Kabar
Sudah
Agustus, apa kabar?
Mari
mulai perlahan-lahan.
Dua
malam lalu, otak saya begitu encer sehingga akhirnya saya berhasil
menyelesaikan sebuah #Surat, lalu kemudian thread di Twitter soal
kebiasaan membaca sejak dini, lalu sebuah tulisan singkat soal menemukan diri.
Lalu
ada dua pertemuan singkat yang cukup mengguncang emosi dalam dada. Yah, pada
ujungnya tetap bisa dijadikan bahan menulis juga.
Dan
pada Minggu pagi ini, dalam rangka meningkatkan semangat untuk beraktifitas
dengan seabrek pekerjaan rumah, saya mengetik tulisan saja, mencoba merangkum
beberapa perisitiwa yang rasanya berharga bagi diri ini, supaya tidak lupa,
supaya bisa mengingatkan diri kalau-kalau saya sedang kurang sehat mentalnya.
Mulai
dari mana?
(1)
Self-love.
Mencintai
bukan perkara sulit, pun bukan perkara mudah. Rumit. Tapi cinta itu sendiri
luas. Untuk segala hal, mulailah dari diri sendiri, termasuk mencintai.
Baru-baru
ini, tapi dalam periode yang sangat singkat, saya sempat merasakan betapa
bahagianya bisa punya waktu untuk mencintai diri sendiri. Hal-hal sederhana
sebenarnya, tapi seringkali yang saya lakukan adalah berharap terlalu banyak,
namun memaafkan terlampau sedikit. Ini soal kepada diri-sendiri, ya. Setelah
saya telaah, lalu saya tiba pada penyadaran diri bahwa saya sering menyulitkan
diri sendiri padahal orang lain malah mempermudah segala hal. Contoh kecil,
ketika gagal bertemu, saya yang merasa sakit sendiri karena entah kenapa,
ketika saya pikir-pikir lagi, saya bingung juga kenapa segitunya. Analoginya
seperti api kecil yang tiba-tiba membesar, tak jelas apakah ada yang menuang
bensin atau angin kencang berhembus, kemudian mengecil sendirinya.
Kejadiannya
kemarin. Sehingga saya putuskan untuk memutus emosi dengan memaksakan tidur
sejenak, mungkin saya lelah. Ketika bangun, saya terlupa sejenak sampai
akhirnya saya ingat lagi, lalu coba memahami apa yang terjadi, tapi percuma,
semua kemarahan saya hanyalah kekonyolan semata rupanya. Saya pun berdiam,
meredam emosi yang nakal –mencoba kambuh memicu ledakan lagi. Kuat-kuat saya
meredamnya, melupakan hal receh yang sungguh meresahkan. Saya harus berdamai
dengan diri sendiri dulu. Sebelum tidur, alih-alih mengirimkan pesan
“mengomel”, saya kirimkan pesan “baik” padanya, dengan penyadaran bahwa tidak perlu
menggebu-gebu menunggu balasannya karena ia sedang bekerja.
Lama
juga waktu yang saya butuhkan untuk berdamai dan memaafkan diri, meresapi dan
memahami apa yang saya ingini, sehingga bisa cukup stabil untuk berinteraksi
dengan orang lain. Pada dua pertemuan, saya entah bagaimana selalu sempat
menitikkan air mata ketika coba menceritakan tentang hal yang sifatnya
rutinitas kepada K. Ketika bercerita, saya merasakan diri ini menggali dalam
untuk menemukan apa yang saya pendam-pendam, sambal menunggu waktu yang tepat
untuk membagikannya pada orang yang saya rasa tepat. Hal itu keluar dalam
bentuk semacam keluh-kesah, walau sebisa mungkin saya sampaikan tanpa nada
mengeluh, tapi saya selalu merasa gagal. Padahal saya tidak ingin mengeluh pada
dia, saya tau –sebagaimana manusia pada awamnya, kita semua punya masalah –dia
pun punya masalah tersendiri. Nah, barangkali yang membedakan adalah bagaimana
saya dan dia menyikapi masalah kami masing-masing, di mana saya cenderung
cengeng dan merasa selalu butuh wadah untuk itu semua, dan dia? Entahlah, saya
takut salah beropini tentang dia. Semoga dia selalu diberi kekuatan lebih untuk
menyikapi apapun, termasuk rengekan bocah dari saya.
