saya takut lagi. Saya takut tidak bisa
menghadapi mereka dengan baik. Takut tidak lagi memiliki kapasitas yang
seharusnya dimiliki seorang guru untuk memimpin siswa-siswanya. Saya takut pada
ketidakmampuan saya sendiri, lalu kemudian mencari-cari alasan dan menuding apa
saja untuk disalahkan atas kekerdilan diri ini. Sungguh terasa pelik.
Tapi kalau tidak dipikirkan, semua terasa biasa saja. Namanya juga
hidup, tidak selamanya akan berjalan mulus.
Ya, saya ternyata terlalu banyak berpikir. Benar kata K, “Kurang-kurangilah memikirkan hal yang tidak
penting.” Hanya membuat sakit kepala, juga sakit hati, dan juga sakit jiwa.
Uhuk, saya pun sempat merasa jiwa saya cedera di akhir semester kemarin. Rasa
lelah batin yang tidak terperi membuat saya enggan berkompromi dengan akal
sehat. Dan saat itu saya merasa tersesat pula. Saya kenapa? Saya mau apa? Saya harus bagaimana? dan
pertanyaan-pertanyaan tak penting lainnya yang kalau saya pertanyakan lagi,
akan saya jawab dengan rasa ragu-ragu dan parno. Tapi untuk saat ini, saya
berusaha menjawab dengan yakin, “Saya akan menjalani hal yang sama, namun
dengan tuntutan kepada diri sendiri untuk lebih beradaptasi dengan apapun itu,
dan mengurangi keegoisan, dan mencoba untuk fleksibel dengan sistem (yang entah
bagaimana), dan mencoba lebih toleran, dan mencoba lebih kuat lagi, dan akan
menyiapkan diri atas apa yang akan terjadi selanutnya. Untuk sementara, mari
jalani. Lalu, jadilah lebih berani, Mi.”
Rehat dari kegiatan perbimbelan selama seminggu awalnya terasa stressful. Saya terlalu menuntut sebuah refreshing yang muluk-muluk. Nyatanya,
pergi berkelana sendirian pun saya takut. Sedangkan kawan berkelana saya tidak
sedang libur. Satu-dua hari terasa sangat tidak menyenangkan. Hanya diam di
rumah, tidak melakukan apa-apa, tapi berpikir sangat keras bagaimana caranya
berlibur. Sampai akhirnya… saya memutuskan untuk menikmati sisa seminggu yang
singkat ini dengan tidak melakukan apa-apa (bukan total secara harfiah, ya),
tidak membebankan diri dengan pikiran macam-macam, eksperimen membuat makanan
atau minuman (padahal itu-itu saja), menamatkan beberapa buku yang belum tuntas
dibaca (tiga buku: “The 100-year-old Man
Who Climbed Up the Window and Disappeared” karya Jonas Jonasson; “11:11”
karya Fiersa Besari; dan “Rentang Kisah” karya Gita Savitri Devi, sekarang
semuanya sudah tamat), mengopi-ngopi, sesekali (baru sekali) berjumpa kawan dan
kongkow, dan saat ini sedang berusah menulis sebuah postingan sampai rampung.
Hari ini Sabtu, setelah Minggu, rutinitas akan dimulai kembali.
Semester baru, tahun ajaran baru, tentu siswa baru, dan tidak menutup
kemungkinan akan menyusun materi pembelajaran baru. Rasanya, saya harus mulai
lebih menggembleng diri untuk jadi tutor yang lebih giat untuk kreatif dan inovatif,
mematahkan asumsi diri bahwa saya sudah tidak capable lagi untuk mengajar sampai-sampai berpikir untuk berhenti
mengajar sementara. Payahnya pemikiran itu. Tapi, secara tidak langsung (atau
hanya perasaan saya saja?) bahwa K berusaha menggembleng saya untuk tidak udah
berpikir yang aneh-aneh, deh, padahal kamu mungkin hanya lelah dan butuh rehat
sejenak saja, tidak perlu sampai vakum. Oke, noted.
