Refleksi dan Seupil Cerita

Entah ini efek menjelang menstruasi atau bukan, tapi biasanya iya. Kalau tidak, ya tidak mungkinse-combo ini: sakit badan dan overthinking.

Jadwal sekolah dimulai pada Senin sampai Jum’at. Singkat memang, tapi di balik itu… ada pekerjaan yang sangat kompleks yang terbebankan pada guru-guru. Semenjak saya belum terjun menjadi guru sekolah, saya sudah menyadari akan kompleksnya pekerjaan yang diemban guru, dan juga tidak habis pikir kenapa apresiasi yang diberikan masih segitu-segitu saja sementara tuntutan dan tanggungjawabnya makin banyak. Sungguh… di mana pengamalan Pancasila sila ke-3 ini.

Terlepas dari itu, saya masih juga melakoni pekerjaan sebagai tutor bimbel. Sepulang sekolah dan hari Sabtu. Ketika semua dijalani, terasa wajar. Namun, pada hari Minggu… saya merasa stress sendiri karena merasa terlalu banyak bekerja sampai mungkin lupa untuk berleha-leha, apalagi kalau sudah melihat postingan liburan teman-teman. Memang manusia, tempatnya segala ketidaksempurnaan. Saya mulai merasa insecure dan merasa bahwa saya terlalu berlebihan menggunakan segala waktu untuk bekerja… bekerja… dan bekerja.

Ada perasaan bersalah pada diri sendiri karena terus-menerus bekerja sampai tidak sempat ikut mengurus rumah. Lalu untuk beribadah, duduk lebih lama setelah sholat terasa –astaghfirullah– berat karena ingin buru-buru merebah. Pokoknya kalau dipikirkan… rasanya seperti ada yang salah. Tapi ketika dilakoni… semua terasa biasa saja, bahkan ada rasa puas. Setiba di rumah… rasa bersalah datang lagi, meskipun orang rumah memaklumi sekali.

Pagi-pagi sudah sibuk mengurus diri lalu berangkat. Pulangnya baru sore, itupun dengan lelah.

Tidak selesai di situ… tugas-tugas tidak selesai begitu saja ketika sampai rumah. Prinsip saya yang tidak boleh membawa pekerjaan pulang ke rumah rasa-rasanya sesekali harus dilanggar. Rasanya ingin mengumpat. Sialan!

Lalu di kepala saya terus-menerus protes tentang sistem pendidikan di Indonesia yang masih terlalu acakadut ini.

Otak saya yang terbiasa dengan ritme guru les; tidak memikirkan nilai dalam bentuk angka, tentu saja mempengaruhi cara pikir saya yang sekarang sudah berkecimpung di sekolahan, di mana nilai betul-betul dijadikan gengsi, padahal… apa, sih?! Pemahaman anak dan kenyamanan anak dalam belajar yang harusnya dipahami orangtua sebagai prioritas, dan nilai bagus hanyalah bonus yang tidak bisa dijadikan jaminan seorang anak akan bisa hidup dengan baik. Nilai yang rendah pun demikian. Bukan berarti anak tidak mampu. Pada poin ini saya sering sekali merasa gemas dengan cara pikir orangtua. Sampai-sampai saya takut… kalau kelak menjadi orangtua, saya tidak ingin menuntut anak untuk mendapat nilai yang tinggi hanya karena ingin memamerkannya.

Kepada anakku kelak, ketahuilah bahwa ibumu ini memang guru dan telah mengajar banyak jenis anak di berbagai jenis instansi. Maka dari itu, kamu boleh bertenang  hati, karena kelak, sebisa mungkin ibu tidak akan memaksamu untuk meraih nilai tinggi hanya untuk membuktikan kamu bisa. Ibu tentu akan mengutamakan kamu bisa berpikir dengan kritis dan logis, serta perilaku yang baik. Cara berpikir yang baik itu lebih baik daripada nilai sempurna yang kamu dapat di sekolah.

source: https://th.bing.com/th/id/OIP.TLSHlsi2fe5ilOr5rJ5GEgHaEy?pid=Api&rs=1


Sudah memasuki bulan ke-3 di sekolah. Mindset saya masih belum bisa beradaptasi dengan baik dengan sistem yang bekerja di lembaga pendidikan formal. Setelah PTS, ternyata raport yang akan dibagikan ke orangtua siswa itu berisi banyak jenis nilai dan penilaian, damn! Kesal sekali! Setiap guru sudah mengetahui kemapuan anak-anak secara individu, namun… tetap saja dipusingkan dengan angka yang disebut dengan nilai dan yang sering dijadikan sebagai tolak ukur utama untuk menunjukkan kemampuan anak. Sempit sekali.

Sampai detik ini… saya setengah menyesal tapi juga setengah berpikir keras: kenapa saya ditakdirkan masuk ke lingkungan sekolah? Apa yang bisa saya lakukan untuk mengubah system yang menjemukan ini? PR besar adalah membuat orangtua paham bahwa: (1) nilai bukan segalanya, (2) orangtua memegang peranan yang tak kalah penting dari guru dalam membantu anak mencapai tujuan pembelajarannya.

Apa lagi? Buanyak!

Oh… kenapa saya masih tetap mengemban juga profesi sebagai tutor bimbel? Karena… di bimbel saya bisa mengajar dan tetap berpegang pada prinsip mengajar anak per individu sebab tiap anak adalah unik dan istimewa.

Hal yang membuat saya bahagia adalah saya (rasa, saya telah) berhasil mengubah pandangan seorang wali siswa saya terhadap anaknya sendiri. Si anak ini cranky banget hampir nggak ketulungan! Pas dapet kabar dia mau les daring, saya pesimis duluan tapi tetap berusaha optimis. Lalu pertemuan demi pertemuan… perkembangan demi perkembangan dikomunikasikan dengan baik… akhirnya mamanya luluh (saya sebutnya luluh, ya…).