Soal
hal-hal yang saya pendam, itu adalah hal-hal yang masih ada kaitannya dengan,
yah, pekerjaan, prinsip, ideologi, dan antek-anteknya. Sejak saya membuat ricuh
grup WhatsApp, saya coba untuk introspeksi diri, mungkin salah terletak pada
saya.
Malam
itu, yang telah sebulan lalu, K berpesan: Jangan sampai persepsi orang
mengubah persepsimu.
Bahagia
betul saya waktu dia mengatakan hal itu. Saya tertegun dan meresapi
kata-katanya, menyimpannya dalam benak, mengalirkannya ke seluruh raga melalui
pembuluh darah yang mungkin sudah bercampur kafein. Usai itu, saya berusaha
mencari diri saya lagi, karena sebelumnya saya merasa tersesat. Menemukan bahwa
dia masih di sana, masih bisa memahami apa yang tidak bisa saya uraikan dengan
baik, dan memberi solusi yang saya rasa mengena, sungguh cukup. Saya butuh
memiliki satu orang seperti dia di antara kekacauan yang terjadi dalam diri
saya. Terima kasih.
Kemarin,
atau dua hari lalu, K kembali memberi pesan: Jangan takut. Hal baik pada
dirimu tidak akan hilang walau lingkungan sekitarmu kamu rasa tidak cukup baik.
(dalam redaksi yang saya perbaiki, atas dasar keterbatasan ingatan
saya)
Dia
utarakan itu ketika saya merengek padanya bahwa usaha saya untuk memahami
sistem pada lingkungan kerja saya berujung pada kegundahan, karena
berseberangan dengan apa yang saya anut. Dia mengangkap bahwa saya agak disorientasi,
awalnya saya bekerja murni karena ingin mengajar, lalu belakangan saya mulai
menjadi lebih “berhitung”. Itu ia pahami pula dengan baik. Dan sekali lagi,
terima kasih. Lantas, ia bekata: sekarang kamu sudah memakai sistem
berkaca, ya… Maksudnya, saya mengadopsi apa yang tempat kerja lakukan,
yang selama ini saya hindari. Saya hanya terkekeh dan berdalih, “Yah,
daripda minta dingertiin terus. Sekarang saya coba dengan cara mereka. Tapi,
yah, tidak nyaman.” (tentu dalam redaksi yang saya perbaiki, agar jelas.)
Dia pun terkekeh. Lalu keluarlah wejangan di atas tadi. Saya tertegun lagi,
lalu mengangguk. Bahwa saya tidak perlu memahami siapapun, tidak perlu mematuhi
sistem manapun, tidak perlu merasa tidak nyaman atas apapun, selama saya tahu
apa yang saya yakini, yang menjadi dasar saya melakukan hal-hal, yang membuat
saya nyaman, sudah. Saya hanya perlu memahami diri saya, hampir self-centered,
ya? Tapi rasanya memulai dari memahami diri sendiri itu tidak akan fatal.
Seolah
semesta berkonspirasi, pada lini-masa Instagram sering saya temukan topik self-love
dan mulailah mencintai diri sendiri, maka akan mudah untuk mencintai orang
lain, hal lain, dan yang lebih luas dari itu. Ya, ya, ya… saya pun belajar
untuk mengenali diri saya, mencari tahu apa yang bisa membuat saya bahagia, dan
berfokus pada diri sendiri. Konsep ini adalah yang ke-dua. Yang pertama saya
coba pelajari ialah bagaimana memaafkan diri sebelum memaafkan orang lain.
Alhamdulillah, sejauh ini saya merasa telah berhasil 😊 Terima kasih, aku.
Namun
ternyata, bosan juga berkutat dengan diri sendiri tanpa berbagi. Ha ha ha.
