Morning Breeze


Kapan terakhir kali saya menikmati udara segar khas pagi hari, ya?


Ramadhan kali ini rasanya saya senang sekali karena berhasil sedikit kembali pada tradisi masa kecil, yaitu tidak tidur selepas sholat subuh. Sejak kecil ibu saya mewanti-wanti untuk jangan tidur pagi, tidak baik.


Dan benar saja. Memasuki masa-masa kuliah pada semester akhir saya mulai mencoba-coba kebiasaan tidur pagi. Imbasnya, perut saya terasa panas, pada bulan puasa. Kalau bukan itu, pada bulan-bulan biasa, saya akan merasa mood saya berantakan sekali, suhu tubuh seperti kacau, pikiran seperti benang kusut, harus mengejar beberapa ketertinggalan akibat waktunya dipakai tidur. Bayangkan, baru juga bangun sudah stress. Sungguh tidak epic untuk memulai hari, bukan?


Sampai sebelum masa lockdown pun saya masih terkadang terlelap di pagi hari, disengaja maupun tidak. Efeknya tetap tidak mengenakkan. Apapun alasannya untuk membenarkan tidur pagi, kecuali sakit, hanya akan membawa “kesialan”.


Kesialan di sini maksudnya adalah linimasa yang bergeser mundur. Beberapa hal jadi tertunda, bahkan tidak terlaksana karena waktunya dipakai tidur. Bukan hanya menumpuk pekerjaan, tetapi juga menjadi sesuatu pemicu kena omel. Saya paling tidak suka diomel; (1) karena hal yang tidak saya lakukan, (2) hal salah yang saya sudah tau-jadi tidak usah semakin dipersalahkan.


Kalau sudah begitu, tentu akan berpengaruh pada mood sepanjang hari. Kalau di pertengahan hari mood tidak membaik, maka hal terakhir yang saya harapkan adalah malam hari tiba kemabali. Artinya, waktu tidur yang sebenarnya sudah tiba. Saatnya tidur dengan benar.

Pada hari ke-empat Ramadhan tahun ini saya bersyukur sekali diberi kekuatan lebih untuk melawan rasa malas, melawan godaan kasur, dan melawan rasa kantuk yang mendera usai sholat subuh. Apa yang memotivasi, ya?


Pokoknya pagi itu saya segera bergegas berpakaian hendak keluar. Saya lihat langit masih agak gelap, matahari pagi masih malu-malu di Timur sana. Seolah berkejaran, saya cepat-cepat keluar. Seolah menang, saya melangkah santai ke arah Timur, ingin berkata pada yang masih malu-malu bahwa saya sudah tidak malu-malu lagi.


Ya, selama ini alasan saya enggan jalan-jalan pagi di kompleks ialah karena tidak mau bertemu orang-orang. Aneh? Iya, sih. Alias, saya malu ketemu orang, ya padahal belum tentu mereka tau saya dan mau menggubris juga. Emang dasar anaknya maluan, jadi makin dilebih-lebihkan.


Pagi itu, saya berkeliling menempuh jalan terjauh, memutar, menyusuri hampir setiap blok untuk mengamati keadaan. Ternyata tidak rame-rame amat, tidak semenakutkan yang saya pikirkan.  Mungkin karena Ramadhan, beberapa orang lebih memilih diam di rumah yang hangat, melanjutkan tidur atau lanjut beraktivitas, jadi jalanan memang hampir sepi betul. Saya bahagia, ha ha ha.


Dinginnya udara pagi hari ternyata semenyegarkan itu! Saya sempat terlupa tapi masih bisa merasa temu kangen dengan udara pagi.


Lalu perlahan matahari mulai naik, sedikit demi sedikit cahayanya memancar. Romantisme pagi hari yang belum saya temukan kata-kata yang tepat sebagai penggambarannya.


Perlah-lahan udara segar dan dingin itu berpadu dengan kehangatan lembut dari matahari. Meski kalau berjalan ke arah Timur akan sedikit silau, tapi tidak menyakitkan. Seolah cahaya lembutnya berkata, “Selamat pagi. Selamat kembali.” Seperti sapaan ramah sahabat lama.


Butuh beberapa kali pencarian untuk titik yang sempurna mengabadikan pancaran “Cahaya Sahabat” itu. (Isitlah “cahaya sahabat” ini pertama kali saya dapati di vlog naik gunung Fiersa Besari bersama dengan Dzawin Nur, terkenal sebagai jargon si Dzawin, sih. Dan saya rasa, tepat juga digunakan untuk menamai si pancaran cahaya matahari di pagi hari.)

Sungguh terasa romantis. Bagaimana, ya… Rasanya seperti kembali ke tempat yang dulu sempat diabaikan. Ternyata pagi hari masih seindah dan sesegar itu. Ke mana saja saya selama ini? Apa yang saya lakukan di tempat tidur? Terlelap, lalu terbangun dengan rasa sakit kepala? Ah~


Pada entah hari ke berapa… saya berjalan terus, lagi dan lagi, seolah lupa dengan kata lelah. Saya menikmati betul tiap langkah kaki. Seperti kembali pada melakukan hobi lama. Lalu makin hari, rasanya makin filosofis saja kegiatan jalan pagi.


Tiap capaian jumlah langkah rasanya candu. Membangunkan jiwa kompetitif saya untuk mencapai lebih banyak langkah setiap pagi, walaupun tentu tidak sedisiplin itu. Suka-suka aja, senyamannya, sekuatnya, fluktuatif. Yang terpenting ialah menghirup banyak-banyak udara segar yang diberikan gratis oleh Tuhan, menikmati setiap langkah yang terayun dan terpijak, hingga disapa lembutnya cahaya sahabat. Benar-benar terasa seperti hidup kembali, bagi saya. Seperti pencapaian yang tidak pernah saya targetkan sebelumnya. Seperti kejutan sederhana namun begitu bermakna. Menyenangkan sekali!


Sepoi-sepoi angin pagi pun sangat khas. Meski dingin, tapi tidak terasa membahayakan, berbeda dengan angin malam, ya. Itu kemudian menjadi hal lainnya yang saya anggap sebagai sapaan di pagi hari. Rasanya ramah.


Sayangnya, kadang ketika saya sedang ingin bertingkah sedikit gila, sambil sedikit menggerakkan badan mengikuti musik yang saya dengar, atau berbicara sendiri mengenai hal-hal yang tak tampak normal, saya waswas kalau ada yang melihat, hahaha.


Ketika sudah merasa cukup, atau matahari sudah terlalu tinggi untuk menikmati jalan pagi, saya berjalan pulang. Dengan pakaian basah oleh keringat, sampai rumah saya berganti pakaian, hendak memulai hari dengan perasaan yang penuh dengan energi positif. Sungguh menyenangkan sekali seperti menemukan harta karun!


Saya berharap pada diri saya sendiri untuk terus mempertahankan kebiasaan ini. Semoga.

Terlepas dari semuanya, tentu akan lebih menyenangkan untuk bisa menikmati romantisme pagi hari itu dengan seseorang, ya! ^_^

Comments