#MagicWords: Maaf

Ini sebuah pengalaman yang cukup menyentuh saya. Selama bekerja dan berhubungan dengan anak-anak, sungguh banyak sekali pengalaman yang membuat saya terharu sekaligus bersyukur sekali bisa punya kesempatan untuk turut campur dalam pembentukan karakter mereka meski sedikit. Saya berharap mereka semua, murid-murid saya, akan tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan bermanfaat. Aamiin.

Jadi, Kamis kemarin... saya meng-handle kelas sendirian. Aslinya bertiga dengan wali kelas dan seorang guru pendamping lagi. Kadang saya merasa kami manja karena meng-handle satu kelas bertiga, tapi sungguh... meng-handle 20 anak yang super-aktif dalam satu kelas. Ya Tuhan.

Hari itu, bunda wali kelas memang tidak masuk karena harus bedrest selama seminggu berhubung beliau sedang hamil muda. Dan yanda guru pendamping yang satu lagi sedang mengembang tugas di kelas lima. 

Pelajaran hari itu hanya Literasi Membaca dan mengaji. Jam pertama, mereka cukup kondusif. Saya beri tugas melengkapi cerita dan membacakannya di depan teman-temannya. Tentunya saya agak kewalahan, tapi awal-awal mereka bisa diatur. Sampai pada anak ke-dua yang bercerita di depan, kelas mulai ricuh. Sebagian anak-anak yang memang masih butuh bimbingan khusus dalam membaca dan menulis mulai mengeluh lelah menulis. Sementara anak-anak yang sudah lancar membaca dan menulis dan sudah selesai mengerjakan tugas, mulai berkeliaran iseng; memainkan sakelar lampu, main kuda-kudaan, dan saling ganggu dengan temannya. Ya Tuhan.

Saya cek jam tangan, masih pukul sembilan kurang, masih ada waktu bagi mereka menyelesaikan tugas. Biarlah yang lain main-main asal tidak keluar kelas. Dan begitulah saya biarkan. Satu per satu anak-anak menyelesaikan tugasnya. Dan keributan pun semakin luar biasa. Tapi saya coba bertahan. Sampai akhirnya... mereka sudah kelewatan memainkan sakelar. Saya pindah ke depan kelas dan mengatakan dengan tegas bahwa semua tidak boleh snack-time karena tidak mau mendengarkan bunda guru. Sebagian mengklaim diri tidak ikut-ikutan, tapi saya katakan, tetap saja semua tidak boleh snack-time.

Beberapa tampak kaget, tapi tidak ada yang tampak takut. Hebat. Akhirnya satu per satu menegarkan diri, "Gak papa... tadi pagi kita sudah sarapan banyak."

Sampai pada jamnya mereka untuk snack-time, saya tidak mungkin tega. Saya menyuruh mereka satu per satu cuci tangan, kecuali yang tadi saya lihat memainkan sakelar, terutama laki-laki. Jadi ketika yang perempuan sudah selesai cuci tangan, saya tanya lagi pada yang laki-laki... "Mau snack-time atau enggak?"

Beberapa tetap menegarkan diri. 

"Kalau mau, bunda kasi. Tapi syaratnya kalian harus minta maaf karena sudah mainin lampu."

Seorang anak angkat tangan, saya minta dia untuk minta maaf. "Bunda, kita minta maaf."
Saya tanya, "Kenapa minta maaf?"
"Karena sudah mainin lampu."
"Oke, bunda maafin. Lain kali jangan, ya. Sekarang boleh cuci tangan."

Saya tanya sekali lagi, "Gimana? Ada yang mau minta maaf lagi?"

Satu per satu yang merasa bersalah pun minta maaf. Saya izinkan mencuci tangan. Dan kita pun berdoa bersama, lalu mereka semua boleh snack-time.

Apa hal besar yang membuat saya begitu terharu adalah ketika mendengar ucapan maaf dari mereka lengkap dengan pengakuan mereka atas kesalahan yang mereka lakukan. Ya Tuhan, setulus itu permintaan maaf mereka. Mungkin mereka belum paham makna permintaan maaf atau seberapa besar kesalahan yang mereka buat, tetapi ucapan maaf mereka tulus. Di situ, perasaan saya berkata bahawa beberapa dari mereka baru pertama kali dipaksa meminta maaf dan mengakui kesalahan mereka. Perasaan saya mengatakan bahwa hal itu akan menjadi sebuah pengalaman yang berkesan bagi mereka. Rasanya saya hampir menangis ketika menatap mata mereka saat mengucap maaf dan mengakui kesalahan. Saya merasa jahat sekali hendak menghukum mereka. 

Setelah itu, saya menyadari bahwa apa yang saya lakukan dengan mengancam tidak memberi mereka snack-time adalah tidak sepenuhnya benar. Lalu saya menemukan sedikit pembenaran ketika tiba-tiba dapat ide untuk membuat mereka minta maaf atas kesalahan mereka.

Tolong, maaf, dan terima kasih, kata orang-orang adalah kata ajaib. Hari itu saya merasakan keajaiban kata "maaf" yang terucap dari bibir-bibir mungil mereka, dari jiwa mereka yang masih polos.

Hari itu saya mendapat pelajaran bahwa... dengan mengajari mereka meminta maaf dan mengakui kesalahan mereka saya pun belajar untuk memaafkan mereka sejak mereka belum mengucapkan maaf itu sendiri. Luluh betul hati ini mengetahui mereka mau meminta maaf.

Kemudian muncul sebuah perenungan... betapa nikmatnya mengajari mereka hal sesederhana meminta maaf. Setelah sebelumnya mengajari mereka meminta tolong dan mengucapkan terima kasih, mengajari mereka untuk meminta maaf ini rasanya jauh lebih luar biasa! Jauh di dalam hati kecil saya, saya lho yang merasa diajari oleh mereka untuk lebih memaknai "maaf" itu sendiri. Kalau sudah besar, ego pun bisa jadi makin besar kalau tidak dikontrol. Mereka masih kecil, masih egois, itu wajar, mereka masih belajar cara mengatur segala emosi mereka sebagai seorang manusia.

Saya, yang merasa lebih banyak tau dari mereka karena sudah hidup lebih lama, tiba-tiba pada saat itu merasa saya yang banyak belajar dari mereka. Saya masih punya ego yang besar, sudah besar dan seharusnya bisa mengontrol itu dengan lebih baik, tapi nyatanya kadang masih ego dan tidak mau tahu. (hashtag)semua murid, semua guru adalah benar. Meskipun di sekolah dan di hadapan mereka saya adalah guru, tapi sebenarnya dari merekalah saya belajar buanyak! Mereka pun adalah guru!

Dalam benak, kelak, di masa depan, dan di hari selanjutnya, saya ingin menjadi lebih baik sebagai contoh bagi mereka dan anak-anak saya. Terima kasih tak terhingga untuk murid-murid saya 💟💟💟❤️❤️❤️

Comments