Pemaknaan Ramadhan Kali Ini


Dibarengi dengan lockdown akibat pandemi, maka Ramadhan kali ini tentu memiliki nuansa yang berbeda dari Ramadhan tahun-tahun sebelumnya. Sebut saja, ibadah shalat tarawih berjamaah yang dialihkan menjadi tarawih di rumah saja, lalu nantinya ibadah shalat Ied akan mengikuti untuk di rumah saja. Menyedihkan sekali memang, tapi pasti ada hal-hal baik yang mengiringi, seperti: kekeluargaan makin erat karena waktu di rumah lebih banyak, bisa lebih fokus untuk ibadah karena kegiatan bekerja yang dipindahkan ke rumah, lalu… munculnya keteraturan aktivitas harian-yang terakhir ini sangat pribadi, hahaha.

source

Pada Ramadhan sebelumnya, terasa sekali perubahan pola hidup, dimulai dari perubahan pola tidur, lalu pola makan, sampai pola beraktivitas. Sangat berat banting setir dari yang biasanya begadang sampe pukul dua bahkan 3 dini hari ke harus sudah maksimal pukul duabelas. Lalu harus terbangun, setidaknya pukul empat. Setelah itu, bagi yang jam kerjanya hanya mundur sejam-duajam, maka sangat berat. Yang biasanya dopping pake kopi pagi, karena puasa, maka tidak bisa. Harus memikirkan hal-hal substantif serta segera beradaptasi dengan pola yang baru, hanya untuk satu bulan. Dibanding sebelas bulan “normal”, maka tentu akan menjadi super berat.


Bukan tidak ada solusi untuk itu. Solusinya banyak banget malah. Kalau mau, bisa membiasakan diri puasa sunnah, yang juga banyak jenisnya. Tetapi, saya pribadi masih mencoba pelan-pelan, dan niat merupakan langkah pertama sebelum memulai praktek. Setidaknya sudah niat, kan?


Nah, berhubung pandemi dan sedang diberlakukan lockdown atau PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), maka me-reset pola hidup menjadi agak mudah. Yang biasanya harus bergegas bersiap pukul sekian karena harus bekerja pukul sekian, semenjak lockdown dan Work From Home (WFH), rasanya sah-sah saja kalau duduk di depan laptop tanpa harus mandi dulu, sah-sah saja kalau melakukan pertemuan dan diskusi melalui panggilan video tanpa mandi dulu, cukup touch-up dan berpenampilan rapi setidaknya sampai dada atau perut. Setidaknya, itulah yang saya lakukan, hahaha.

Yang terpenting pada saat melakukan panggilan video-saat mengajar-ialah mempersiapkan pemahaman yang matang di dalam kepala untuk kemudian menjadi bahan diskusi dan memberi penjelasan pada siswa. Perihal penampilan, kecuali harus berpaikan rapi dan sopan, saya jarang sekali touch-up kecuali kalau baru bangun tidur, setidaknya men-tap-tap wajah dengan air supaya efek bantalnya tidak kentara, wkwkwk.


Terlepas dari rutinitas akibat lockdown, kali ini saya ingin terfokus pada bagaimana proses yang saya alami selama Ramadhan tahun ini.


Rasanya lebih nyaman dan lebih contented. Kadang saya bertanya-tanya, kenapa, ya? Lalu kadang saya menemukan alasan alih-alih jawabannya: karena saya tidak terlalu banyak “diatur”, dan tidak terlalu merasa terintimidasi. Apakah efek usia yang bertambah? Untuk soal usia ini berkaitan dengan bahasan dengan seorang kawan ketika kemarin saya mengiriminya ucapan ulang tahun lalu bertanya tentang apa yang ia rencakan untuk kehidupan di usia yang sudah terasa tua ini. Ia pun menjawab bahwa ia hanya ingin hidup bahagia dengan sederhana tanpa banyak pikiran, alias menjalani hidup dengan “baik-baik” saja.


Nah, kalau Ramadhan sebelumnya saya merasa dikejar-kejar alias harus banting setir cepat-cepat, dari liar menjadi alim, maka Ramadhan kali ini saya rasanya diberi kesempatan untuk melakukan semua prosesnya dengan kecepatan saya sendiri-tidak bisa cepat-cepat.