Lantas, hanya dia orang yang nyaman saya jadikan kawan berbagi. Sayangnya dia
masih disibukkan dengan pekerjaan yang semoga menjadi jalan dalam memudahkan
apa yang dia usahakan, aamiin. Dua pertemuan terakhir, oh, rasanya tiga! Terasa
seperti meneguk tetes-tetes melegakan air mineral di tengah siang terik yang
mendahagakan. Puas? Tentu belum. He he he. Tiga teguk dari seember yang
dibutuhkan, mana puas. Tapi, bukankah kita harus lebih sering bersyukur atas
apa yang sudah kita dapatkan daripada mengeluhkan yang belum tercapai? Okesip.
Lalu saya mengetik ini, mengabadikan tiga tetes yang berharga itu.
Entah
ini titik apa, ya. Sudah cukup mencintai diri ataukah butuh dicintai, yang
jelas rindu butuh temu, ya, K. Hi hi hi.
BTW,
the source of happiness is in you, not in others.
(now
playing: Harapan
– Fiersa Besari)
Kopi
susu yang mendingin mulai mendekati sesap terakhir, diminum sedikit-sedikit.
Karena, seperti pertemuan kita, makin sedikit sisa waktu, makin enggan untuk
menyerahkan jarak pada waktu.
Lalu,
pada teguk terakhir, saya berharap waktu segera meluang untuk memberi ruang
pada rindu untuk pulang. (4/8/19)
(2)
Pekerjaan
Topik
ini rasanya masih dalam proses adaptasi lagi. Namun saya menyadari, bekerja
dengan anak-anak bukanlah hal mudah. Hal ini bisa jadi sangat serius karena
yang kita bangun bukanlah strategi pemasaran, ataupun fondasi bangunan yang
sewaktu-waktu bisa direvisi atau direnovasi. Bekerja dengan anak-anak rasanya
tidak boleh setengah hati, tidak boleh egois, dan harus bisa fleksibel dengan
segala improvisasi mood mereka. Bekerja dengan anak-anak butuh kepekaan tingkat
paling manusiawi, tidak perlu trik ini-itu yang bertele-tele karena pada
dasarnya mereka bukanlah makhluk yang penuh intrik, mereka masih polos, tidak
seperti saya yang sudah banyak terkontaminasi. Saya rasa, yang dibutuhkan dalam
pekerjaan yang melibatkan anak-anak ialah tekad yang kuat dan jelas pada tujuan
menjadikan mereka manusia yang memiliki sense of humanity yang lebih
baik daripada generasi sebelumnya. Masa depan kita bergantung pada bagaimana
mereka kelak, yang mana semuanya dimulai dari saat ini juga.
Mengajari
anak-anak 3-10 tahun rasanya riskan, menantang, nyaris mudah, namun rentan
membuat menyerah. Sebagai tutor (saya merasa berat menggunakan istilah “guru”,
karena saya merasa tidak pantas untuk menggurui siapapun), ini bukan hanya soal
keberhasilan akademik. Anak-anak, sebagaimana proses alaminya, adalah makhluk
yang butuh banyak kesenangan. Belajar, dengan aturan yang kaku, tentu saja
mengekang mereka, memaksa mereka berjalan pada lajur yang kurang sesuai bagi
mereka. Kalau melakukan itu, saya pasti merasa telah merampas masa kanak-kanak
mereka yang berharga. Jadi, mari ikuti saja alur mereka; bermain tapi belajar.
Sudah,
ah. Bosan mengulang-ulang bahasan ini. Ha ha ha. Intinya, saya terus belajar
menjadi teman belajar yang menyenangkan bagi anak-anak.
Menjalin
ikatan yang erat dengan mereka gampang-gampang sulit. Kalau sudah terjalin,
takutnya mereka sulit lepas. Kalau belum, mereka tidak percaya pada kita. Kita
harus tunjukkan pada mereka bahwa mereka bisa mengandalkan kita. Mengingat
pendapat K, saya begitu senang (lagi). “Karena kamu tuh kalo ngajar bukan
sebagai guru, tapi sebagai kakak.” He he he. Bisa dibenarkan, karena
saya lebih senang belajar dengan mereka, daripada mengajari
mereka. Analoginya, sama-sama membuka diri, saling mengisi. Dari pertama kali
mengajar sampai sekarang, masih tetap seperti itu. Saya nyaman. Meski
seringkali saya merasa kurang capable untuk mengemban tugas dalam
pekerjaan sebagai pengajar ini.
