Taman Kanak-kanak, Les Calistung, dan/atau Daycare


Pagi ini secara terencana bertemu dengan seorang kawan yang jiwa bisnisnya tinggi sekali, lalu secara tidak sengaja membahas peluang bisnis untuk mendirikan daycare. Hal tersebut saya amini dengan landasan bahwa orangtua milenial memang butuh tempat secamam daycare untuk “menitipkan” anak mereka selagi mereka disibukkan dengan mencari pundi-pundi berlian. Menitipkan secara istilah maupun harfiah. 

Nyaris sepanjang hari, ketika ada jeda, saya kepikiran. Ada usaha untuk mengurai benang merah antara Taman Kanak-kanak, les calistung, dan daycare. Terasa sekali ada benang merahnya, tapi ibarat melihat benang merah saat senja, sulit nampak. Maka, opsi terakhir yang bisa saya lakukan ialah mencoba menguraikannya perlahan lewat tulisan. Bersabarlah, saya akan berusaha pelan-pelan.


Saat ini saya berkecimpung di dunia pendidikan bagian les calistung. Ya, mengajari anak-anak 4-7 tahun melancarkan baca-tulis. Yang usia TK, tentu untuk persiapan masuk SD. Yang usia SD kelas 1-2 tentu untuk memfasihkan kemampuan literasi mereka. Kedua kelompok tentu memiliki tantangannya masing-masing.

Tibalah kemudian satu pertanyaan yang benar-benar bikin saya bingung. Mengapa anak TK tidak difokuskan untuk calistung kalau memang syarat masuk SD ialah harus bisa baca-tulis-hitung? Gap itu tentu memunculkan peluang bisnis; les calistung. Beberapa TK berdasarkan siswa-siswa saya, memang mengajarkan dasar-dasar calistung, namun sebagian lainnya hanya memfasilitasi anak untuk bermain dan bersosialisasi. Parahnya, pada beberapa kasus, anak-anak usia SD kelas 1-2 yang belum lancar membaca, di sekolahnya malah dimanjakan oleh guru dengan dibacakan soal, atau jadi korban bully oleh teman-teman lain lalu dianggap sebagai penghambat kegiatan belajar-mengajar di kelas. Parahnya lagi, pada satu kasus, guru-guru pun ikut termakan opini demikian (entah karena berasal dari mereka, atau terprovokasi oleh opini siswanya sendiri), guru-gurunya sendiri turut mengintimidasi siswanya sendiri dengan meng-underestimate siswa yang bersangkutan.

Adanya les calistung tentu menjadi angin segar bagi para orangtua dengan kesulitan serupa di atas, solusi bagi permasalahan mereka. Kadang masalahnya hanya waktu, bisa jadi waktu untuk mendampingi anaknya dengan sabar yang tak pernah tersedia karena sudah tersita banyak untuk mengurus pekerjaan. Sampai pada saat pekan pembagian rapot, sampai tutornya harus ikut ke sekolah untuk menyatakan bahwa si siswa layak naik kelas karena sudah menunjukkan progres dan sudah meningkat kemampuannya. Sayangnya, bahkan sampai pada titik itu pun para guru sudah kedung putus asa terhadap kemampuan siswanya sendiri, tidak mau percaya lantaran si siswa tidak mau membaca ketika diminta oleh guru di sekolahnya, lalu menyatakan sendiri bahwa ia tidak suka dengan guru-guru di sekolahnya, lebih sayang pada tutornya di tempat les. Tidakkah mereka merasa sedih, para guru itu, mendengar pernyataan yang demikian?

Saat ini siswa itu sudah naik ke kelas 2, dan pindah sekolah, tentu saja. Sekali saya pernah mendampinginya belajar selama beberapa bulan sampai ada tutor baru yang kemudian berhasil membuat siswa ini melampaui batasannya sendiri sampai bisa percaya diri untuk terus mencoba membaca dan terus berusaha.

Sampai sini, masalahnya sudah bertambah menjadi dua: (1) tidak sinkron antara kurikulum TK dengan persyaratan masuk SD Negeri; (2) karakter guru yang meng-underestimate muridnya sendiri.

Biar saya bertanya lagi (pertanyaan yang masih saja belum saya temukan jawabannya): apa sih fungsi sekolah kalau anak harus butuh les lagi?


Untung sih sebenarnya, karena jadi ada peluang usaha. Lalu, ada lagi masalahnya, yang ini diutarakan jua oleh kawan saya itu: mengapa sekolah negeri (mungkin yang swasta juga) tidak tertarik untuk me-reshuffle tenaga pengajar mereka, di mana tiap tahun lulusan FKIP maupun IKIP makin bertambah saja. Ya, kalau alasannya belum berpengalaman, kenapa mesti dipersulit? Berikan saja kesempatan perdana bagi mereka untuk menjajaki pengalaman pertama mereka. Jangan sampai itu menjadi lingkaran setan: cari kerja, tapi persyaratannya fresh graduate, lalu mereka diharuskan berpengalaman, lalu mereka melamar untuk mengumpulkan pengalaman, namun lapangan tersebut menolak, diulang lagi. Kan…. Jadi speechless.