Kalau pada Ramadhan tahun-tahun sebelumnya saya merasa terintimidasi oleh ibadah-ibadah tambahan yang saya rasa harus saya lakukan karena ini bulan baik, maka pada kesempatan kali ini saya mencoba untuk lebih memperbaiki dulu kualitas ibadah reguler saya, mencoba untuk memperbaiki sedikit demi sedikit hal yang biasanya hanya sekedar saya lakukan. Saya pun mencoba untuk lebih melaksanakan ibadah-ibadah reguler dengan pemaknaan yang lebih personal, tanpa perlu buru-buru akibat ibadah orang lain yang tampak sudah sangat “pro”, walaupun memang, dalam melakukan kebaikan kita sebaiknya berlomba-lomba. Namun, pada kenyataannya, selain saya yang tidak bisa makan cepat, pun tidak bisa berubah haluan tiba-tiba. Ternyata saya termasuk orang yang slow. Ketika saya berkesempatan melakukan hal-hal sesuai dengan kecepatan saya, maka saya akan merasa lebih memaknai hal tersebut, kemudian hal-hal tersebut terasa lebih bermanfaat dan terasa lebih melekat.


Omong-omong, sejak akhir tahun lalu, saya sudah bertekad bahwa tahun ini saya akan menjadi orang yang lebih mampu mengontrol diri untuk tidak mudah terbawa arus, pun tidak terlena oleh rasa nyaman yang dirasakan, itu lho… perasaan ketika sedang berada di zona nyaman. Saya rasa, memiliki tekad yang sederhana malah bisa lebih membuat kita terstruktur akan apa yang harus dibenahi. Tapi mungkin tidak berlaku bagi semua orang, ya, ini personal saja.


Kembali ke perihal Ramadhan… Pada Ramadhan kali ini, saya tidak terburu-buru maupun tidak gegabah dalam menumpuk ibadah. Saya yakin Tuhan pasti memahami hambaNya dengan sempurna, sehingga saya tidak perlu lagi takut akan prasangka dan nilai-nilai dari mata manusia yang statusnya sama-sama sebagai hamba Tuhan. Hal sederhana itu membuat saya bisa beribadah dengan lebih tenang saja. Ketenangan yang menyejukkan.


Selain itu, tidak adanya interfensi berlebihan dari pihak keluarga sungguh sangat menenangkan. Hal itu terasa seperti pengertian yang sangat berharga ketika saya diberi ruang untuk melakukan ibadah dalam ruang saya sendiri. Terlepas dari jumlah atauapun intensitas ibadah itu sendiri. Karena saya percaya bahwa perihal ibadah, itu merupakan rahasia seorang hamba dengan Tuhannya, sebuah romantisme yang sangat berharga.


Pada Ramadhan kali ini, alih-alih merasa ritme rutinitas terasa kacau, saya malah merasa kehidupan terasa lebih teratur, meskipun saya benci keteraturan yang monoton. Tapi setidaknya, saya punya beberapa hal baru yang menjadi rutinitas dan itu terasa menyenangkan sekali. Saya sungguh berharap bisa terus melakoninya setelah Ramadhan berlalu.


Beberapa hal di atas merupakan hal-hal baik yang secara pribadi saya rasakan berkat Ramadhan pada pandemi ini. Tentu saja rindu kegiatan tarawih di masjid kompleks sebelah, tentu juga rindu agena buka puasa bareng teman-teman lama, tentu juga rindu acara silaturrahmi usai shalat Ied. Tetapi, daripada meratapi hal-hal yang tidak bisa kita lakukan, saya sungguh mencoba untuk banyak-banyak memikirkan hal-hal positif sebagai efek dari lockdown yang menyebalkan ini.


Semoga tulisan ini bisa jadi pengingat saya kelak ketika saya sedang merasa dunia terlalu mengintimidasi orang yang lambat seperti saya ini. Seringkali kita malah tidak menghargai kecepatan kita sendiri sehingga tidak menyadari peluang bahwa kita bisa dengan jalan kita sendiri untuk menjadi lebih baik tanpa perlu bersaing dengan orang lain yang kecepatannya berbeda. Alih-alih terpacu, kita hanya akan merasa makin tertinggal, malah terhambat. Makin (merasa) tua, makin merasa bahwa hidup ini enaknya dibikin simpel dan dibawa enjoy aja daripada buru-buru karena liat orang lain sudah sampai depan duluan, padahal garis-garis kita memang berbeda jarak tempuh pun berbeda kecepatan yang dibutuhkan, tergantung kemampuan dan kapasitas diri.


Saya akhiri saja sebelum meluber ke mana-mana. Selamat menjalankan ibadah di bulan Ramadhan kali ini, ya, semoga kita semua menjadi hamba yang lebih baik lagi di mata Tuhan. Aamiin!

Comments