Healing from the toxic IGS


Enak aja bikin judul pake Bahasa Inggris, bisa lebih simpel. Iya, IGS itu adalah Instagram Story. Salah satu platform media sosial yang enak banget dipake kalo cerita hidup indah semua. Alias, saya memandang Instagram sebagai medsos yang cukup prestise karena kita akan cenderung mengunggah momen yang menyenangkan di Instagram, entah di feed ataupun di story. Meskipun bagi sebagian orang lainnya, Instagram merupakan salah satu wadah untuk bekerja, belajar, dan berbagi ilmu. Tidak ada masalah, semua bebas berpersepsi.


Saya lupa sudah berapa lama saya mengalami ini, semacam paranoid ringan terhadap apa yang ada di IGS teman-teman saya. Teman dan sanak keluarga. Bulan Februari lalu, saya pikir saya-lah yang terlalu menyikapinya secara berlebihan. Menyikapinya dengan negatif, maksudnya: yang mereka bagikan di IGS tentu hal-hal positif, ya, tapi sayangnya yang terserap oleh alam bawah sadar saya ialah dalam bentuk negatif. Saya rasa itu semacam refleksi yang cacat.


Sampai-sampai seorang kawan pernah menegur saya, mengatakan bahwa saya bereaksi berlebihan atas hal itu. Sungguh saat itu saya merasa sangat tersinggung, dong! Maksudnya, kenapa gak percaya kalo hal sereceh itu bisa mempengaruhi orang sampe seprah itu? Toh, lelucon receh pun bisa bikin orang se-ngakak itu. Got what I mean?


Jadi, ketika itu, setelah saya peringatkan: tolong jangan kasih liat IGS dia atau siapapun yang semacam itu, ya…


Eh, si dianya malah iseng aja gitu buka IGS dan pas di IGS seseorang yang kita kenal, dia sodorin ke saya, biar diliat gitu. Oh, langsung aja saya mendidih gak keruan. Ibaratnya, seperti benang yang salah tarik trus jadi kusut seolah tidak akan bisa terurai gitu.


Setelah melihat reaksi saya yang seperti itu, dilanjut dengan mengomel tak jelas arah, dia pun menunduk dan merasa saya tidak hanya “sekedar” marah, dan peringatan saya yang waktu itu pun bukan “sekedar” aja. Dia jadi serba salah. Mungkin seperti tidak sengaja menyulut mercon, eh, merconnya meleduk kenceng dan banyak banget.


Saya merasa tidak salah sama sekali karena saya sudah mengingatkan dia untuk jangan, tapi dia mungkin tidak percaya atau menganggap remeh, kemudian iseng-iseng…


Dia berdalih: kamu jangan berlebihan seperti itu. Dicoba saja lihat, jadikan motivasi… bla bla bla…


Saya menghela nafas berat, berusaha mengatur emosi dan intonasi bicara, karena waktu itu kita sedang di tempat makan selesai makan malam.


Saya coba jelaskan ke dia baik-baik. Bahwa reaksi saya yang demikian saya rasa bukan berlebihan. Kenapa? Karena saya sendiri pada mulanya beranggapan bahwa saya bereaksi berlebihan. Saya sudah coba untuk coba lagi, coba lagi (menyaksikan IGS dan foto-foto yang dibagikan teman-teman saya) dalam upaya meyakinkan diri bahwa tidak perlu bereaksi se-“berlebihan” itu.


Tidak bertahan lama, seingat saya.

Karena Instagram merupakan salah satu medsos yang paling banyak memakan kuota, maka saya pun berdalih untuk hemat kuota, jangan buka Instagram. Padahal, alasan sebenarnya adalah supaya keadaan mood, emosi, dan mental menjadi lebih stabil.


Yang saya rasakan selama masa “coba lagi, coba lagi” itu adalah saya makin marah, kesal, terguncang, dan yang lebih parahnya adalah iri. Tapi saya benar-benar berharap bukan iri yang buruk, ya. Sebagai tindakan antisipasi, saya memutuskan untuk hiatus dari IG. Meskipun pada waktu itu saya sedang demen-demennya mantengin perkembangan hidup teman-teman dan sanak keluarga, yang ternyata, sayang sekali, membuat saya lupa kalau saya punya kehidupan sendiri yang harus diurusi. Itu kemudian mejadi alasan logis ke-dua untuk meninggalkan Instagram sementara.


Saya bisa katakan, lebih dari sebulan saya tidak tengok-tengok si Instagram. Ada keinginan untuk meng-uninstall aplikasi tersebut dari ponsel, namun masih saya pertahankan karena hal pekerjaan, yang mana membutuhkan informasi yang bisa dicari dari Instagram. Sampai pada akhirnya, saya “terpaksa” meng-uninstall aplikasi tersebut karena butuh ruang untuk meng-install aplikasi Zoom.