Hidup kalau mau rapi-rapi saja, ada aja berantakannya. Hanya saja titik berantakannya tidak sama semua.

Lanjut lagi: menurut kami, para fresh graduate tentu jiwa muda kreatif yang membara ingin menerapkan ilmu mereka secara nyata dengan menggebu-gebu. Namun, dijegal begitu saja oleh kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak. Kami meyakini bahwa fresh graduate tentu bisa jadi lebih inovatif dan enerjik ketika mengajar.

Banyak sekali saya mendapati keluhan dari siswa soal guru-guru sepuh dan gaya mengajar mereka yang membosankan. Sedih, sih, mendengarnya, tapi mereka (siswa-siswa) tidak bisa dipersalahkan. Pasalnya, beda zaman. Ali bin Abi Thalib (ra) pun berpesan untuk mendidik anak sesuai dengan jamannya, bukan jaman emak-bapaknya; sungguh tidak bisa disalahkan keluhan para siswa. Namun, yang disayangkan adalah … kebijakan usia pension bagi guru, agaknya kelamaan. Bukankah ilmu pengetahuan butuh untuk terus diperbaharui? Kenapa itu tidak sama dengan tenaga pengajarnya juga?

Maafkan kalau bahasannya loncat-loncat ya.

Mari kita sambung dengan bahasan daycare. Saya teringat ketika adik seorang kawan saya masih TK dulu, ia dititipkan seusai jam sekolah di TKnya sampai dijemput. Lalu tidak ingat contoh lainnya. Namun, yang mengusik tentu saja adanya jasa pentipan anak di TK itu sendiri. Begini, saya belum banyak survey, sih. Setahu saya, TK ya tidak selalu menyediakan jasa daycare begitu. Nah, nampaknya ada opsi lain yang kemudian muncul: tempat les (sekalian tempat titip).

Berdasarkan pengalaman, rata-rata siswa yang “dititip” ialah yang ibunya atau orangtuanya bekerja. Sebenarnya tidak terlalu menjadi hal ketika anaknya cukup mandiri. Dalam kasus ini, di tempat saya, para tutor biasanya menghandle per individu berdasarkan jadwal. Nah, perhatian saya sebagai tutor untuk siswa privat tentu tidak se-multitasking yang dibutuhkan. Ketika ada siswa yang “terpaksa” extend lalu masi senang “nempel” dengan tutornya, tentu agak membuyarkan perhatian kepada siswa selanjutnya. Kawan saya kemudian menyimpulkan bahwa anak-anak itu hanya butuh perhatian dan kasih sayang. Tentu saya benarkan, karena secara naluriah, anak-anak memang lebih membutuhkan itu.

Yah, mau tidak mau diemong saja.

Ketika pelajaran di TK tidak bisa meng-cover kebutuhan anak untuk memenuhi persyaratan masuk SD, maka akan timbul masalah ketika di bangku sekolah dasar. Hal itu kemudian menjadi sesuatu yang dirasa beban oleh sebagian guru di sekolah, yang kemudian kesimpulannya bisa jadi tiga: (1) peduli, lalu memberikan kelas tambahan khusus untuk calistung; (2) bersikap bodo amat; (3) menjadikan siswa sebagai objek yang dipersalahkan karena dianggap memperlambar proses belajar-mengajar.

Gap tersebut kemudian menjadi celah bagi bisnis di dunia pendidikan, membuka les calistung (sekarang sudah banyak, padahal jaman saya dulu rasanya tidak ada yang namanya les waktu TK, saya pun tidak ingat siapa yang ajari calistung, kata ibu saya, saya tau-tau sudah bisa membaca, yang saya sadari ialah saya gemar sekali menulisi tembok dengan pensil atau spidol, dan juga menulisi papan tulis dengan spidol atau papan triplek dengan kapur (sampai dibelikan 1 kotak hehe), yang saya ingat tentang masa kecil ialah main, bukan les). Para tutor di tempat les akan memoles ketidaksempurnaan hasil dari sistem pendidikan (atau kurikulum(?)) negeri. Yang bikin pakem adalah kurikulum dari mendiknas, yang panik orangtua cari les sana-sini karena kurikulum nampaknya mustahil mampu mencapai pakem yang ditetapkan, yang dituntut ialah lembaga pendidikan informal beserta tutornya, yang ditekan dan yang akan tertekan ialah anaknya. Apakah kita memperlakukan anak-anak dan siswa-siswa ini sebagai subjek atau objek?

