akhirnya menetas dari gelembung

Ini tentang kabar terbaru; cukup mengejutkan dan juga mendebarkan --sedikit menakutkan tapi membuat penasaran. Bahkan sampai saat ini saya masih berpegang pada prinsip bahwa mengajar di sekolah itu cukup berat, sehingga saya akan cukup nyaman untuk berdiam mengajar di institusi dan lembaga bimbingan belajar informal di mana saya hanya akan menangani siswa dalam skala kecil dengan target capaian yang cukup terfokus sehingga beban yang dipikul tidak terlalu berat dan tidak pula membebani baik siswa maupun orangtua. Namun kemudian... saya mendapat panggilan atas surat lamaran yang saya antarkan ke sebuah sekolah dasar. Bingung dan senang juga penasaran.

Sabtu microteaching, Senin langsung disuruh terjun ke lapangan. Seperti kilat. Tidak diberi ruang untuk bernafas dan menelaah. Saya pribadi orangnya santai dan cukup sulit untuk berpindah pun untuk beradaptasi. Normal. Semua pasti butuh waktu, kan? Makin ke sini saya makin menyadari bahwa masalah-masalah minor yang saya hadapi ketika masuk ke lingkungan baru adalah yang sepenuhnya wajar dan memang akan begitu. Awalnya selalu terasa sulit dan menakutkan, pun penuh dengan perasaan pesimistis. Sampai saat mengetik ini, semua masih terasa sulit. Tapi, seperti yang sudah berlalu, saya yakin, kali ini pun akan segera berlalu.

Mengajar akan selalu menjadi hal yang penuh pembelajaran. Mengajar akan selalu menjadi wadah saya untuk terus berusaha mengontrol emosi dan mengolah isi kepala dari yang rumit menjadi sederhana tanpa mengurangi makna. Mengajar akan selalu meninggalkan kesan yang menagih untuk diulang dan dilakukan lagi dan lagi. Dan semua permulaan akan selalu menjadi kenangan pahit yang manis, seperti sesesap kopi terakhir yang pernah kita perebutkan.

Di bimbel, ketika tiba-tiba dapet siswa calistung dan bener-bener mulai dari nol, rasanya... exciting. Akhirnya betah juga karena lama-lama ya terbiasa dengan ritme dan alurnya. Lama-lama seperti ada mode otomatis. Semua memang butuh waktu, seperti saat pertama kali bertemu kamu lalu sekarang sudah terbiasa bersama.

Kalau dipikir-pikir... satu per satu hal yang dulu pernah saya impikan kemudian menjadi nyata. Jadi, untuk mimpi-mimpi yang ada saat ini, semoga saya bisa bersabar.

***

Hari ini saya baru sempat lanjutkan lagi setelah beberapa hari atau mungkin sudah dua minggu sejak saya mengawali tulisan ini.

***

Pekan depan terhitung sebulan sudah saya menetas dari gelembung; mencemplungkan diri ke ranah yang lebih luas dengan komunitas yang lebih besar dan menghadapi anak-anak yang lebih banyak.

Kalau dipikir-pikir, saya ini idealis sekali, ditambah keras kepala dan sulit beradaptasi. Jadi, pemikiran saya mengenai payahnya sistem pendidikan di Indonesia itu masih saya tanam dalam benak dan belum berubah. Persepsi saya mengenai kegiatan pembelajaran di sekolah pun ternyata bertemu dengan realita. Kata "tidak efektif" bisa jadi cocok dan akan terus seperti itu selama sistem yang belum berubah dan tradisi konvensional belum berubah.

Berada di lingkungan sekolah dan menangani sekelompok anak untuk menyampaikan materi pembelajaran merupakan hal yang benar-benar baru tapi bukan berarti tidak pernah terpikirkan. Semua terbukti, he he he. Ada hari-hari di mana saya merasa ingin mundur dan menyerah saja. Tapi... menyadari bahwa yang tiba saat ini sudah sampai, maka... ada sesuatu yang memang harus saya selesaikan. Seperti... menjalankan misi.