Setiap
anak adalah individu yang berbeda dengan segala keunikannya masing-masing,
dengan segala potensinya masing-masing, dengan segala kebutuhan dan gaya
belajarnya masing-masing. Kewalahan dalam meng-cover semua perbedaan
itu? Tentu saja. Tidak jarang saya merasa gagal, tapi selalu membahagiakan
mendapati bahwa mereka berhasil juga. Senyum bisa abadi rasanya kalau mengingat
keberhasilan mereka.
(3)
Hobi
Dulu
saya sanggup begadang cuma buat ngeblog atau ngetik cerpen. Dulu, dikit-dikit
ngeblog. Sekarang, eh, semenjak kuliah kebiasaan-kebiasaan itu makin ga sempat
dilakuin lagi. Apalagi setelah lulus. Ekspektasi bisa lebih punya waktu untuk
hobi karena udah ngga ada tugas yang harus dikumpulin, ternyata ngga juga.
Setelah seharian capek kerja, yang diinginkan tubuh dan otak hanyalah rehat dan
rehat. Tubuh ingin rebahan, mata ingin terpejam, otak ingin menjeda memikirkan
problema dalam pekerjaan ataupun mendaftar tugas-tugas yang belum usai.
Alhamdulillah,
sekarang sejak sudah punya laptop sendiri jadi bisa lebih produktif lagi.
Dimulai dari menulis hal receh, kemudian semoga bisa menulis hal-hal yang lebih
bermakna, bagi diri sendiri dulu, alhamdulillah lagi kalo bisa menginspirasi
atau mencerahkan orang lain yang sedang mengalami kebuntuan 😊
Sejak
ada wacana akan segera memiliki laptop sendiri, otak sudah mulai menuntut untuk
memikirkan hal produktif apa yang bisa saya kerjakan kelak. Tidak boleh
sia-sia. Harus bisa melakukan lebih! Keinginan untuk belajar desain grafis pun
muncul. Lalu, saya pikir itu agak muluk-muluk, sampai akhirnya saya menemukan
bahwa menulis bukan melulu artikel, bukan melulu buku, bukan melulu
penghiburan, bukan sebatas cerpen-puisi, bukan pula sebatas curhat begini. Saya
tertarik pada content writing dan hendak mengenali apa itu UX
Writing. Bismillah.
Saya
juga pengen dong punya hobi yang bisa dijadikan sumber penghasilan, he he.
Tidak mengharap jumlah yang bisa mengcover DP mobil atau rumah,
sederhana saja, bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kan do what you love
and love what you do, tho?
Sekarang
ini sedang bisa menikmati hari Minggu atau pagi hari yang senggang dengan
mengetik untuk blog seperti ini. Godaannya masih sama, yaitu, main hape atau
buntu mau nulis apa lagi. Seringkali kepentok sama pemikiran kalo ih, nulis
apaan sih, Mi? Lupa kalau menulis sama sekali bukan untuk orang lain. Yap!
Sejak
dulu sih saya sering menulis (ataupun mengetik) ini sebagai wadah saya “buang
sampah”. Belakangan baru saya menyadari bahwa “ritual” ini ternyata bisa
menjadi terapi bagi saya yang kadang over-thinking ini. Senangnya bisa
kembali ke masa senang dan menikmati mengalirkan isi kepala dalam bentuk
kekata… Seperti bertemu kekasih.