Dulu… ketika sebelum pandemi… les laring, si Kenzie ini terkenal banget anaknya hiperaktif dan moody banget, gampang ngamuk dan susah di-handle sama tutor pengganti. Saya coba gali informasi latar belakang anaknya… bagaimana keadaan dia di rumah dan sebagainya… usut punya usut, praduga sementara saya adalah: dia butuh perhatian orangtuanya. Tapi… dengan alasan membuat anak mandiri, maka beberapa orangtua agak salah paham mengenai cara memandirikan anak.

PS: Ini adalah opini saya sebagai tutor dan sebagai orang awam, ya.

Di satu sisi, caranya tampak benar dan sah-sah saja. Tapi jika dilihat dari kacamata yang lain… ada yang keliru.

Kalau kita paksa, dia akan mengamuk dan memberontak! Lalu kita ancam, dia semakin menjadi-jadi.

Tibalah hari les daringnya. Lalu dari sini sebuah titik terang mulai nampak…

Kita sepakati satu hari dalam seminggu di mana mamanya bisa mendampingi Kenzie les. Karena kalau daring, tutor tiada kuasa untuk apapun selain memantau anak dari jauh dan memberi instruksi melalui suara.

Di situ, Kenzie seperti menjinak. Tapi yang sebenarnya terjadi adalah… Kenzie merasa nyaman dan aman ketika ada mamanya. Di situ saya melihat sisi lain Kenzie, sisi Kenzie sebagai selayaknya anak kebanyakan yang akan mau mendengarkan perkataan ibunya, yang senang pamer kepada ibunya, yang ingin mendapatkan perhatian ibunya, dan akan melakukan apapun demi menjadi yang terbaik di mata ibunya.

Lain hari, ketika ibunya sedang ada kesibukan sehingga berhalangan mendampingi Kenzie belajar… digantikan oleh mbak pengasuhnya… Kenzie yang lucu berubah menjadi Kenzie yang pemberontak dan “bandel”.

Semua menjadi jelas.

Yang Kenzie butuhkan ialah kehadiran mamanya dan kasih sayang mamanya.

Hal itu saya komunikasikan dengan mama Kenzie. Saya sampaikan perbedaan ketika Kenzie dengan mbaknya dan dengan mamanya. Sedikit opini awam dari saya sebagai tutor. Dan sedikit usaha untuk memprovokasi mamanya supaya mau meluangkan waktu untuk menemani Kenzie belajar.

Kamis malam lalu… hal yang mengharukan pun terjadi. Saya terharu habis-habisan sampai bingung hendak berbuat apa sampai rasanya rela melakukan apa saja untuk mengabulkan permintaan mamanya.

Malam itu mamanya mengirim chat WA, meminta untuk memajukan jam les karena pada jam les biasanya dia ada janji dengan pasien (ya, mamanya seorang dokter). Saya berpikir keras. Bisa-bisa saja, sangat bisa malahan… hanya saja jadwal dari sekolah yang belum bisa saya pastikan. Sehingga saya bilang akan saya kabari besok.

Keesokan harinya… seusai anak-anak bubaran dari sekolah, saya mengonfirmasi pada mamanya bahwa jam les bisa dimajukan. Sampai kemudian, seorang guru partner mengabari bahwa setelah Jumatan akan ada rapat. Di situ saya rasanya ingin mengumpat keras-keras, ha ha ha. Saya tidak akan plin-plan artinya tidak akan mengubah janji dengan orangtua siswa. Saya begitu menghargai usahanya untuk hadir mendampingi anaknya belajar sampai minta jam les dimajukan, kalau ibunya mau berusaha, setidaknya saya pun harus mencoba mengabulkan keinginannya.

Selama makan siang sampai selesai sholat Dzuhur… saya masih berpikir keras bagaimana caranya. Sampai kemudian orangtua siswa yang punya jadwal pertama meminta saya untuk memundurkan jadwal, yang tentu saya kabulkan. Konfirmasi ke-dua pun saya lakukan pada mama Kenzie, mundur 1 jam. Dia pun mengiyakan. Alhamduillaah.

Saya pun bisa mengikuti rapat, walau sedikit-sedikit menengok jam. Rasanya tidak usai jua pembahasan yang itu lagi, itu lagi. Sampai akhirnya 10 menit menjelang pukul 2, saya walk-out dari rapat. Cukup informasi yang ingin disampaikan kepsek telah saya dengar, sisanya adalah keluhan-keluhan yang berulang, saya rasa tidak apa-apa untuk “bandel” sekali saja, demi anak-anak. He he he…

Mengambil kesempatan pak kepsek yang terima telpon, saya mohon ijin untuk pulang duluan. Beliau pun dengan agak berat hari mengiyakan. Saya pun memacu laju motor sebisa mungkin untuk tidak terlambat banyak.

Singkat cerita… Kenzie pun les bisa didampingi mamanya. Walau awal-awal dia tidak sesemangat yang saya harapkan… tapi kemudian semua latihan ia selesaikan. Tak lupa dengan terus-menerus pamer pada mamanya ketika selesai satu soal. I am happy to see it.

Setelah menulis ini, tentang Kenzie ini… saya merasa bersyukur bisa membuat sedikit perubahan pada cara pandang orangtuanya 😊 😊 😊😊😊 seneng banget, ya Allaah.

Mood sudah membaik dan akan bersiap menyambut hari Senin. Rutinitas.

Huaaaaaa~

Comments