Pada titik itu ada suatu kelegaan bahwa saya meng-uninstall IG bukan karena alasan yang pribadi sekali, melainkan atas alasan yang lebih umum di atas kepentingan pribadi.


Beberapa hari, atau mungkin mencapai dua pekan setelah meng-uninstall IG, tidak melihat ikon IG di ponsel merupakan sebuah kenyamanan.


Namun, beberapa hari kemarin, saya ada perlu sesuatu gitu yang mengharuskan untuk buka IG, kebetulan di ponsel emak ada IG, jadi login di sana. Parno juga, sih, buka IG karena kan langsung ke beranda dan muncul foto-foto orang, yak. Saya langsung aja, sih, klik ikon loop, biar nggak liat yang aneh-aneh di beranda. Cek IGS juga, sih, tapi lebih hati-hati biar gak asal lanjut ke IGS yang sedang dihindari. Udah kayak jalan di atas tanah lapang penuh ranjau aja. Setelah itu coba scrolling beranda sampe batas kekuatan mental cetek yang saya miliki.


Akhirnya, setelah selesai menguliti salah satu profil kawan lama, saya keluar dari aplikasi tersebut. Yang terjadi berikutnya adalah saya mencoba untuk menganalisa keadaan mental diri ini. Apa yang terserap? Bagaimana respon alam sadar dan alam bawah sadar saya setelah nekat buka IG? Bagaimana reaksinya? Saya berusaha merefleksikan semuanya ke dalam bentuk positif. Saya coba untuk melihat dengan “kacamata” yang lain dari yang biasanya saya pakai untuk melihat konten IG yang dibagikan kawan-kawan saya itu. Saya yakin, mereka membagikan hal-hal tersebut atas tujuan baik semua, tidak ada yang untuk pamer. Maka, saya tegaskan lagi keyakinan saya itu supaya mental tidak terlalu serapuh kulit pie susu.


Baru tadi, usai orang-orang kelar tarawih, saya buka IG lagi. Awalnya mau ngecek following request sudah acc atau belum. Eh, di beranda ada foto yang lumayan menarik untuk dilihat meski dulu menjadi salah satu yang dihindari. Fotonya dia (salah satu sanak keluarga) dengan anaknya yang hampir berusia setahun, diambil dari belakang, mereka menghadap laut. Keterangan fotonya manis sekali, sampai-sampai hati saya tersentuh. Ya, akhir-akhir ini juga memang mudah tersentuh, sih. Lalu saya coba untuk lihat IGSnya, lanjut ke profilnya, lanjut liatin highlight IGSnya yang kebanyakan berisi tumbuh kembang si anak. Siapa nggak gemas liat bayik, kan?


Di highlight IGS itu saya tontonin satu per satu dengan tekun. Rasanya menyentuh hati. Tidak lupa mengucap nama Allah supaya si bayik sehat terus. Apa, ya? Kesannya bikin terharu. Semacam bikin pengen punya anak juga dan merasakan momen-momen seperti itu juga. Back then, hidup tiap orang pasti beda-beda, ga boleh iri yang berlebihan.


Apa yang kemudian saya rasakan?


Haru.


Entah kenapa ada rasa haru tersendiri dan itu terasa aneh.


Beberapa hari yang lalu, seorang teman telah menjadi seorang ibu dengan melahirkan seorang putri. Saya pun merasakan haru. Tapi beda jenis harunya. Ah…


Apakah efek kondisi lockdown ataukah usia yang membuat saya menjadi orang lebih mudah baper akhir-akhir ini?


Menyambung soal per-IG-an, usai menutup aplikasi itu, selain merasa haru, saya pun merasa seperti … orang yang baru selesai yoga atau apalah yang berkaitan dengan olah jiwa. Kalau saya bilang, seperti habis terapi. Nafas saya jadi ngos-ngosan, jadi banyak menghela nafas panjang dan berat, lalu terkekeh sendiri, merasa konyol dan irasional atas respon dan reaksi saya–otak dan hati.

Sampai saat ini, saya belum bisa mendeskripsikan dengan baik bagaimana reaksi otak dan hati saya atas hal itu.


Pelan-pelan, seperti memecahkan masalah yang berkaitan dengan mental yang selama ini saya belajar hadapi, saya coba untuk mengatasinya dengan cara yang paling mudah dan masuk akal. Ih, padahal adalah hak masing-masing orang, ya, untuk bereaksi bagaimanapun terhadap apapun, tidak harus sama dengan orang lain. Menjadi beda, pun menjadi aneh sekalian, bukan berarti saya tidak normal, kan? Apa pula definisi normal yang paling konkrit? Semua betul-betul subjektif, tergantung orangnya.


Sepertinya pembahasan ini akan ada kelanjutannya. Yah, saya harap ada, hitung-hitung sebagai dokumentasi atas perjalanan terapi saya. Let me name it therapy, anyway, because it is such an effort I try in order to get myself healed.

Comments