Menulis
masih menjadi hobi, tentu saja. Pada awal-awal bekerja dan jenuh, saya memaki
pekerjaan yang menyita begitu banyak waktu saya sehingga untuk diri sendiri pun
saya sulit sisihkan. Sampai akhirnya saya belajar untuk lebih terorganisir
lagi, lebih kaku lagi dalam membagi diri, membagi waktu, membagi petak-petak
pada otak, dan punya waktu untuk berdamai dengan segala kerumitan yang muncul
pada masa adolescence ini. Beradaptasi dengan fase baru. Eh, termasuk
dengan pemikiran-pemikiran baru.
Menulis
membantu sekali dalam usaha saya memetakan isi pikiran, tentu. Lalu dari
menulis ini saya belajar menemukan dan menerima bahwa sekarang sudah beda lagi
akan semua hal. Bahwa semua hal sudah berjalan maju, beberapa hal perlu
ditinggalkan, beberapa hal baru harus dipelajari, dan beberapa perubahan tak
pelak untuk datang. Bismillaah…. Semua ini memang sudah waktunya.
Menulis
sungguh membantu saya dalam menghadapi perubahan fase hidup, membantu saya
menyadari bahwa saya sudah harus maju, membantu saya dalam berpikir lebih dalam
lagi, yang mana kemudian mengajarkan saya untuk merelakan, memaknai, dan
berusaha untuk tumbuh lebih baik lagi.
Bukan
hanya menulis beginian, nih. Dulu saya sanggup nulis cerpen, yah, walau picisan
gitu, dan merasa struggle sekali untuk menelurkan sebuah puisi. Namun
nyatanya, sekarang malah lebih mudah menulis puisi. Ketika membaca lagi
puisi-puisi yang saya tulis, saya terkekeh takjub sendiri, ha ha ha, bisa
juga akhirnya nulis puisi yang keren. Ah, ternyata menulis puisi memang
tidak butuh pura-pura, hanya butuh kepekaan terhadap perasaan pribadi. Oh, saya
mulai dulu dari peka terhadap perasaan pribadi, ya, jangan diamuk. Menyenangkan
bisa merangkai kata yang singkat namun bisa mewakili perasaan yang kompleks!
Salah satu kebahagiaan yang saya temukan, finally!
Yah,
saya bisa kembali menikmati waktu dengan melakukan hobi menulis ini merupakan
salah satu sumber kebahagiaan tersendiri.
Waktu
itu saya sempat terseret arus. Kebahagiaan semu, dengan bertemu kawan dan
bertukar cerita. Kebahagiaan fana yang menipu saat saya pikir bahwa saya sudah tidak
butuh menulis lagi, bahwa saya hanya ingin bertemu K dan bercerita tentang
banyak hal, lalu sudah. Kebahagiaan yang salah ketika saya mengira kebahagiaan
bisa saya dapati dari orang lain. Saya yang ternyata introvert ini memang
hakikatnya bisa dengan mudahnya berbahagia ketika menemukan diri dan menikmati
kebersamaan dengan diri. Karena, terima kasih, waktu menunjukkan bahwa kita
tidak bisa menggantungkan kebahagiaan pribadi pada orang lain. Nyatanya, saya
bisa dengan mudahnya sakit hati hanya karena seseorang di sana yang belum punya
waktu untuk bertemu dan berbincang seperti “dulu”. Bahwa waktu juga mengajarkan
yang “dulu” menyenangkan belum tentu bisa jadi sama menyenangkannya jika terjadi
“sekarang”, karena waktu itu memberi pembelajaran tentang perubahan, pandangan
ke depan, dan harus terus melaju maju.
(1)
saya tidak punya hak menuntut waktu pada waktu orang lain; (2) saya tidak bisa
keukeuh memakai pakem lama di masa kini; (3) saya harus belajar merelakan
penundaan yang berakhir pada pembatalan temu; (4) saya harus bahagia dengan
apapun yang terjadi di masa lalu, menerima yang tidak bisa diraih, dan terus
belajar; (5) belajar untuk menghargai waktu yang saya miliki, menghargai waktu
yang orang lain miliki, menyadari bahwa orang lain dan waktunya adalah hak
milik dia sepenuhnya untuk membagi kepada siapa saja waktunya akan diluangkan,
(6) sabar dalam menunggu, karena buah kesabaran itu manis.
Comments
Post a Comment