Sebagian orangtua yang sudah merasa “pasrah”, tentu akan menyerahkan anaknya nyaris sepenuhnya pada lembaga untuk dipoles. Tak jarang, saking sibuk orangtua ada yang tidak sempat membaca atau mendengar feedback yang disampaikan tutor. Atau, tak jarang pula orangtua yang kurang mengenali anaknya sendiri. Menemui itu, saya merasa sedih sambal berdoa semoga saya bisa menjadi lebih baik. Tapi tentu tidak semua, tidak pula mayoritas. Masih ada kok orangtua yang secara detail berbagi tentang anaknya sebelum dilepas ke tutor, dan itu sungguh-sungguh menghangatkan dan membantu kita sebagai tutornya untuk mendampingi anaknya belajar.

Menjadi bagian dari tenaga pengajar, segala jenjang, rasanya butuh untuk punya intuisi sebagai orang yang peka. Soal kesabaran, jangan ditanya. Kenyamanan siswa yang sering saya anggap adik sendiri pun kadang-kadang menjebak diri ini, tidak tega mendorongnya untuk belajar banget, kebayang dari pagi udah belajar di sekolah, huhu.

Apakah sudah cukup koheren?

Oh! Saya baru ingat lagi. Ketika saya hampir putus asa menangani siswa yang susah fokus, saya cari di internet mengenai perkembangan literasi pada anak. Hasilnya? Bahwasanya normal kalau anak di bawah lima tahun belum fasih baca-tulis karena memang perkembangan otaknya demikian. Anak-anak kemudian dianggap mapan untuk baca-tulis ketika mereka berusia 7-8 tahun. Kaget, dong, saya menemukan fakta tersebut. Otomatis saya bernafas lega dan berkata pada diri, “Yah, jangan dipaksa. Nanti pasti ada saatnya mereka akan punya kemauan untuk belajar dan semangat untuk bisa. Pasti aka nada masanya. Tiap anak pun punya perjalanannya sendiri, dengan kecepatan dan rintangannya masing-masing.

Meski demikian, adaaaaaaa aja orangtua siswa yang datang dengan ekspektasi penuh bak besar pasak daripada tiang terhadap anaknya, yang kalau anaknya tidak sebaik yang dia tau, dia akan protes dan mengklaim sebaliknya. Tidak masalah, sih, sebenarnya… hanya saja… ya, kok, kalo emang anaknya katanya bisa, ya, kenapa tidak dibimbing sendiri saja, gitu.

Sebelumnya, mohon maaf kalau isi tulisan ini banyak opininya, ya karena itu yang lihat dan rasakan, toh kita merdeka untuk beropini, kan?

Ya, sering gemas kalau ada orangtua yang demikian, he he he. Padahal tutor dan orangtua bisa bersinergi untuk menyokong anak mencapai pencapaian tertinggi mereka.

Still, saya masih merasa cukup idealis untuk urusan ini. And no one can stop it or cut it off from me, he he.

Saya coba simpulkan:

Kurikulum di TK yang agaknya tidak sanggup mencapai target untuk menyiapkan siswa mereka masuk SD membuat celah untuk bisnis les calistung, yang mana membuat orangtua bisa agak berlega hati karena ada solusi bagi mereka menjembatani anak-anak mereka untuk bisa sampai pada pemenuhan persyaratan masuk SD. Kemudian, disebabkan oleh orangtua bekerja, seringkali anak-anak terpaksa terlambat dijemput dari tempat les, yang mana tentu masih menjadi tanggungjawab pihak tempat les, yang jika dikerucutkan lagi masih menjadi tanggungjawab si tutor sampai anak dijemput walau menurut SOP sudah usai masa pertanggungjawaban tutor terhadap siswanya sampai selesai waktu belajar, karena si tutor masih akan harus meladeni siswa selanjutnya. Secara naluriah, anak-anak tentu akan dengan senang mencari perhatian untuk dikasihi dan disayangi yang mana akan menimbulkan rasa cemburu jika tutornya sudah “berpindah” ke siswa lain, padahal bisa disebut teman bagi mereka. Secara naluriah pula, anak-anak akan selalu senang jika ada teman, yang akan diajak untuk bermain, sayangnya waktu yang bergesekan membuat yang satunya sudah boleh main sementara yang lainnya baru mulai belajar. Agak bentrok dan dilematis, kadang …. Tidak selalu kejadian, tapi pernah. Kalau sudah sampai begitu, jika disandingkan dengan penyedia jasa daycare, yah, akan mirip-mirip. Sungguh.

Ternyata ketiganya memang berkaitan, ya. Sampai sini mata saya sudah kriyep-kriyep diiringi akustikan Fiersa Besari dengan Waktu yang Salah-nya. Saya akhiri dulu sampai sini, semoga yang membaca bisa menangkap maksud saya, he he.

Selamat beristirahat semua.

Semoga Eyang Habibie sudah bahagia berjumpa dengan cinta sejatinya di sana. Aamiin. (mengenang alm. B. J. Habibie yang wafat pada usia 83 tahun pada 11 September 2019 pukul 18.03 WIB)


Comments