Monday Syndrome, I named it.

See the source image
 source




Sudah beberapa pekan berlalu. Hari Senin jarang sekali menjadi hari yang ditunggu-tunggu, ya, entah mengapa. Apakah peralihan dari hari libur ke hari kerja sebegitu beratnya? Peralihannya… perubahan ritme kesehariannya. Bisa jadi itu.


Menjelang petang di rumah, bukanlah hal yang menggembirakan. Sejak kecil saya tidak begitu suka pada petang di rumah, juga di tempat lain yang Nampak betul perbedaan suasananya. Peralihan dari siang ke malam, terang ke gelap. Peralihan lagi. Perubahan ritme lagi. Bukan hal yang menyenangkan.


Apakah ini berkaitan? Hampir segala hal yang berbau peralihan sama sekali kurang saya sukai. Ada perasaan tertinggal yang aneh, lalu ada kekhawatiran yang berlebihan, kemudian perasaan dan pemikiran negatif menyusul. Padahal tidak separah itu, kok! Saya tau, tapi tidak juga bisa menghindari hal-hal semacam itu. Cara untuk menghadapinya bisa saya katakan terbagi menjadi dua: terima dan biarkan berlalu, atau kita yang tenggelam.

Untuk menerima dan menghadapinya, saya butuh pengalihan. Dalam bentuk yang sederhana tapi kadang rumit juga. Kadang jalan bareng teman, atau pergi mengajar. Hanya saja akhir-akhir ini terasa agak susah. Atau karena saya yang terlampau malas? Mau keluar, malas. Berangkat mengajar pun enggan, dengan alasan “kalau moodnya tidak baik, mengajarnya tidak maksimal, kasian muridnya”. Menyebalkan memang. Lalu akhirnya saya hanya akan bermalas-malasah, ugh.

Bagian yang tenggelam artinya saya bermuram durja, galau, gundah gulana menghadapi kenyataan bahwa esok hari sudah berganti, tiada hari libur, tiada leha-leha di rumah, harus bergerak, berangkat kerja, berpikir, bertemu orang-orang, mengatur emosi, dan seterusnya. Terasa sepert beban berat yang tidak sanggup saya pikul.


Ah, kalau dilihat kembali, hasil akhir kedua cara menyikapi itu berujung pada kepasifan dan keputus-asaan, ya, ha ha ha.


Tapi pernah suatu kali, ketika saya benar-benar merasa bahwa perasaan “tidak siap akan hari Senin” itu begitu parah, saya putuskan untuk jalan dengan teman-teman dan pulang hampir larut malam. Iya, ketika sebelum pulang semua terasa membaik. Namun kemudian, karena kena omelan pulang terlalu larut, mood saya langsung ngedrop lagi. Then, I didn’t know how to deal with it. Parah atau lebay, ya? Muncul kemudian perasaan kesepian yang tidak tertolong, menyalahkan banyak hal, dan sama sekali tidak termotivasi untuk melakukan apapun, sama sekali kehilangan gelombang positif dalam berpikir. Rasanya seperti semua hal yang menyenangkan lenyap begitu saja. Ha ha ha, parah sekali.


Baik Monday Syndrome ataupun magic hour, keduanya hampir selalu berhasil melenyapkan rasa percaya diri saya akan apapun. Kekhawatiran mengenai hari esok, pemikiran-pemikiran tentang masa depan yang masih begitu suram dan tidak jelas makin memenuhi kepala. Kalau bisa, saya tidak ingin melewati malam Senin dan petang! Seringkali pada saat-saat itu yang paling dominan muncul ialah rasa kesepian dan putus asa akibat dari perasaan kesepian itu sendiri. It kills me, really, it does. Meski begitu, nalar saya masih berfungsi dan mengatakan pada saya bahwa waktu-waktu itu hanyalah sementara dan akan segera berlalu juga, jadi tidak perlu kuatir. Namun tetap saja! Dualisme yang beradu dalam kepala saya membutuhkan externall support yang membaritahu saya bahwa semua memang akan baik-baik saja. Dari situ rasa kesepian makin bertumbuh. Menyebalkan sekali! Karena pada kenyataannya, kita tidak bisa memaksa seseorang untuk sekonyong-konyong hadir dan langsung menempati posisi kosong yang kita perlukan. Maka, tidak jarang saya harus strugugle sendiri dengan segala perasaan tidak nyaman. Biasanya akan kembali normal ketika malam sudah larut dan saya menyadari  bahwa saya sudah membuang waktu untuk mendapatkan waktu tidur yang lebih banyak. Karena kadang, tidur adalah pelarian termudah, meski tidak permanen, ha ha ha.


Kesadaran akan Monday Syndrome ini sudah saya canangkan pekan lalu. Saya namai saja demikian. Toh bukan hanya saya yang merasa parno dengan hari Senin, dan menganggap hari Senin ialah hari yang berat.


Bicara tentang hari Senin, mulailah otak saya merangkum kegiatan yang harus saya selesaikan hari Senin: mengajar (saja). Tapi persiapan untuk mengajar itu…ah, cukup memakan waktu. Saya pun akan berakhir pada pemikiran, “Ah, besok saja memikirkan semuanya. Mari nikmati sisa hari Minggu dengan dengan baik.”

Kadang juga ketika Minggu sudah melewati petang dengan segala negativity yang mengikutinya, saya sampai pada kesadaran bahwa betapa saya sangat tidak produktif di hari Minggu, betapa saya mengabaikan banyak pekerjaan rumah yang bisa saya selesaikan sebenarnya, betapa hari Minggu akan berakhir, dan… kembali ke hari Senin seperti memulai semuanya dari nol lagi.


Begitulah. Selamat menjelang hari Senin! Semoga kalian bukan termasuk golongan orang-orang yang “alergi” terhadap hari Senin dan waktu petang.

Comments