Saya belum bisa melepas kegiatan di bimbel secara total karena mengajar di bimbel adalah mengajar yang sesuai dengan prinsip saya, ho ho ho.

Setiap anak itu butuh penanganan khusus walaupun... mereka butuh bersosialisasi. Seperti kata K, akan sangat bagus kalau ada sekolah yang bisa menyediakan tutor-tutor khusus bagi tiap anak yang ditempatkan dalam satu kelas. Maksudnya: anak-anak akan tetap mendapatkan pembelajaran yang intensif namun tetap pula bisa bersosialisasi dengan teman-teman di kelas. Boleh jadi cita-cita.

Melihat kenyataan di lapangan yang seperti sekarang ini, saya jadi terpikirkan untuk menganut homeschooling saja bagi anak-anak saya kelak.

Yang harus disadari mengenai pendidikan sebenarnya kan bukan hanya terbatas pada angka atau huruf dengan label nilai, tetapi kualitas dan kemauan anak-anak untuk terus belajar karena... seluruh hidup ini adalah waktu untuk belajar. Ya, kan? (mengutip tweet nya Iim Fahima)

Sampai detik ini, yang ada hanyalah saya yang ingin menangis karena setiap pembelajaran terasa belum optimal bagi setiap anak. Muluk-muluk, tapi namanya cita-cita ya boleh, dong?

(bentar... kurang fokus karena bete nunggu yang katanya mo rapat ya tapi belom-belom jadi)


akhirnya baru sempat lanjut lagi setelah beberapa hari nih! Besok Sabtu, syukurnya libur, jadi berasa seperti malem Minggu.

Oke. Setelah sebulan tercemplung langusng ke lingkungan sekolah, komunitas belajar dengan isi yang beragam, saya bener-bener makin yakin akan prinsip saya bahwa tiap anak memang memiliki potensi dan kemampuan yang sama-sama uniknya. Tidak bisa diukur dengan satu standar saja. Dengan demikian, tiap anak berhak untuk mendapatkan perlakuan dan difasilitasi sesuai dengan "gayanya". Seorang anak tidak bisa diatur, bukan berarti dia tidak pintar. Seorang anak belum bisa menulis lancar, bukan berarti dia kurang di semua bidang. Semua memiliki ciri khas.

Lalu... meski hampir seluruh hari saya habis di sekolah, saya tetap masih mau mengajar di bimbel. Kenapa? Karena di bimbel saya bisa mengajar dengan menganut prinsip saya; memperlakukan anak sesuai dengan kebutuhannya sehingga ia bisa menjadi pelajar yang selalu ingin tahu dan selalu mau untuk mencari tahu secara mandiri. Bukan mendidiknya untuk menjadi tipe manusia yang akan terus disuapi. Begitulah kira-kira. Oh! Satu lagi: untuk menjaga kewarasan jiwa saya sebagai seorang pengajar, atau pendidik? Tutor. Ya, tutor saja. Saya merasa lebih hidup saja kalau bisa menjalani hidup, terutama pekerjaan, sesuai dengan prinsip yang saya anut. Iya, kan? Puasnya dapet, upahnya dapet. Begitulah...

Setelah 2 tahun bersikeras tidak terjun ke sekolah, tiba-tiba mendapat kesempatan kecemplung di lingkungan sekolah, mau tidak mau, saya harus berani basah. Perihal berlumpur atau tidak pun harus diterima, dihadapi, dan dicarikan solusinya. Minimal... yah, susah juga mau menarget kalau di sekolah, ya, karena banyak individunya. Saya menanamkan pemikiran yang begini saja: yakin saja bahwa apa yang didapat saat ini merupakan jawaban atas doa yang pernah dipanjatkan, yakin saja bahwa ini merupakan tanggungjawab baru yang dipercayakan karena Tuhan tahu kita pasti mampu. Jalani, meski sangat berat, semua akan ada masa nyamannya. Nikmati, pengalaman dengan orang-orang dan sistem baru pasti membawa sensasi yang baru pula. Syukuri, bahwa di luar sana mungkin ada banyak yang ingin berada di posisi saya saat ini. Bismillaahi tawakaltu'alallaah.

Comments