Get to Know Myself: An Introvert #1
Hai. Baru semalam saya
sempat membaca sebuah artikel tentang Introvert
Hangover yang jauh sebelumnya sempat dibagikan seorang teman di WhatsApp. Sembari membaca itu, saya pun
menganalisis diri.
Pertama kali mendengar
istilah introvert – extrovert, saya langsung mengkategorikan diri sebagai
introvert. Yah, alasannya karena saya tidak mudah terbuka kepada orang lain,
dan merasa kesulitan saat berhadapan dengan sosial –berinteraksi. Tapi kemudian
saya merasa bahwa saya terlalu berlebihan dan mengada-ada, “Ah, kamu lebay, Mi.”
Eh alah, setelah baca
artikel itu, “Ya sudahlah, kamu juga
harus mulai mengenali diri sendiri supaya tidak merepotkan orang lain. Belajar
menerima diri sendiri sebelum menerima orang lain. Bukankah semua harus dimulai
dari diri sendiri?” Lalu, saya pun berniat untuk membaca lebih banyak lagi
tentang kepribadian introvert itu, pun dengan jenis-jenis kepribadian lainnya.
Saat baca buku Rentang Kisahnya Gita
Savitri Devi kemarin saya sudah merasa harus cari tau nih saya ini kepribadian
yang bagaimana, supaya tau diri. Dan sepertinya memang harus begitu. Supaya
tidak sering merasa “sakit jiwa”.
Kembali lagi ke introvert hangover. Gangguan-gangguan
yang saya alami tiap akhir semester sebagai tutor ternyata merupakan gejala si hangover itu, teman-teman. Kelelahan
akibat seorang introvert sudah mencapai batasannya dalam bersosialiasi.
Perbedaan introvert dengan extrovert ialah asupan energi sosial. Menurut yang
pernah saya baca, seorang introvert memiliki kapasitas yang lebih sedikit untuk
bersosialiasi, di mana bersosialiasi itu menguras energi mereka (inner energy), yang mana si ekstrovert
ialah sebaliknya; mereka meraih asupan energi dengan bersosialiasasi.
Satu semester = enam bulan,
secara umum. Memang, dalam satu semester tentu ada libur-liburnya begitu… namun
sering kali saat libur itu saya merasa lebih stress, tanpa alasan yang jelas.
Akhir semester kemarin, barulah saya merasa –mengakui bahwa diri ini sebenarnya
kelelahan secara mental, sampai-sampai saya merasa mental saya cedera, sakit.
Yang saya lakukan saat liburan semester kemarin ialah merasa stress berat
karena ingin resign dengan alasan
merasa diri sudah tidak capable lagi
untuk menjadi seorang guru (2 hari pertama –Minggu & Senin), lalu
menghadiri rapat pada hari Selasa di mana saya merasa yakin tapi kemudian
kembali ragu-ragu, sisa libur selanjutnya saya gunakan saja untuk menenangkan
diri. Walau pada Jumat dan Sabtu saya benar-benar meracau; marah-marah tanpa
alasan jelas kepada seorang kawan, memaksakan temu dengan K, dan lain-lain.
Saya merasa sangat jauh
dari kata stabil dan merasa sungguh goyah dan segala kata yang mendefinisikan
ketidak-imbangan pada pikiran saya. Rasanya seluruh hal di sekitar saya,
perasaan dan bahkan pikiran, dipenuhi energi negatif yang tidak mampu saya
talangi sendiri. Stok energi positif yang saya miliki rasanya sia-sia, atau
bahkan mungkin hampir nihil. Saya merasa insecure
di mana pun saya berusaha menenangkan diri, merasa sedikit gusar, sedikit-sedikit
sedih atau durja, pokoknya segala energi negatif yang menjelma menjadi
perasaan… kecuali: keinginan untuk bertemu K.
Entah sejak kapan, tapi
ternyata baru-baru ini saya menyadari bahwa terkadang saya hanya butuh semacam
anti-depresan dalam wujud manusia; yang mendengarkan pun juga memberi sedikit
masukan atau tanggapan, atau bahkan menyentak saya dengan pernyataan jujur
tentang saya sebenarnya kenapa. Sabtu malam itu K hanya terkekeh sambil
mengatakan bahwa saya ini hanya butuh ngobrol. Dengan dongkol namun sedikit
meleleh saya membenarkan sambil gemas.
Setelah dipaksa memesan
makanan dan makan, saya merasa lebih baik. Lalu, hanya berbincang sedikit dan
lebih banyak duduk bersampingan sambil sibuk dengan ponsel masing-masing, saya
merasa lebih baik lagi. Rasanya seolah emosi dan energi negatif yang berletupan
mereda, tenang, dan pingsan untuk entah sampai kapan, semoga cukup lama.
Gejolak emosi dan energi negatif yang saya rasakan benar-benar mengganggu dan
membuat saya hampir merasa gila. Muncul ketidakmampuan pada diri ini untuk
memikirkan hal-hal positif, untuk termotivasi mengejar mimpi-mimpi, bahkan
untuk tersenyum di depan cermin pun rasanya tolol. Separah itu yang bisa saya
jabarkan.
Usai malam itu, saya bisa
merasakan lagi energi positif dalam diri saya bertumbuh, merekah. Saya pun jadi
mampu berpikir waras lagi, memikirkan kata-kata yang hendak diucapkan dengan
baik. Tersenyum di depan cermin pun bukan hal yang sulit.
Saya ingat-ingat kembali…
hari-hari yang penuh jadwal di bimbel, di mana saya pernah merasa hampir
meledak karena merasa sesak, lalu kabur ke kamar mandi hanya untuk bernafas
sejenak, menyandarkan kepala di tembok dan kadang meneteskan air mata lelah.
Bukan karena apa-apa sih, hanya merasa butuh ruang. Tak perlu juga lama-lama, cukup
lima menit. Itu seperti mengisi ulang energi yang sudah terkuras. Hmm… baru
saya sadari.
Atau hal yang lebih sepele,
menelepon K hanya untuk mendengar suaranya, lalu merasa baikan dan siap lagi
untuk kembali ke rutinitas. Percakapan receh: Halo.
Iya, kenapa?
Nggak ada apa-apa sih. Lagi kerja?
Iya. Nanti ta kabari, ya.
Oke.
Iya, kenapa?
Nggak ada apa-apa sih. Lagi kerja?
Iya. Nanti ta kabari, ya.
Oke.
Sudah. Begitu saja.
Awal semester kemudian
menjadi masa yang cukup aman bagi saya. Puncak pertama mungkin pada pekan Ujian
Tengah Semester, yang kemudian menggoyahkan mental sampai pada pekan Ujian
Akhir Sekolah. Sisanya, bisa ditebak: akhir semester saya akan kacau dan
carut-marut.
Comments
Post a Comment