Terapi dengan Mengajar

Sampai beberapa waktu lalu, menulis masih menjadi salah satu terapi ampuh untuk saya yang sering tiba-tiba merada tidak mood ngapa-ngapain, tiba-tiba merasa saya sungguh tidak berguna, tiba-tiba menjadi super-stress, tiba-tiba merasa jadi yang paling terpuruk. Sampai sekarang pun saya masih ingin tahu penyebabnya. Apakah karena saya memendam emosi yang seharusnya diselesaikan? Apakah dipupuk oleh hal-hal menyakitkan yang tidak ingin saya urusi? Belum tahu juga, ya.


Senin lalu, hari pertama datang bulan di bulan Maret, lonjakan emosi yang serba tidak stabil menyentak saya. Hal sepele bisa berakibat uraian air mata yang berlebihan. Malam itu saya masih harus mengajar, tapi sebelumnya saya benar-benar merasa tidak bisa mengontrol emosi. Sampai akhirnya saya sampai di rumah siswa dan mau tidak mau harus stabil.


Saya bersyukur sekali karena siswa saya ini orang yang ceria, jadi saya bisa dengan mudah terbawa. Malam itu saya merasa lebih baik.


Kejadian seperti itu tidak hanya sekali-dua kali. Lalu saya sampai pada sebuah penyadaran bahwa mengajar ialah soal saya membutuhkan murid-murid saya untuk “bertahan berakal sehat”. Mereka yang memaksa saya secara tidak sadar untuk menjadi waras, melupakan hal-hal tidak masuk akal yang sering mengusik saya. Masalah yang saya tidak paham dari mana akarnya ini memang seperti ini, ketika muncul sungguh menjadi kerikil yang mengganggu.


Rasanya seperti ada gelombang besar yang tiba-tiba membuat porak-poranda pesisir pantai yang tenang dan indah. Sebenarnya tidak perlu kaget karena masalah ini, saya memahami betul bahwa saya masih akan menghadapi fase ini lagi, hanya saja tidak memiliki perkiraan yang tepat akan periodenya.


Lalu tiba-tiba saja dia datang. Saya yang tanpa persiapan jadi kalang kabut, mencari pegangan, mencari perlindungan, tapi semua melemah. Perlahan saya kembali merasa sendiri. Seperti saat awalnya. Tapi lama-lama kenapa terasa semakin menjadi-jadi? Tidak bisa selesai hanya dengan berjumpa sebentar, tidak bisa selesai hanya dengan makan berdua, tidak bisa selesai hanya dengan berbincang ringan. Seperti ada perasaan ingin rehat dari hiruk-pikuk untuk waktu yang cukup lama, misalnya seharian penuh –mengurung diri di kamar sewaan yang tidak perlu dinyalakan lampunya, meresapi diri dalam diam dan ketenangan, dan akan lebih baik kalau bersama dengan seseorang.


Mengajar –kini menjadi salah satu terapi. Saya bertemu dengan berbagai gelombang energi. Kebanyakan anak-anak terpenuhi dengan energi positif dan murni, bagus sekali rasanya bisa berinteraksi dengan mereka. Terasa seperti melepas ion negative berlebihan. Walau sering juga menjadi lelah karena mengatur emosi, tapi itulah terapinya.


Saya tidak sedang ingin membahas perihal keimanan. Saya rasa masalah emosi seperti ini bisa dilepaskan sejenak dari masalah keimanan.


Sudah lama saya tidak membaca buku psikologi. Pemahaman akan diri ini menjadi lemah. Mengenali diri sendiri dan mencintai diri sendiri menjadi hal yang sangat penting dan serius belakangan ini, terutama setelah melewati fase quarter life crisis. (auto-menghela-napas-panjang)


Tahun ini usia saya menginjak seperempat abad. Pertanyaan-pertanyaan stereotip seperti: kapan menikah? pun menjadi semacam pancingan untuk berkata kasar. Sebenarnya bisa ditanggapi biasa saja, tapi kalau keseringan, ya, jadi menyebalkan juga, kan? Kita ditanyai perihal hal yang tidak bisa kita kontrol.


Menghindari kopi, pagi ini saya pelan-pelan meneguk satu mug the celup beraroma vanili. Semalam saya sudah mengasup cukup kafein, dan nekat tanpa makan nasi. Ah, pemikiran dan prasangka saya masih sama: rasa sakit fisik akan bisa mengurangi rasa sakit hati (yang sebabnya pun bahkan tidak jelas apa). Syukurnya Tuhan masih sayang saya, tidak ada masalah seperti maag yang mengganggu saya. Meski demikian, saya tidak boleh gegabah. Jadi, saya memutuskan untuk rehat sejenak dari kafein sebelum makan nasi, atau setidaknya melakukan decaffeination untuk satu hari saja.


Terlepas dari itu semua, rasanya wajar jika manusia-manusia yang mulai memasuki usia seperempat abad ini memiliki pemikiran untuk hidup mandiri, sebelum berkeluarga tentu saja. Untuk bereksperimen dengan mengambil keputusan dan merasakan resiko atau konsekuensi dari keputusan yang diambil. Melepas diri dari “aturan rumah”, melepaskan jiwa pemberontak yang meronta-ronta di dalam, mencoba pengalaman di luar jadi “anak baik-baik”. Wah–


Seiring kata demi kata, saya merasa membaik. Menulis masih menjadi terapi pula. Waktu yang paling berat ialah di penghujung hari, tengah malam sampai dini hari, hari ini saya setengah terjaga sampai subuh. Sungguh berat. Saya pikir pagi ini tubuh saya tidak akan bisa normal, syukurnya saya salah.

Saya bingung apa lagi, jadi saya cukupkan sampai sini–

Comments