Pada kesempatan ketiga ini, saya akan mengabaikan
pertanyaan-pertaanyaan yang tadi tidak perlu dijawab, karena rasanya, apapun
jawabannya tidak akan membantu saya untuk melangkah lebih ringan ke depannya,
karena pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya akan mengundang pikiran-pikiran
negative untuk datang lagi. Tidak, tidak. Mari acuhkan saja. Selain itu, saya
ingin membuktikan pada si direktur kalau saya tidak ego, hah! Menyebalkan
sekali, meskipun hal itu benar, tetap saja saya tidak terima, ha ha ha. Biar K
saja dan keluarga dan sahabat yang mengatakan saya egois, yang saya bisa
terima. Tapi kalau sudah luar lingkaran itu, saya akan buktikan pada mereka
bahwa mereka salah. Hm, tentu saja mau tidak mau saya harus melawan musuh
terkuat saya, yaitu: diri sendiri. Sifat egois, keras kepala, hampir apatis,
dan anti-sosial yang bersemayam dalam jiwa saya rupanya pelan-pelan harus saya
jinakkan.
Wah, angin
yang berhembus kencang barusan sedang menyampaikan apa, ya?
Lagipula, setelah dipikir-pikir sambil menarik diri dari
ketersesatan yang memuakkan ini, saya sudah kedung cinta dengan dunia mengajar.
Cara terbaik bagi saya untuk tetap berinteraksi dengan manusia-manusia asing
dan menerabas semak-semak ketakutan saya akan bersosialisasi, bertemu siswa,
tutor lain, dan orangtua siswa. Benar-benar melatih saya untuk hidup sebagai
manusia, makhluk sosial. Walau terkadang saya tentu merasa kesulitan, tapi pada
saat yang bersamaan, saya pun merasa tertantang dan dengan senang hati
menghadapi tantangan tersebut. Jadi, bisa jadi benar bahwa setiap akhir
semester, rasa stress yang muncul itu adalah akibat dari akumulasi rasa lelah,
capek, bosan, jengah, kesal, dan lain-lain. Mungkin saya introvert, atau bisa
jadi ambivert. Jadi, saya mengalami yang namanya hangover, yang kemudian
saya munculkan istilah: mental exhaust. Keadaan di mana saya
mengalami kelelahan psikis akibat dari interaksi sosial yang berlebihan,
melebihi dari batas yang bisa saya tolerir. Mental
exhaust kemudian menyebabkan rasa stress yang berlebih. Padahal saya hanya
butuh seseorang saja, K misalnya, untuk berbincang mengenai hal-hal yang
sepele, lalu kemudian benang-benang kusut yang sudah kerukut menjadi lurus
secara perlahan. Sayangnya K tidak punya waktu luang sebanyak itu, tapi segitu
kemarin sudah cukup membantu setelah ada sebuah tragedi konyol yang terjadi.
Yah… I was mentally exhausted by the
routine and now I am recovering myself from that to be ready to face the other
routine, the new semester with the new schedule. Whatever ahead, I will try my
best to be well-prepared to face it. Bismillah.
Keluhan-keluhan dan hal tidak penting pada dua postingan yang saya
coba rampungkan sebelum postingan ini mungkin memang bukan hal layak untuk
dibagi karena tidak berfaedah. Maka, dengan sedikit perasaan puas karena telah
berhasil merampungkan postingan ini, saya sangat berharap pada diri saya supaya
setelah ini menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih baik, dan jauh lebih bisa
mengontrol emosi supaya interaksi sosial tetap sehat. Ah, jadi teringat bahwa
beberapa hari lalu saya sudah meracau dengan kasar pada seorang sahabat L
Akhir kata, karena perut sudah menuntut otak untuk berpikir akan
makan apa, kurang-lebihnya tulisan ini saya harap bisa menjadi pengingat pada
diri ini bahwa tidak semua kejenuhan itu harus berakhir dengan berhenti
selamanya. Bisa jadi, kejenuhan hanya butuh rehat sejenak tanpa memikirkan
apa-apa. Sudah.
Sekian, ya. Saya akan siap-siap sarapan dulu.
Untuk
diri: jangan lupa bahwa kamu bisa sewaras ini dan lebih baik lagi.
Comments
Post a Comment